Mobil BMW hitam berhenti di depan lobi sebuah rumah mewah.
Michelle dan Eduardo turun dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah
Eduardo membuka pintu. "Ayo masuk," sinisnya dingin dan menyelonong saja.
Michelle mendengus. Galak amat nih orang.
Michelle mengikuti Eduardo.
"Kalian! Bagaimana bisa bersamaan datang ke sini?" Emma menyambut kedatangan Michelle dan Eduardo dengan senyum semringah.
Emma mendekati Michelle dan mencium pipi kiri-kanannya. "Ibu senang sekali kamu datang ke sini, Sayang."
Michelle tersenyum canggung. "A-aku juga, Ibu."
Eduardo memutar mata malas.
[Sebenarnya yang anak Mama itu siapa? Aku tahu gadis ini?] batin Eduardo jengkel.
"Ayo, Sayang, kita duduk." Emma menuntun Michelle duduk di sofa tamu.
"Iya, Ibu."
Eduardo mengikuti kedua wanita itu lalu duduk di sofa khusus satu orang.
"Ma, aku mau berbicara sesuatu pada Mama."
"Apa itu, Sayang?" tanya Emma dengan mata berbinar-binar.
"Aku ...," Eduardo terdiam. Hatinya makin bimbang. "Aku mau menikah dengan dia."
"Apa?!" Emma tersenyum sumringah. "Apa kamu serius?!"
"Ya."
"Mama senang sekali dengarnya, Sayang!" ucap Emma antusias.
Emma kembali menatap Michelle. "Kamu juga setuju, kan, menikah dengan anak Ibu?"
Michelle menatap Eduardo sekilas. Cowok itu segera membuang muka.
"Tapi ...."
Emma menggenggam tangan Michelle erat-erat. "Ibu mohon, kamu mau, ya?"
Dengan terpaksa Michelle mengangguk pelan. "Iya, Ibu. Aku mau."
Emma tersenyum lebar. "Akhirnya!"
Eduardo bangkit berdiri. "Ya sudah, aku balik ke kantor dulu, Ma."
"Eh, tunggu! Kamu bagaimana, sih? Kita harus bicarakan tanggal pernikahannya!" sergah Emma.
"Mama dan dia saja yang memilih tanggal pernikahannya. Aku harus kembali ke kantor, ada hal penting yang harus diselesaikan," tegas Eduardo dingin.
"Mama bilang, tidak. Kembali duduk!" perintah Emma tajam.
"Tetapi, Ma—"
"Mama bilang, duduk!" Emma melototi Eduardo tajam.
Eduardo menghela napas kasar, kemudian terpaksa kembali duduk.
Emma tersenyum manis pada Michelle. "Sayang, Ibu mau bertemu dengan orang tua kamu, boleh, kan?"
[Mampus!]
"A-nu ...," Michelle tersenyum kikuk. "Bukannya aku tidak mau, Bu. Tapi ...," dia berusaha mencari kata-kata yang tepat. "mereka sepertinya nggak akan peduli juga."
Wajah Emma berubah sendu. "Kenapa mereka bersikap seperti itu? Tega sekali mereka."
Michelle terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana. "Nggak apa-apa, Bu. Biar aku sendiri saja yang minta restu sama mereka."
"Tetapi, kan ...."
Michelle tersenyum lembut. "Nggak apa, Bu. Ibu tenang saja, biar aku yang urus masalah itu."
Emma menghela napas pelan dan kembali tersenyum lembut. "Baiklah, Sayang, kalau itu mau kamu."
"Eduardo, kamu punya tanggal yang kamu suka?" tanya Emma.
"Buat?"
"Yah, buat tanggal pernikahan kamulah!" kesal Emma.
Michelle menutup mulut, berusaha menahan tawa.
Eduardo menatap sinis Michelle, lalu kembali pada sang Mama. "Terserah Mama saja mau tanggal berapa."
"Kamu itu bagaimana, sih? Yang nikah 'kan kamu," protes Emma.
Eduardo menghela napas panjang, berusaha sabar "Lalu aku harus bagaimana, Ma? Aku bahkan tidak tahu soal pernikahan."
