"Aku tidak ingin membahas dia dad. Selamanya pun dia menantiku, aku tetap tidak akan mau." Rahang Sehun mengatup rapat dengan tangan terkepal erat.
"Okey, aku tau. Kita hentikan pembicaraan ini." Siwon mengusap bahu Sehun dan beranjak berdiri menuju ranjang Haowen. Ah, dia sampai lupa bahwa cucu tercintanya sakit.
**
Jesper tau siapa yang kakeknya katakan. Mulai dari siapa Irene, bagaimana perjuangan ibunya untuk bertahan, dan bagaimana ibunya berusaha bertahan demi adiknya. Haowen.
Jesper sadar diri bahwa ia memang bukan bagian langsung keluarga ini. Hanya saja ia ingin tau bagaimana keluarga barunya. Dan itu berkat Jiyeon. Sahabat ibunya yang dengan baik hati mau menceritakan kisah ibunya.
Jesper diam mematung dengan wajah datar dan tatapan kosongnya. Pakaiannya sudah berantakan, kotor, dan tak layak pakai. Kenyataan benar-benar menyakitkan. Kematian ibunya yang disebabkan ayahnya. Rumahnya yang hangus tak berbentuk. Barang terakhir yang ia punya hilang di bawa lari sekumpulan manusia brengsek.
Tidakkah kenyataan menyakitkan? Tentu saja iya.
Jesper masih terdiam santai di tepi jembatan, memandang lalu-lalang kendaraan yang pasti tak akan merasakan apa yang ia rasakan sekarang.
"Memuakan!" Ia mendesis saat kejadian beberapa waktu lalu menghampiri kepalanya. Ibunya yang mati tergeletak tak berdaya tepat di depan matanya, ayahnya yang dengan santainya membawa wanita lain kedalam rumah bahkan saat mayat ibunya masih tergeletak berdarah-darah di tengah rumah.
"Semuanya. Sungguh sangat memuakan! Brengsek menyebalkan!" Maki Jesper. Ia baru lulus sekolah menengah ngomong-ngomong. Dan bukannya mendaftar keperguruan tinggi, ia malah sudah terdaftar menjadi gembel saat ini. Miris.
"Kelihatannya melompat dari sini akan sangat menyenangkan!" Bisiknya seraya berbalik menghadap sungai besar di depannya. Ini tempat terfavorit untuk bunuh diri, kalian tau bukan?
"Hei kau yang di pembatas jembatan!"
Jesper menoleh malas, terkejut sepersekian detik, dan kembali berwajah datar seperti semula. Paman di depan ini sangat mirip dengannya. Wajah datar, mata tajam, ah.. dan jangan lupakan. Bibir tipisnya. Jesper mendecih malas.
"Aku tidak mengenalmu. Jangan menggangguku." Ujar Jesper.
"Kau pikir aku mengenalmu? Memang seberapa terkenal dirimu huh?" Pria di depannya ini membalas tak kalah tajam. Apa paman-paman tua di seluruh dunia seperti yang di depannya ini?
"Pergi sana. Kau mengganggu privasiku!"
"Cih, aku juga tidak berniat berlama-lama di sini."
Jesper membuang muka kesal. Ia sedang ingin sendiri. Dasar paman tua menyebalkan.
.
Jesper tidak pernah percaya dengan apa yang semua orang sebut dengan takdir. Tapi apa ini? Seminggu setelah ia bertemu dengan paman tua yang datar itu, ia kembali bertemu dengannya. Hari ini. Di Cafe tempat ia bekerja.
"Hei kau anak kecil di pembatas jembatan."
"Aku bukan anak kecil!"
"Kau bekerja disini?"
"Apa pesananmu?"
"Americano."
"Pesananmu akan datang sebentar lagi."
Jesper berbalik santai. Ia bahkan masih sempat mendengar pria datar itu bergumam bahwa mereka begitu mirip. Wajah, sifat, dan juga warna kulit. "Maaf saja wajahku ini limited edition."
