Tubuh anak itu kini terbaring di kasur yang empuk di dalam ruangan rumah sakit.
Tubuh kering kerontang, tinggal separuh organ yang dipunya.
Tubuh cokelat gosong rambut pendek terurai kusam.
Tubuh seorang anak kecil.
Marie.
...
Di sinilah aku. Seorang dokter di Rumah Sakit Bhayangkara. Jika membayangkan apa yang terjadi pada masa itu, walau teringat sedikit saja, itu sudah membuatku bisa tersenyum kecil. Masa itu, saat Sumitro melamarku. Sebenarnya aku bukan orang yang terlalu peduli dengan masa lalu. Pokoknya sekarang yang penting adalah bagaimana anak itu mulai sekarang, dia yang tidak punya atap untuk bernaung, daging untuk dimakan, atau air untuk diminum. Konyolnya aku, kenapa aku menjadi puitis seperti ini, hi hi.
*Bruk
"ah maaf." Aku menabrak seseorang saat berjalan di lorong.
Aku membantu mengambil kertas-kertasnya yang jatuh berhamburan karena tertabrak.
"Aduh (dia memegangi kepalanya)... dokter? Aduh dok, sudah tidak perlu." Kata perempuan yang ada di depanku.
Dia tampak mengenaliku karena pakaian yang kukenakan.
"Saya yang salah, jadi biarkan saya membantumu." Kataku mengabaikan perkataannya.
"Saya yang nggak enak dok..., Emm dokter..." katanya kebingungan ketika hendak memanggilku.
"Perawat baru ya? Ariati." kata ku mengajak bersalaman.
Semua orang disini sudah mengenalku, aku juga belum pernah melihat anak ini, pasti ini orang baru.
"Risa, iya saya baru disini, dok." Jawabnya.
Lalu kami berjalan di lorong bersama.
"Mau ke mana kamu ris?" Kataku untuk memecah suasana canggung.
"Ke lantai 2 ruang Andalas Bangsal C dok, kebetulan saya piket disana hari ini." Jawabnya.
"Oh, bentar... bukannya disana cuman ada tambahan satu pasien ya? jarang sekali ada tambahan jadwal rolling perawat jika tambahannya hanya satu." Kataku.
Aku tahu kalau ada tambahan satu pasien, itu adalah Marie, aku tempatkan anak yang ditemukan Sumi disana.
"Saya tidak tahu, rasanya kemarin saya masih di RS Cendekia pusat, dan hari ini sudah disuruh kesini, saya mendengar kalau ini perintah dari Pak Kasi Petan (Kepala Seksi Pelayanan Keperawatan) rumah sakit ini." Katanya.
"Oh, ini hari pertamamu kesini Ris?" Tanyaku.
"Iya dok." Jawabnya.
Sumitro. Pasti Sumitro yang menyuruhnya. Mengingat Kasi Petan rumah sakit ini adalah teman masa kecilnya yang juga merupakan kakak kandungku. Sampai segitunya dia memerhatikan anak itu? Apa dia berempati dengannya atau dia hanya merasa jika kondisi anak itu yang perlu perhatian lebih? Aku belum menemukan jawabanku.
"Oh, ya kebetulan saya juga mau kesana, ngomong-ngomong ris, logatmu itu..." Kataku terpotong.
"Ah iya, saya asli Ambon, saya tidak tau kenapa, tapi 5 tahun di Jawa, logatnya tidak bisa hilang hihi." Katanya sambil tersenyum manis.
"Nah, itu kelebihan kamu ris haha." kami berdua menuju ke bangsal tempat Marie dirawat.
...
Sekarang coba pikir apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Marie, jam 6 pagi dia di UGD untuk penanganan pertama. Dia melakukan pengambilan sampel darah dan lendir untuk pengujian lebih lanjut, mencukur rambut, mengoleskan antiseptik ke sekujur tubuh dan dia tidak merengek seperti kebanyakan anak. Dia anak yang kuat meskipun tubuhnya sendiri penuh luka.
Bahkan menurutku orang dewasa saja akan meringis kesakitan jika antiseptik itu dioleskan pada luka kecil di sikunya, tapi bagaimana dengan anak itu? Dia seperti tidak merasakan apa pun. Mungkin Syaraf, Syaraf perifernya atau syaraf pusat yang bermasalah, atau mungkin dua-duanya? Akhirnya anestesi umum diberikan ke anak sekecil itu.
6 jam telah berlalu dari pagi itu. Akhirnya kami sampai ke depan bangsal Marie. Beberapa jam lagi juga mungkin akan dilakukan operasi tahap pertama dari 6 tahap yang direncanakan. Tapi tetap saja aku tidak tega melihatnya sendirian dari jendela ruang kamar pasien itu. Disana tampak seorang anak dengan rambut gundul, balutan perban di semua tubuhnya. Dia berbentuk seperti mumi yang tidak utuh badannya. Tentu, selang infus senantiasa mencolok tangan dan hidung anak itu.