Emma geleng-geleng tidak habis pikir. "Kamu itu," omelnya. "Dari dulu tidak pernah berubah, selalu saja tidak bisa dimintai pendapat."
Tawa Michelle akan mau pecah. Namun, sekuat tenaga dia menjaga martabatnya di depan calon mertuanya.
Emma tersenyum manis pada Michelle. "Ya sudah, Sayang, biar kamu saja yang menentukan tanggal pernikahannya."
Michelle terkejut. "A-anu, Bu," dia terkekeh malu-malu. "Ibu saja. Aku juga tidak bisa tahu soal begituan."
Eduardo menahan tawa dalam hati.
Emma menghela napas pelan sambil tersenyum. "Ya sudah kalau begitu. Biar Mama yang menentukan tanggal pernikahan kalian."
***
Mobil Mercedez hitam melaju di tengah jalan raya. Hening. Tidak ada yang membuka suara. Eduardo fokus menatap ke depan, mengemudikan mobil. Sedangkan Michelle begitu asyik bermain game online.
Mobil Eduardo berhenti di pinggir jalan. "Kita sudah sampai di tempat yang kamu bilang tadi. Sekarang di mana rumahmu?"
Michelle memandang ke sekelilingnya. "Sudah sampe, ya? Thanks, Bos. Gue turun di sini aja."
Eduardo menahan tangan Michelle. "Tidak bisa! Saya harus mengantar kamu sampai di depan rumahmu!"
Michelle terpaku pada tangan Eduardo. Entah kenapa, jantungnya berdegup kencang.
Michelle segera menarik lengannya sebelum makin salah tingkah. "Gue mau turun di sini aja, karena gue masih ada urusan lain lagi."
Wajah Eduardo mendadak merah padam. "Jadi alamat yang kamu bilang tadi bukan alamat rumahmu, Hah?!" bentaknya. "Jadi sekarang saya sedang mengantar kamu ke tempat yang kamu tuju!"
"Iya, memangnya kenapa?" tanya Michelle santai.
Eduardo menggeram. "Turun!"
"Memang saya mau turun," jawab Michelle enteng, dia segera ke luar dari mobil Eduardo.
Dengan geram Eduardo memasukkan polling gigi dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan gadis itu sendirian di tengah jalan pada malam hari.
Michelle terus memandangi mobil Eduardo makin menjauh dari pandangannya.
[Tuh orang kenapa, sih? Aneh bener.]
***
Pagi harinya.
Michelle keluar dari kamar. Ia mengenakan kemeja putih yang kali ini tampak rapi. Sambil menenteng sepatunya, ia berjalan menuju meja makan.
Papa, Mama, dan kedua saudarinya sedang sarapan di meja makan sambil tertawa riang.
"Selamat pagi." Michelle menarik salah satu kursi lalu duduk.
Suasana mendadak hening.
Dada Michelle berdenyut sakit. Sudah sering keluarganya memperlakukan dia seperti ini.
"Tumben makan di meja makan," sindir Amel, kakaknya.
Michelle menatap Papa dan Mama Serius. "Pa, Ma, ada yang mau aku omongin."
Alvin dan Wenda tampak tidak peduli. Mereka pura-pura asyik menyantap makanannya.
"Aku bakalan menikah."
"WHAAT?!" teriak Amel dan Karina syok. "Lo mau nikah?!"
"Terserah. Kamu mau menikah atau apa pun itu. Tapi yang pasti, Papa tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya pernikahan kamu," jawab Alvin dingin.
Michelle menunduk. Bukannya seharusnya mereka antusias? Atau sekedar menanyakan siapa calon suaminya?
"Pasti calon suami lo pemulung, ya?" Kirana, adik bungsunya, tertawa mengejek.
Alvin menyeka mulutnya menggunakan tisu. "Sayang, doain Papa, ya, semoga rekan bisnis Papa mau menanamkan modal di perusahaan Papa." Alvin tersenyum pada Amel dan Kirana.
"Iya, Pa!" sahut Amel dan Kirana semangat.
"Nanti belikan aku ponsel baru ya, Pa," pinta Amel manja.
"Aku juga! Belikan motor baru," pinta Kirana tak mau kelewatan.
Alvin tersenyum. "Iya, kalian tenang saja. Semua kemauan kalian pasti Papa akan turuti."