Jesper berdiam diri di meja kasir, jika dilihat-lihat wajahnya dan wajah pria itu memang mirip. Entaj kenapa Jesper nyaman saja dengan pria itu. Sifat mereka sama.
.
"Kau mau kemana sialan?! Bayar hutang ayahmu!"
"Aku tidak punya ayah sialan!" Jesper memaki kesal. Semenjak kematian orang tuanya ia sudah menggembel dan beruntung ada yang mau menerimanya bekerja sebagai pelayan Cafe. Pagi hingga malam ia memang ada di Cafe, malam hingga besok paginya ia akan kembali menggembel seraya di kejar oleh semua yang menjadi korban hutang ayahnya.
"Aku tidak mau tau. Jika tak bisa membayar dengan uang bayar dengan tangan atau kakimu!"
Bugh.
"Akh." Jesper meringis memegangi perutnya. Dia masih delapan belas tahun dan belum berpengalaman hidup di luar dengan gaya preman ini.
Bugh.
"Ugh sialan!"
"Kau masih berani mengumpat brengsek!"
Bugh.
"Akh."
Bukan-bukan itu bukan Jesper. Itu suara pria berbadan besar yang memukulnya tadi.
"Kau siapa berani-beraninya ikut campur!" Pria itu menggeram marah. Bangkit berdiri dengan tangan yang terkepal kuat.
"Diam dan jadi anak baik sampah tak berguna." Ah,, Jesper tau suara ini. Paman di jembatan dan Cafe tempat ia bekerja.
"Apa dia keluargamu?"
"Ya."
Jesper membulatkan matanya tak percaya. Keluarga? Keluarga darimana?
"Kalau begitu bayar hutang ayahnya."
"Pertama. Yang berhutang bukan dia dan apa alasanmu menyiksanya. Kedua. Dia bukan tandinganmu untuk kau cari masalah. Ketiga. Maju jika masih berfikir untuk menyentuhnya." Dia Sehun. Oh Sehun.
"Aish. Kau ben- akh."
"Jadi anak baik sampah menyebalkan!" Sehun tidak main-main. Tendangan mematikannya tak pernah bisa ditoleransi. Satu tendangan dan semua selesai. Game over.
"Kau masih bisa berdiri?" Sehun bertanya. Mengulurkan tangannya pada anak kecil yang sering ia temui akhir-akhir ini.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Pergi saja!" Jesper menolak. Menepis kasar uluran tangan Sehun dan berusaha bangkit dengan tangan yang menekan perutnya. Memarnya pasti bertambah lagi.
"Aish, dasar keras kepala!" Sehun mendesis kesal. Menarik kasar lengan Jesper dan menyeretnya untuk masuk kedalam mobil mewahnya. Jika tidak kerumah sakit maka kerumahnya. Haowen pasti sudah menunggu.
"Apa yang kau lakukan paman?"
.
"Vic. Obati dia." Sehun masih menyeret kerah kemeja Jesper dan melemparnya keatas sofa. Meminta Victoria, sepupunya untuk mengobati bocah di depannya ini.
"Oke." Ini yang Sehun suka dengan sepupunya. Tidak banyak tanya jika situasi mendesak.
"Dimana Haowen?"
"Di kamarnya."
"Sehun siapa dia?"
"Aku tidak tau."
Hening.
Mereka diam. Sehun dengan ponselnya, Victoria dengan kapas dan alkoholnya, dan Jesper dengan ringisannya. Ini sakit.
"Hei bocah siapa namamu?"
"Aku bukan bocah."
Sehun menghela nafas lelah. Apa pria kecil itu tidak terlalu keras kepala? Maksudnya terlalu, yah kalian tau bukan. Menyebalkan.
"Siapa namamu?"
"Jesper." Singkat.
"Marga ayahmu?" Sehun bertanya penasaran. Yang Sehun tanya itu nama lengkap, bukan nama panggilan.
"Aku tidak punya pria brengsek itu."
