webnovel

13

Aku berbaring dengan pikiran-pikiranku yang rumit seraya meilhat Genta yang membenarkan selang infus. Aku harus mengatakannya, jangan pernah lari lagi, jangan pernah.

"Genta… kita pulang ke Indonesia, ya?"

Entah apa maksud tatapan itu. Genta memberhentikan aktivitasnya. Mungkin dia belum bisa mencerna kalimat barusan tapi dia tahu betul maksudku.

"Ma..ma..ksudnya, nikah?"

Aku hanya mengangguk dengan seutas senyum yang kuharap Genta merasa lebih baik dengan semua itu. Tanpa aba-aba Genta sudah memelukku dengan sangat erat sampai aku merasa pengap dan susah bernapas.

"Ta… Genta, aku susah bernaappass!"

"Eh, iya maaf-maaf. Kalau gitu kita pulang secepatnya, ya?"

"Iya." Melihat senyumnya juga semangatnya. Inilah keputusan yang paling baik untuk kamu, aku dan kita semua. Semesta, kumohon kali ini restui kami.

Jika akhirnya aku tak juga bersamamu, Deka, terima kasih untuk semua kenangan yang telah ada dan berhasil kau ukir dengan sangat indah. Sehancur apa pun akhir dari kisah ini, itulah yang terbaik. Ternyata Berterima Kasih juga kalimat yang sangat sulit untuk diucapkan.

Ibu menuntun untuk masuk ke dalam rumah tapi aku berusaha untuk berjalan sendiri. Dengan sangat hati-hati ibu memperhatikanku dari belakang. Yang membuatku lemah bukanlah penyakit ini tapi apa yang sudah kulalui dan hal-hal yang pernah kulupakan sebab semua terkesan tiba-tiba. Hanya menunggu waktu, entah aku yang berdamai dengan masa lalu atau aku yang tidak ingin waktu berlalu.

"Nad, kamu masuk ke kamar ya, istirahat yang cukup. Ibu akan atur waktu untuk penerbangan ke Indonesia supaya bisa disesuaikan sama jadwal ayah." Ibu mengelus rambutku sambil terus tersenyum. Aku membalas senyumnya tanpa menjawab kemudian masuk ke dalam kamar.

Bagaimana seorang Nadir hidup setelah kehilangan ingatannya. Kamar bernuansa biru muda ini ternyata di luar dugaanku. Dulu, aku adalah anak yang lebih menyukai sesuatu yang tidak ramai agar terlihat rapi, sesuatu yang sederhana. Tapi, kamar ini memperlihatkan bahwa kecelakaan itu mengubah diri dan kepribadianku.

Kamar ini terlihat penuh dengan hiasan dinding serta bunga mawar yang berada dalam vas, beberapa lukisan yang tidak begitu buruk, kemudian aku melihat foto yang bergelantungan dengan tali rami sebagai pengikatnya. Banyak sekali, aku menjadi perempuan yang bahagia walau setiap foto itu menampilkan kesedihan. Mawar, Gedung, dan Genta.

Ternyata kamu memang selalu ada untukku, Ta. Sekuat apa pun aku menolak kehadiranmu bahkan kamu tidak pernah mundur, selangkah saja tidak pernah. Kamu hadir di setiap musim.

Kamera ini juga berisi tentangmu, jadi tidak boleh ada keraguan yang menyertai setiap langkahku, bersamamu.

Tempat pelarian tidak akan menghasilkan apa-apa. Hanya memberimu kenangan yang semoga bisa terus kauingat. Aku akan kembali ke sana, bukan untuk meminta jawaban dari seseorang tapi memberi jawaban untuk semua orang.

Besok adalah hari keberangkatan untuk kembali pulang. Memang tidak ada lagi yang harus dikerjalan di sini terlebih mas Aga sudah memilih untuk bekerja di Indonesia dan dokter pribadiku juga sudah memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan aku yang merupakan pasien sekaligus calon istrinya harus ikut ke mana pun dia pergi.

Aku duduk tenang di kedai kopi Alex bersama dengan Jessy. Membicarakan Michaela dan keputusanku untuk kembali ke Indonesia.

"Ik begrijpen. Dia selalu menantikan masa itu."

"It's not easy, Lex!" mematahkan kalimat yang belum selesai diucapkan olehnya. Alex adalah orang yang tahu betul bagaimana hubunganku dengan Genta. Ketika dia harus menerima segala kegelisahanku dan juga harus menerima cerita perih yang dirasakan oleh Genta, tapi dia tak pernah memihak siapa pun. Karena cinta adalah sesuatu yang mahal yang membutuhkan kerja keras. Harus ada yang patah dan hilang.

"Nad, when you love someone, you must fight for it because go back is not a reason!"

Michaela yang sedang tidak bersama kami, sementara besok pagi aku sudah harus berada di bandara. Aku tak sempat berpamitan langsung dengannya tapi melalui Alex dan Jessy mereka akan memberikan alasan yang lebih mudah untuk dicernah anak berusia empat tahun itu.