Michelle pura-pura menikmati rotinya, bersikap seolah tidak sakit hati melihat perlakuan sang Papa yang hanya begitu menyayangi kedua saudarinya.
Michelle melahap sekaligus sisa roti ke mulutnya, lalu bangkit berdiri sambil menenteng sepatu kerja. "Saya berangkat dulu."
Tidak ada yang menjawab.
Michelle bergegas pergi meninggalkan ruang makan sebelum air matanya tertumpah di depan keluarganya.
Dreet... Dreet...
Michelle meletakkan sepatunya di lantai. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku roknya.
Michelle mengernyit. Tertera sebuah nomor tak dikenal di ponselnya.
[Ini nomer siapa?] batin Michelle bingung. Dengan ragu dia mengangkat panggilan itu.
"Halo. Ini denga—"
"Di mana alamat rumahmu? Cepat kirimkan padaku, biar aku jemput."
Mata Michelle langsung membulat sempurna. "E-eduardo!? Lo dapat nomer gue dari mana!?"
Terdengar suara helaan napas berat dari seberang sana. "Itu tidak penting. Sekarang kirim alamat rumahmu, biar saya jemput."
"Nggak usah, Pak! Saya bisa ke kantor sendiri, kok!" tolak Michelle cepat.
[Nggak, nggak boleh! Jangan sampai keluarga gue sampai melihat Eduardo! Bisa-bisa nanti mereka menguras kekayaan Eduardo] batin Michelle panik.
"Cepat! Ini perintah Mama!" kesal Eduardo.
Michelle segera mematikan sambungannya begitu saja. Kalau sudah membawa Emma, Michelle pasti tidak akan bisa menolaknya.
Michelle buru-buru mengenakan sepatunya, lalu berlari kecil menuju pangkalan ojek di dekat rumahnya.
***
Eduardo dan Michelle berpapasan saat hendak melewati pintu utama kantor.
"Hei, kamu!" panggil Eduardo geram.
Jantung Michelle seketika berdebar-debar. Perlahan, ia menoleh ke sumber suara.
"Eh, Bapak." Michelle menyengir lebar.
"Kenapa kamu matikan panggilan saya? Di mana sopan santunmu?!" Eduardo berjalan mendekat Michelle dengan tatapan tajam.
Michelle terkekeh cengengesan. "Sorry, Pak, tadi di rumah saya lagi hujan deras, jadi saya harus cepat-cepat matiin teleponnya."
"Kamu jangan bohong!" sergah Eduardo tajam.
"Kalian kenapa? Kok ribut-ribut di depan pintu, sih?" Sara tersenyum mendekati Eduardo dan Michelle. Ia kebetulan baru datang.
Michelle lantas menoleh. Jantungnya seolah berhenti melihat sosok sahabatnya itu.
Gimana ini? Apa Sara masih mau sahabatan sama gue, kalau dia tahu gue bakalan nikah dengan gebetannya? batin Michelle cemas.
"Kalian kenapa? Kok ngelihat aku kayak melihat hantu, sih?" tanya Sara terkekeh.
"Ng-nggak ada apa-apa, kok!"
"B-bukan apa-apa!"
Eduardo dan Michelle saling melirik ketika mereka kompak menjawab pertanyaan Sara.
Sara mengernyit memandang Michelle dan Eduardo bergantian. Ia terkekeh lepas. "Kok bisa samaan gitu bilangnya, sih?"
Michelle berusaha tertawa. "Namanya juga kebetulan," elaknya gugup. "Ya sudah, ya, Sar. Gue masuk duluan, kerjaan gue numpuk, nih. Bye!" Michelle berlari meninggalkan Eduardo dan sahabatnya itu.
"Kamu kenapa? Apa dia bikin masalah lagi?" tanya Sara lembut.
Eduardo tersentak. "Ya?
"Apa dia bikin masalah lagi sama kamu?" ulang Sara tersenyum.
"I-iya." Eduardo tersenyum kikuk. "Biasalah," jawabnya sedikit gugup.
[Bagaimana ini? Bagaimana caranya aku memberi tahu Sara, bahwa aku akan menikah dengan sahabatnya?] batin Eduardo bimbang.