Adit menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya masih memikirkan tentang Pak Teguh.
Dia baru saja mengetahui fakta bahwa terakhir kali ke luar negeri bersama Pak Teguh, tapi tiba-tiba saja Adit masih di rumah.
"Kata papa sopirku itu mengundurkan diri setelah mengantarku, apa dia tahu sesuatu?" gumamnya.
Adit mengusak surainya dengan kasar. Dia melirik ke arah Dhea yang tengah tertidur di atas ranjangnya.
"Tidur sofa lagi," monolognya seraya bangkit mengambil bantal dan selimut.
Saat perjalanan ke ruang tamu, Adit teringat pada Daffa. Dia meletakkan bantal tersebut dan berjalan ke arah pintu.
Adit membuka pintu dan menemukan Daffa yang tengah bersandar pada pintu unit Dhea seraya tersenyum.
Dia melambaikan tangan ke arah Adit.
"Hai, Daffa! Kenapa kamu keluar? Masuklah sekarang. Di sini bahaya."
"Bahaya apa?" tanya Adit.
"Masuklah. Nenek tua itu akan datang," jawab Daffa.
Tiba-tiba saja angin berembus. Adit menatap ke arah Daffa yang terlihat panik. Dia menyatukan alis tidak mengerti.
"Kita harus sembunyi, Adit!" seru Daffa.
Tanpa aba-aba Daffa menarik Adit ke unitnya. Dia memberi isyarat agar Adit diam, tapi penyanyi itu sudah tidak tahan ingin bertanya.
"Ada—" ucapnya yang terpotong karena Daffa lebih dulu membekapnya.
Adit memandang ke arah Daffa bingung, lalu dia melirik ke bawah.
"Daffa tidak menyentuh lantai? Tapi, kenapa aku masih bisa menyentuh? Aneh," batinnya.
Daffa melepaskan bekapkannya pada Adit dan ingin keluar, tapi Adit menahannya.
"Ada apa?" tanya Daffa.
"Kenapa kamu tidak menyentuh lantai? Bukankah kita sama-sama arwah?" balas Adit.
Daffa mengangguk mengerti, lalu tersenyum kecil ke arah Adit.
"Aku arwah yang tidak akan bisa kembali ke alam manusia. Yah, singkatnya aku sudah benar-benar mati, sedangkan kamu mungkin koma," jawabnya.
Adit kembali menyatukan alis. Apa arwah juga memiliki level? Pikirnya.
"Intinya tubuhmu masih ada, tapi kamu tidak bisa mengambang sepertiku karena kamu masih semi manusia. Jika, tubuhmu tiba-tiba keadaannya memburuk bisa saja kamu menembus barang atau tembok," imbuh Daffa yang melihat raut tidak mengerti Adit.
"Arwah atau bukan, tapi aku ingin menjadi manusia. Ngomong-ngomong kenapa kamu masih di dunia manusia, lalu kita harus sembunyi dari siapa tadi?" cercanya.
Daffa menarik nafas panjang, dia menarik Adit agar duduk di sofa diikuti dengan dirinya walau aslinya dia hanya mengambang.
"Ada hak yang harus aku selesaikan dan soal orang tadi. Itu....." Daffa menjeda ucapannya.
"Apa?" tanya Adit tidak sabar.
"Semacam malaikat maut, tapi ini versi yang menyeramkan. Dia mencari arwah-arwah yang kabur dan hal itu juga berlaku padamu," jelasnya.
"Apa aku akan mati? Apa aku tidak akan bisa bernyanyi lagi? Apa aku—"
"Stop! Pikiranmu terlalu konyol untuk ukuran manusia. Intinya kamu harus mencari tubuhmu saja sembunyi dari entah apa aku menyebutkan pria bertopi hitam," selanya.
Adit hanya mengangguk mengerti, tiba-tiba mereka merasakan hawa yang sama. Adit buru-buru menarik tangan Daffa ke dalam kamarnya.
Merela bersembunyi di dalam lemari kayu.
"Kenapa di ke sini?" tanya Adit.
"Karena bau arwah tercium sangat kuat. Mungkin saat ini kondisimu buruk hingga auramu ikut tercium," jawab Daffa.
Adit menatap Daffa dengan wajah bodohnya, posisi mereka sangat berdekatan dan minim pencahayaan.
"Seperti dia sudah pergi. Kamu keluar dulu," titah Daffa.
Adit menangguk melangkahkan satu kaki keluar, tapi tiba-tiba dia menoleh ke arah Daffa dan menyengir seperti orang bodoh.