Sebagai salam perpisahan aku memeluk Alex dan Jessy. Jessy menitikkan air mata sambil terus menatapku. Keluarga kecil yang memberiku cermin untuk berkaca bahwa cinta bukan hal yang sulit dan rumit, hanya perlu terbiasa.

Aku duduk di sebuah bangku panjang berada pinggir Kanal sambil menyesap es krim. Hari terakhir di musim semi dan aku akan meluapkan rasa kehilangan ini.

"Kita bisa ke sini lagi kapan pun kamu mau."

Aku mencari sumber suara itu, dan "Genta, kamu sudah selesai?" ia mengangguk.

Aku memeluk Genta dengan sangat erat, beberapa orang memperhatikan kami kemudian melanjutkan aktivitasnya. Genta pun membalas pelukanku. Aku tidak pernah tahu akan serumit dan semenyakitkan ini. Dia sudah berjuang dengan keras untuk cinta dan cita, akulah wujud nyata dari perjuangan cintanya.

***

Bandara. Tempat memulai dan menghentika. Meninggalkan tempat yang seharusnya tidak kudatangi, tempat yang membuatku jadi pecundang dan tempat yang membuat lukaku semakin menganga. Tapi juga tempat aku menemukan, kamu.

Perlahan pesawat semakin jauh meninggalkan tempat yang sudah tiga tahun menjadi peraduanku. Menangis adalah bentuk paling awal ketika pergi. Belanda, terima kasih telah menyembuhkan, aku berjanji akan datang lagi dengan keadaan yang lebih baik dari pertama kali aku ke sini. Selamat tinggal.

"Kapan pun kamu ingin kembali ke sini, aku akan selalu siap!"

"Aku tidak ingin ke sini lagi, Ta. Karena kamu sudah kutemukan." Genta tersenyum mendengar jawabanku dan mengeratkan genggamannya. Seandainya saja perasaan ini juga berubah dengan cepat pasti ia tak akan sakit begitu parah.

Sudah 12 jam kami berada di udara, sekarang aku kembali ke sini. Ke tempat yang tidak perlu kutinggalkan karena seseorang. Aku kembali tapi bukan untuk menemuimu, sebenar apa pun perasaan ini yang jelas aku tidak ingin jadi perempuan idiot untuk kedua kalinya.

Jakarta, lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu? Tetap baik, bukan? Aku juga sudah membaik bahkan jauh lebih baik. Kini, aku berhasil membawa pulang laki-laki yang akan menemaniku menikmati mataharimu.

Kami meneruskan perjalanan menggunakan mobil untuk kembali ke Yogya. Genta yang mengantarkan kami dengan mobil yang juga sudah dia siapkan. Sebelumnya dia mengajak kami untuk istirahat dulu di rumahnya dan bertemu kedua orang tuanya tapi aku menolak dan beralasan bahwa mas Aga sudah menunggu. Ibu yang mengerti keadaanku hanya mampu mendukungku dengan senyum. Bukan aku tidak siap bertemu orang tuanya tapi ini bukanlah waktu yang tepat. Ada hal yang harus kupastikan, lagi.

Selama di perjalanan aku hanya diam tanpa membuka mulut sedikit pun. Ibu yang juga kelelahan memutuskan untuk tidur. Hanya suara ayah dan Genta yang sesekali mengobrol untuk memecahkan keheningan.

Yogyakarta. Aku kembali.

"Assalamualaikum?"

"Wa'alaikumsalam. Wah, cantiknya yang mau nikah?" alis mataku naik ketika mendengar ucapkan Mas Aga. Cantiknya benar, menikah ini yang aku tidak tahu cara menjawabnya.

"Jangan meledek adikmu, mas. Kamu gak ke Bandung?"

"Besok bu. Mas kan mau menyambut kedatangan bule Belanda, hahaha,"

Aku hanya nyengir sambil berlalu membawa koper untuk beristirahat. Mas Aga memanggilku untuk menemaninya mengobrol dengan Genta dan Ayah. Tapi aku lebih tertarik untuk tidur. Genta juga mengatakan agar aku beristirahat saja.

Belanda yang harusnya menjadi tujuanku untuk menuntut ilmu malah berubah menjadi tempat untuk menyembuhkan diri. Aku baru menyesalinya, selama tiga tahun, aku hanya punya teman lima orang yang juga masih berdarah Indonesia. Aku terlalu sibuk dengan masa lalu hingga lupa tentang kebahagian masa depan.

Kamar bernuansa kuning gading ini terlihat sangat simpel. Dengan satu lemari dan meja belajar yang berisi banyak buku. Ada satu kotak yang mencuri pandanganku, terletak di atas lemari.

"Mas boleh masuk?"

Kemudian aku menghentikan langkah dan mempersilahkan mas Aga masuk.

"Genta juga lagi istirahat di kamar mas. Tapi mas belum ngantuk, sini mas peluk!" aku yang juga rindu dengan kecepatan kilat langsung memeluknya. Kerinduan ini membuatku sadar bahwa seseorang yang sedarah denganmu akan tahu betul apa yang sedang kaurasakan.