Risa masuk ke dalam, sedangkan aku masih disini, di depan pintu. Aku melihat Risa dan anak itu. Setelah bercengkerama sebentar dengannya, aku tidak tahu apa yang mereka katakan tapi, anak itu, Meri, um, Marie, dia masih terlihat tegang. Kemudian Risa membawa anak itu ke tempat operasi. Sebelum mereka sampai di luar kamar, aku bertolak ke ruanganku.
"Haruskah aku mengadopsi anak ini? Apalah Sumitro mau punya anak seperti Marie minimal untuk beberapa waktu ini harus aku rawat dia, dengan atau tanpa izin dari suamiku!" batinku di lorong menuju ruang dokter.
Ah kau mungkin bertanya mengapa aku ke kamar Marie dulu? Tentu aku ingin melihatnya untuk terakhir kali saat sebelum pisau bedah mencabik-cabik sekujur tubuh mungil itu.
...
Operasi telah usai dan juga mentari telah menyelesaikan tugasnya hari ini. Mentari terang digantikan bulan yang merangkak naik. Semunya cahaya bulan seperti senyumanku pada tim dokter saat melakukan rapat terakhir setelah operasi tahap kedua telah usai. Kami membatalkan 4 dari 6 tahap operasi karena kondisi tubuh Marie yang belum memungkinkan. Namun menurutku ketiga operasi tersebut telah cukup untuk mempertahankan hidupnya, setidaknya untuk 2 tahun ini.
Aku menuju ke ruanganku, bersiap untuk mengemas ponsel, buku pasien dan komputer jinjing (laptop). Aku mengambil telepon pintarku seraya melihat notifikasi telepon tidak terjawab 13 kali. Semuanya dari suamiku, Sumitro. Aku telepon balik dia. Dia mengangkat teleponku dan mengajak makan malam ke restoran tempat dia melamarku dulu.
Biasanya kalau dia begini dia mau merayuku, maksudnya meminta sesuatu dariku. Aku mengiyakannya. Lagi pula aku tengah lelah, pikiranku lelah setelah melakukan serangkaian operasi. Ya, Aku ikut mengoperasi anak itu hingga sampai tahap 2 operasi. Tahap terakhir operasi adalah menutup dan menjahit semua lubang yang kami buat.
Mungkin untuk beberapa hari ini Marie akan ditemani Risa. Risa ditempatkan di bangsal yang dekat dengan Marie.
Saat ini Marie tengah tertidur di ruangannya, sedang melupakan semua sakitnya. Aku harap mereka bisa berteman baik. Aku harap Risa bisa menjadi temannya. Aku harap hal itu menjadi kenyataan, tidak, pasti hal itu yang akan terjadi.
...
Malam dingin dengan angin yang berhembus dari barat. Kami berdua duduk di pojok ruangan sambil mendengar live music yang disediakan di restoran ini. Aku menghela napas. Aku duduk berhadapan dengan Sumitro, lalu aku meletakkan kepalaku ke meja, tertunduk.
"Mengalami hari yang buruk?" Kata Sumitro.
Aku menjawab dengan menggeleng.
"Lelah?" Katanya lagi.
"Nggak." Aku sangat lelah untuk meladeni pertanyaan basa-basi seperti itu.
"Hei kita bukan lagi remaja, eh ibu belum makan malam kan, pokoknya kita makan dulu." Katanya sambil melihat daftar menu.
Makan malam? Aku belum makan dari siang. Untungnya pagi tadi masih sempat membeli bubur di Kantin. Lalu dia mengambil pulpen dan selembar kertas pesanan, dan mulai menulis pesanannya.
"Lagi gak mood." Aku menjawab singkat, terkesan menyebalkan.
Dia menghentikan niatnya untuk menulis dan melihatku.
"Ah maaf maksudku..." Aku gugup, sadar kalau aku telah menyebalkan dan berkata terlalu kasar.
"Kalau begitu aku akan membeli 2 porsi nasi goreng untukku sendiri." Dia melanjutkan menulis pesanannya.
Kami terdiam sesaat.
"Emm... ada apa pak, tiba-tiba mengajak ke resto?" Tanyaku.
"Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan, tapi mungkin tidak sekarang, kalau kondisi lawan bicaraku sedang seperti ini." Katanya tenang.
"Sudah tidak apa-apa, apa yang mau-" Kataku terpotong.
"Jus anggur apa melon?" Dia menyela ucapanku.
"Anggur, eh maksudku apa yang ingin-" Kataku terpotong sekali lagi.
"Lalapannya dipisah atau dicampur?" Dia menyelaku lagi.
"Campur, eh Sumitroo!" Aku marah.
"Hahaha! maaf-maaf, aku tidak mau bicara dulu, kita makan dulu, mengembalikan energi kita, mungkin hari ini menjadi hari yang bagaimana ya... sama-sama berat bagi kita." Katanya dengan tersenyum.