"Kaki menembus lantai," cetus Adit.
Daffa sedikit maju dan tertawa kecil walau ada beberapa noda darah, tapi Adit mengakui Daffa sangat tampan.
"Sudah kuduga. Pantas saja pria bertopi hitam ke sini, saat tubuhmu melemah berarti kamu mendekati kematian yang sebenarnya. Tapi, kamu bisa aman jika berdiri di barang-bang yang terbuat dari alam," jelasnya.
"Tapi, pasir dari alam," sela Adit.
"Iya, tapi banyak campuran. Dan lemari ini tidak memiliki campuran apa pun, beruntung kita di sini. Jika, tidak kamu akan menjadi arwah," jawabnya.
Malam itu Daffa dan Adit memutuskan untuk berbincang di dalam lemari hingga keduanya tertidur. Tepatnya hanya Adit, karena Daffa sudah tidak merasakan kantuk.
°°°
Dhea terbangun lebih pagi karena tirai yang sedikit terbuka. Hal itu membuat sinar matahari masuk dan tepat mengenai wajahnya.
"Arg! Menyebalkan," kesalnya.
Dengan mata sedikit tertutup di berjalan sempoyongan ke arah jendela dan menutup tirai, lalu kembali ke ranjang.
Tapi, bukannya kembali dengan pelan Dhea malah melompat hingga menimbulkan suar keras.
Tersentak, Adit membuka mata dengan berdecak malas. Dia memerhatikan sekitar dan baru sadar jika masih di lemari.
"Daffa tidak ada? Aku berharap bisa bertemu dengannya. Ngomong-ngomong Daffa sangat familier," gumamnya.
Adit menggelengkan kepala pelan, lalu mencoba menyentuh lantai dan beruntung dia tidak tembus.
Tujuannya saat ini adalah dapur untuk minum, tapi matanya menangkap ke arah Dhea yang tertidur pulas.
Kedua ujung bibirnya terangkat, dia mendekat dan merapikan selimut Dhea, lalu ke dapur.
Daffa menatap ke seluruh penjuru ruangan siapa tahu bida menemukan Daffa.
"Kenapa aku hanya melihat Daffa? Bukankah aku juga arwah hampir mirip dengan hantu?" herannya.
Tapi, pikirannya konyol itu dengan cepat dia hilangkan. Adit segera minum dan tidak lama Dhea keluar dengan rambut berantakan.
Gadis itu memeluk Adit dari belakang. Adit tersentak kaget, tapi setelah itu dia menarik nafas.
"Lelah dari rumah orang tuaku?" tanyanya.
Dhea tidak menjawab hanya mengangguk saja.
"Ya, sudah. Sana bersiap, aku antar ke sekolah," titahnya.
"Tapi, aku lelah. Bisakah kita membolos saja," tawar Dhea.
"Lusa sudah libur, Dhea. Sana bersiap aku tidak mau kamu bodoh," jawab Adit.
Dhea mendelik tajam, lalu ke unitnya untuk bersiap-siap. Sedangkan kini Adit sedang membuat sarapan.
Tidak lama Dhea kembali ke unit Adit dengan wajah segar. Dia mengambil telur gulung di atas maja dan memakannya rakut.
"Pelan-pelan saja," cetus Adit yang baru keluar kamar.
"Kak, kenapa aku tidak pernah melihatmu keramas?" tanya Dhea.
Bola mata Adit seketika bergerak gelisah.
"Pernah, tapi saat itu kamu sekolah," jawabnya.
Dhea mengangguk-angguk ke arah Adit, lalu kembali melanjutkan makannya.
Selesai makan Adit menepati perkataannya mengantarkan Dhea walau di perjalanan keduanya hanya sibuk diam.
Saat lampu merah tiba-tiba Adit menoleh ke arah Dhea yang tengah melihat video artis Korea.
"Apa itu?" tanyanya.
"Ini? Video artis Korea. Ini biasku semua," jawabnya. Dhea mulai menjelaskan satu persatu hingga tanpa sadar mereka sudah sampai di depan gerbang.
"Kak, nanti jemput, ya?" pinta Dhea.
Gadis itu mengira Adit akan menolak, tapi siapa sangka penyanyi itu mengangguk.
"Aku usahakan," jawabnya.
Dhea keluar mobil dengan senyum mengembang yang terlihat konyol, tapi senyuman itu luntur ketika melihat objek yang tidak jauh darinya.