"Kamar kamu gak banyak berubah, Nad. Dan ibu gak pernah ngasi orang masuk ke kamar ini kecuali ibu sendiri. Ibu masuk juga cuma bersihin aja. Semuanya tetap di tempat yang sama saat terakhir kamu di sini. Yang berubah cuma seprainya aja."

Benar saja. Tempat ini memang tidak berubah saat aku marah dan ingin pergi saja. Ketika semuanya masih sama bahkan perasaanku juga masih sama.

"Nad," kulihat mas Aga yang menatapku dengan tatapan susah untuk diartikan dan aku juga gugup ketika melihatnya "Ke..kenapa, mas?"

"Kamu boleh marah tapi jangan bohong. Dia masih di sini. Mendatangi taman dengan sepedanya dan masih mengunjungi rumah dongeng kalian."

Aku bingung harus menjawab apa dari cerita mas Aga. Bahkan untuk kembali ke sini bukanlah keputusan mudah untukku.

"Kamu sudah mengingat semuanya. Mas tahu sulit untuk berdamai dengan keadaan tapi kamu harus mendengar penjelasannya. Dia tidak pergi untuk hilang, dia pergi untuk kembali. Tuhan hanya memberi kerikil, memang akan sulit untuk menerimanya kembali tapi jangan pernah berbohong, kamu sudah cukup jauh, Nad."

Aku menunduk. Ketika aku tidak mampu memaafkan masa lalu, aku memang hanya melukai diri sendiri. Selama ini sudah kucoba lari tapi yang kulakukan hanya kembali ke tempat yang sama.

"Dia di Bandung dan akan ke sini saat akhir pekan. Tapi jangan berharap banyak karena dia akan kembali pergi."

"Lalu, kenapa Mas dengan sangat optimis dia akan kembali? Bahkan aku belum melihatnya. Dia menghancurkan aku dengan sangat parah mas dan aku juga akan menikah, mungkin pertemuan kami hanya berpeluang untuk saling mengikhlaskan."

"Nad, kemarin dia masih satu benua dengan kita tapi kepergian yang kedua kalinya ini, kemungkinan dia untuk pulang akan semakin kecil atau bahkan tidak ada lagi. Dia akan menetap. Aku juga marah dengan semua perlakuannya tapi semakin aku marah maka kejelasan perasaan dia terhadapmu semakin luar biasa, mas memaklumi kamu, memaklumi dia dan bahkan Mas memaklumi segala hal yang Genta lakukan untuk mempertahankanmu."

"Mas, sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?"

Mas Aga mengambil tempat duduk di atas kasurku dan kembali mengoceh "Dia tahu semua tentangmu. Waktu dia datang dan meminta maaf, mas menolak dengan keras tapi dia masih saja gigih ingin tahu bagaimana keadaanmu. Dia tidak pernah mundur karena kamu juga tidak pernah maju."

Sambil terus menangis aku menatap keluar jendela. Melihat bumi yang semakin suka menertawakanku. Apa yang harus kulakukan saat semuanya semakin membelit, apa aku harus membiarkan diri ini terlibat dengan kesalahan?

Sebelum mas Aga keluar dari kamarku dia menghampiri dan menepuk pundakku. Mengisyaratkan untuk melakukan hal yang benar. Yang terbaik bukan yang menurutku baik.

Masih dengan baju sama dengan dua belas jam yang lalu. Aku berbaring menghadap ke luar jendela menatap langit malam yang semakin pekat. Wajah mas Aga dengan mata yang sangat jujur namun juga berharap aku tidak terluka dengan semua yang sudah ia sampaikan. Air mataku terus saja meleleh, sudah lebih dari satu jam aku meringkuk di atas kasur tanpa berniat sedikit pun untuk bangkit. Kalau aku menemuinya maka akan semakin sakit, dan jika tidak bertemu dengannya mungkin akan jadi penyesalan terbesar seumur hidup. Aku tahu semua memuat risiko yang menyedihkan.

Kuputar badan dan menatap langit-langit kamar, memejamkan mata kemudian masuk ke dalam pemikiran kusut yang belum juga berakhir. Sejurus kemudian aku tersadar bahwa tadi aku ingin mengambil sebuah kotak di atas lemari.

Kutarik kursi meja belajar kemudian merapatkannya ke dinding lemari. Sedikit berjinjit dan aku dapatkan kotak itu. Sebuah kotak yang masih ragu untuk kubuka tapi membuat begitu penasaran. Perlahan kubuka dan menampilkan berbagai ornamen kecil.

Surat, kertas bergambar wajahku, mimpi Sultan dan teman-temannya dan potret rumah Negeri Sultan. Kamu sudah melampaui batas Deka, aku tidak sanggup lagi menerima semua ini. Aku takut ketika kembali padamu, kamu malah pergi lagi dan belum tentu aku menemukan Genta. Walau aku tahu cinta tidak akan pergi sekeras apa pun aku mencoba. Jika kamu lemah jangan pernah jatuh cinta dan sebelum kamu cinta, kamu harus jatuh sejatuh-jatuhnya.