10 tahun merajut asa bersama membuatnya tahu kelemahanku... aku tidak begitu suka orang tahu kelemahanku... tapi... emm... bagiku dia adalah... pengecualian. Begitu pula sebaliknya aku tahu Sumitro itu orang yang seperti apa. Saat seperti ini, dia juga lagi kelelahan. Kami berdua sedang lelah.
Kami membicarakan banyak hal klise saat ini. Bagaimana bahan-bahan pokok di pasar mulai naik, menggunjing tetangga yang baru membeli mobil baru, tikus di rumah yang banyaknya gak ketulungan (banyak sekali), sampai video viral di internet. Well, kami menikmati obrolan kami malam itu. Makanan dan Sumitro menjadi obat mujarab untuk mengobati rasa lelahku.
"Lo rese' kalau lagi laper... mendingan?" Suamiku menirukan iklan komersial di televisi masa lalu yang baru-baru ini viral lagi di dunia maya.
"Mendingan." Aku mengikuti.
Lalu kami tertawa bersama.
Dia menghela nafas panjang dan menjelaskan tentang apa yang terjadi hari ini. Hari saat melakukan flaminggo dari sore sampai malam ini. Itu membuatnya sangat lelah saat sebelumnya terpaksa harus kurang tidur lalu bangun dan memilah tumpukan berkas, kemudian Interogasi sampai saat ini.
"Jadi... seperti yang kami duga tidak diragukan lagi memang pemilik toko pelakunya, dia MPD (Multiple personality disorder)." Katanya.
"Berkepribadian ganda?" Tanyaku.
"Ya, baru kali ini kami melihat kasus MPD yang memiliki sifat yang bertolak belakang. Yang satu malaikat satu lagi iblis. Menurutku ada sifatnya yang satu lagi sih, tapi..." Suamiku tidak meneruskan perkataannya.
"Begitu kah? Lalu bagaimana? Bapak telah dapat bukti untuk Marie?" Tanyaku lebih lanjut.
"Marie? Ya Allah aku lupa." Katanya yang impulsif mengagetkanku.
"Lupa apa pak?" Aku penasaran apa yang dilupakannya.
"Lupa ambil fotonya. Bukannya dia kamu obati di rumah sakit? Aku butuh untuk bukti untuk di pengadilan nanti." Katanya.
"Oh itu, nih aku kirim lewat WhatsApp." Kataku tenang.
"Loh? Ini? Kapan kamu memotretnya?" Tanyanya sambil melihatnya memandang telepon pintarnya.
"Ini juga tugas dokter untuk memantau pasiennya dari awal dia masuk, jadi berterima kasih lah padaku wahai budak cintaku." Kataku mengejek.
"Apa'an ah kamu ini." kata Sumitro.
"Ngomong-ngomong bukan cuma obati, tapi operasi. Tadi Marie langsung kami operasi" Jelasku.
"Ohh... iya." Katanya datar seolah sudah tahu apa yang terjadi.
"Bentar.. jangan-jangan kamu sudah tahu kalau mau dioperasi?" Tanyaku.
"Tidak, aku hanya bercerita masalah Marie ke kakakmu, Raymond, dia orangnya sigap kalau masalah seperti ini." Jawabnya.
"Sigap? Menurutku ini hutang budinya kepadamu pak." Tandasku.
"Oh... ah itu sudah sangat lama, memang kenapa dengan Marie, sampai-sampai menjaga Marie sama dengan membayar hutang budinya?" Tanyanya.
"Apakah bapak benar-benar tidak tahu? Ya Raymond menganggap Marie sebagai anak kita pak." Jawabku tanpa pikir panjang.
Ah kata itu keluar dari mulutku. Mendengar Kata itu, Suamiku terdiam.
"Buk, sebenarnya ini, emm bagaimana kalau kita adopsi Marie? Ya... Ya, maksudku minimal kita rawat dia sampai sembuh, ya itu!... kita rawat dia sampai sembuh. Maksudku kan dengan kondisi ibu yang mandul ingin punya momongan (anak), bagaimana kalau setelah ini kita biarkan Marie tinggal di rumah." Katanya yang tampak seperti orang yang kerepotan.
Aku tertawa kecil.
"Ternyata pikiran kita sama pak, aku pikir aku harus membuat mi spesial buat bapak di rumah besuk." Kataku sambil tersenyum.
Mi Spesial yang ku maksud adalah Mi instan dengan ekstra saus. Sangat disayangkan tapi aku tidak bisa memasak.
"Mi spesial di rumah? Tunggu, ibuk mau minta apa emangnya?" Tanyaku.
"Tentu... membiarkanku merawat Marie di rumah." Jawabku.
Kita tertawa bersama, sampai tidak sadar jika pengunjung resto yang lain menengok ke arah kami.
"Ok jadi setuju ya hehe, nah satu lagi... Aku harus menemukan keluarga Marie yang sebenarnya, mereka pasti cemas selama beberapa tahun ini." Katanya.
"Ya pak, aku setuju, malah mungkin Marie telah dianggap sudah mati." Kataku.
Like it ? Add to library!
....
iklan Sneakers (id): https://www.youtube.com/watch?v=svhniLfT6PY