Oke, Sehun cukup tau bahwa hubungan ayah dan anak tidak terjalin baik dengan pria kecil ini.
"Marga ibumu?"
"Ibuku sudah meninggal."
Yatim piatu. Sehun tersenyum kecil. Bukan, bukannya ia merasa senang. Hanya saja ia juga tau bagaimana perasaan pria kecil ini.
"Kau bisa tinggal di rumahku jika kau mau."
"Tidak, terima kasih. Aku tidak butuh belas kasihanmu."
"Aku tidak merasa kasihan padamu."
"Aku pergi. Terima kasih."
"Pintu rumahku akan terbuka untukmu."
Sehun tidak tau apa yang terjadi, ia hanya ingin membantu pria kecil itu. Sehun merasa bahwa mereka sama. Dalam segi sifat juga Sehun akui bahwa ia persis sama seperti Jesper.
Dingin.
.
Ini sudah minggu ketiga semenjak Sehun membawa Jesper kerumahnya dan anak itu benar-benar tidak menampakan batang hidungnya. Sedikit banyak Sehun mulai khawatir.
"Jajangmyeon. Sudah dapat sesuatu tentang Jesper?" Sehun membolak-balik berkas di depannya. Tak mempedulikan bagaimana ekspresi Suho saat ini.
"Belum. Kurasa dia tidak ada di Korea lagi." Jawab Suho dengan rahang yang mengatup rapat.
"Benarkah? Sayang seka-"
"Oooou tunggu. Aku menemukan sesuatu. Rumah sakit umum di Busan mengeluarkan pengumuman tentang orang hilang. Apa ini yang kau maksud?" Suho menyodorkan ponselnya kehadapan wajah Sehun. Sengaja menempelkan tepat pada hidung Sehun agar pria itu tak bisa melihatnya. Pembalasan dendam.
"Aish, jangan terlalu dekat!"
"Tak usah protes! Lihat saja!"
"Oo, ini dia. Kita ke Busan sekarang."
"Bagaimana dengan Haowen?"
"Tentu aku akan membawa pangeran kecilku."
.
Sehun duduk diam di sebelah ranjang rumah sakit. Dia memperhatikan lekat-lekat wajah Jesper dan memang benar, mereka mirip. Sehun seperti melihat dirinya sendiri.
"Ya ya ya ya, little prince. Hati-hati. Jagoan daddy bisa membangunkan hyung yang di sana. Mengerti?"
Haowen mengangguk patuh. Selang lima menit, jemari kecil itu kembali menusuk-nusuk pipi Jesper. Membuat Sehun berdecak gemas dan mengusap kepala Haowen yang hanya menampilkan cengiran dengan dua gigi depannya yang mulai tumbuh. "Kau menggemaskan sekali sayang." Kekeh Sehun.
"Eungh." Haowen menoleh terkejut saat suara lenguhan itu keluar dari mulut Jesper, membuat Haowen mengeryit penasaran dan kali ini, tangan kecilnya menusuk-nusuk hidung Jesper.
"Uwaaa kau mengagetkanku astaga!" Jesper memekik kecil saat wajah Haowen tepat berada di depan kedua matanya. Mata hitam jernih itu membuat Jesper tersenyum kecil.
"Say hi Haowen." Suruh Sehun.
"Hai hung."
"Ou, hai kecil." Balas Jesper. Menoleh kesamping untuk menemukan Sehun yang duduk dengan tangan bersedekap di dadanya.
"Oh, hai paman." Sapaannya pada Sehun barusan sungguh datar, jauh berbeda dengan sapaannya pada Haowen beberapa waktu lalu.
"Kau sudah lebih baik?" Tanya Sehun.
"Lumayan. Darimana kau tau dimana aku? Kau penguntit?" Sehun sungguh ingin mencabik mulut bocah di depannya ini. Kurang ajar sekali.
"Cih." Berdecih malas jelas itu yang sedang Sehun lalukan. Duda satu anak itu terdiam memandang Jesper. Entah apa yabg sedang ia pikirkan yang jelas itu membuat Jesper risih.
"Apa yang sedang kau pikirkan paman?"
"Kau yatim piatu?"
"Tentu."
"Keluargamu yang lain?"
"Aku anak tunggal. Keluarga ayah dan ibuku tak ada yang mau menerimaku karena, yah.. katakan aku anak hasil dari suatu kesalahan."
"Ingin menjadi anak angkatku? Kau bisa menjadi hyung untuk Haowen." Sehun menunjuk Haowen yang sedang terbaring nyaman di atas tubuh Jesper dengan dagunya. Anak kecil itu tampak nyaman-nyaman saja.
Jesper diam seribu bahasa. Anak angkat? Batita di atas tubuhnya juga sudah mendengkur halus. Mereka tak pernah kenal dan batita itu sudah nyaman saja? Jesper juga merasa aneh, kenapa ia bisa membiarkan anak kecil itu tidur di atas tubuhnya, Jesper bukan pria yang akan nyaman-nyaman saja dengan orang baru asal kalian tau.
"Kau tak pernah mengenalku dan bagaimana bisa kau menawarkan perlindungan pada pria asing sepertiku?" Jesper bertanya penasaran.
"Ku rasa kita sama. Kita bertiga, kau, aku, dan anakku Haowen, kita bukan tipe manusia yang akan nyaman-nyaman saja dengan hal baru. Aku dan Haowen tak merasa masalah denganmu dan kau.. kau merasa nyaman-nyaman saja dengan putraku." Jawaban Sehun membuat Jesper menunduk dengan tangan terkepal erat. Dia tidak tau apa yang akan terjadi jika ia ikut dengan pria di depannya ini. Tapi jika ia tidak ikut, ia juga tidak akan tau bencana macam apa lagi yang akan mengganggu harinya. Entah ia akan di lempar kerumah sakit lagi atau akan lengsung di lempar kedalam liang lahat oleh para penagih hutang ayahnya.
Jesper diam menunduk dengan kepala yang terangguk pelan. Ia rasa ikut dengan Sehun tak ada masalah. Setidaknya ia aman, untuk uang ia bisa bekerja nanti.
"Oke."
"Dokter bilang kau bisa keluar haru ini. Jika ada yang perlu kau kemasi maka kemasilah, kita akan ke Seoul hari ini untuk mengurus hak asuhmu."
Jesper masih ingat saat Sehun dengan wajah tak berdosanya menarik kerah kemeja yang ia gunakan untuk membawanya masuk kedalam mobil. Bukan hanya itu, Sehun juga pernah mengerjainya dengan memasukan garam kedalam susu coklatnya. Bagi Jesper, Sehun adalah ayah tersialan sepanjang masa.
"Dad." Jesper memanggil pelan.
"Hm?"
"Apa si Bae itu cantik?" Tanya Jesper.
"Jika kau menanyakan Bae Suzy maka dia sangat cantik. Tapi jika kau menanyakan Bae Irene maka i-"
"Dia itu iblis buruk rupa dengan tanduk merah panjang di kepalanya dan juga tongkat sabit di tangan kirinya." Itu Jiyeon. Istri Kris yang masih gemar menganggu hidupnya.
"Berhenti ikut campur istri naga tonggos." Sehun mendesis kesal.
"Naga tonggos siapa?" Kali ini Jinyoung yang bertanya.
"Wu Yifan." Jesper menjawab santai.
"Oh Jesper!" Kris menegur.
"Kau memang tonggos uncle." Jesper tak mau tau.
"Oh Sehun, anakmu!" Kris memanggil Sehun.
"Anakku jujur."
"Memang dasar setan." Kris mengumpat kesal. Membuat Jinyoung tertawa keras, ini bukan momen yang biasa lagi bagi mereka. Beruntung saja Haowen sakit, jika tidak maka si kecil itu akan ikut campur juga.
Malah lebih parah.
TBC
THANK U
DNDYP