webnovel

Winda Sekarat

Bab 24

"Papa menyerahkan semua keputusan padamu, Ra. Selama ini, Papa sudah berbuat salah dengan memaksakan kehendak pada kalian berdua. Papa yakin, kamu dapat membuat keputusan yang baik dan tepat," ujar Papa. 

Sore harinya aku menceritakan pada Papa tentang keinginan Umami untuk menikahiku. Ternyata Papa malah menyerahkan semuanya padaku. 

"Sebenarnya Clara mulai menyukai Umami kembali, apa. Namun, entah mengapa masih ada rasa ragu. Clara takut," balasku ragu.

"Takut? Apa yang kamu takutkan? Mamanya sudah setuju, bahkan sampai menemui kamu langsung, kan?" tanya Papa. 

Aku memang sudah menceritakan soal mamanya Umami pada Papa. Biasanya aku selalu menceritakan  d apapun masalahku pada  Mama. Sekarang, sejak  Mama meninggal, aku bercerita pada Papa. Kami jadi jadi lebih dekat sekarang ini. 

"Aku ... masih ragu, Pa. Selain itu, aku juga ...." Aku juga baru ingat kalau belum menceritakankan soal permintaan Kak Winda kemarin.

"Masa Winda minta kamu begitu, Ra. Apa dia yakin akan meninggal setelah melahirkan anaknya? Dia bukan Tuhan, kan? Yang bisa menentukan hidup matinya sendiri."

Papa juga tak kalah heran setelah mendengar ceritaku. 

"Makanya itu, Pa. Clara aja bingung dengan permintaannya. Padahal, dulu dia yang paling gak suka saat Clara jadi istrinya Mas Azzam," sahutku.

"Apa kamu masih mencintai Azzam?" 

"Idih, Papa. Dulu Clara juga terpaksa mengikuti kemauan Papa dan Mama. Walau perlahan mulai ada rasa, tapi keburu layu karena kepulangan Clara ke sini."

Papa tersenyum mendengar jawabanku. 

"Kami sudah dewasa, Clara. Papa senang, kamu bisa melewati semua masalah hidupmu."

Aku memeluk Papa sambil tersenyum bahagia. Hatiku begitu lega setelah berbicara dengannya. 

"Terima kasih, ya, Pa," ucapku. 

"Hey, ada apa ini. Kalian berduaan tanpa mengajak aku, ya! Aku serasa anak tiri jadinya!" seru Cleo yang baru saja keluar dari kamarnya. 

Tak mau kalah, dia pun lngsung saja dia ikut memeluk Papa.

Papa sampai tertawa terbahak menerima pelukan tiba-tiba dari Cleo. 

Kami pun asyik bercanda dan tertawa bertiga. Sampai sebuah salam dan ketukan di pintu depan, membuat kami berhenti lalu berpandangan dengan heran. 

Kira-kira siapa orang yang datang bertamu hari itu?

"Assalamualaikum," salam seseorang di luar rumah. 

"Waalaikumsalam," jawab kami bertiga kompak. 

"Siapa, Pa?" tanyaku pada Papa.

"Mana Papa tahu, kita, kan sama-sama di sini. Coba Cleo, kamu buka sana?" Papa menyuruh Cleo untuk membuka pintu depan. 

Cleo berlari kecil menuju ke pintu, tak lama dia kembali lagi dengan senyum jahilnya. Matanya mengerlingku nakal padaku, membuat aku heran dan curiga padanya. 

"Siapa yang datang, Cleo?" tanya Papa saat Cleo masuk kembali sambil tersenyum-senyum.

"Coba tebak siapa?" tanya Cleo sambil mengerlingku lagi. 

Aku sudah bisa menebak siapa yang datang, pasti dia. Aku bangkit dengan malas lalu berjalan menuju ke ruang tamu. 

"Mbak mau ke mana?" tanya Cleo heran. 

"Ke depan lah, Umam yang datang, kan?" tebakku. 

"Cieee, yang sudah sehati. Tanpa dikasih tahu juga udah paham siapa yang datang," ledek Cleo.

Aku tak menjawab ocehan Cleo, sementara Papa hanya tertawa saja melihat kami berdua. Saat aku menoleh padanya, dia mengangguk menyuruhku segera menemui Umami.

Aku pun beranjak ke depan untuk menemui Umami. Pria itu langsung berdiri menyambutnya dengan senyum manisnya. 

"Clara, apa .... aku mengganggu waktumu?" tanyanya dengan wajah ragu.

Aku menggeleng dan berkata kalau aku sedang santai dengan Papa dan Cleo di dalam. Umami pun duduk saat kusuruh untuk duduk setelah itu aku juga ikut duduk di seberang meja yang ada di hadapan Umami. 

Baru saja Umami akan memulai pembicaraan, tapi dering ponselku terpaksa membuatnya harus mengurungkan niatnya. 

"Assalamualaikum, ada apa, Ma?" tanyaku pada mamanya Mas Azzam. Aku memang masih memanggilnya dengan sebutan Mama. Terlebih lagi setelah mamaku meningal, aku menganggap mamanya Mas Azzam itu sebagai pengganti mamaku. 

"Waalaikumsalam, Clara. Winda ... dia sekarat, Ra," beritahu mamanya Mas Azzam di ujung telepon sana. 

"Innalillahi, apa yang terjadi, Ma?" tanyaku ikut panik.

Kak Winda sekarat, apa penyakitnya semakin parah? Lalu bagaimana dengan keadaan bayi yang sedang dikandungnya?

Berbagai pertanyaan berputar terus di benakku. Umami yang masih mengawasiku ikut tegang melihatku.

"Mama ... ah, sebaiknya kamu ke rumah sakit secepatnya, Ra. Kami sudah di sini semua," jawab mamanya Mas Azzam sambil terus menangis. 

"Baik, Ma. Aku segera ke sana!" seruku lalu langsung menutup ponselku dengan panik sampai lupa mengucapkan salam. 

Biarlah, pasti makanan Mas Azzam mengerti. Aku segera masuk ke ruang tengah untuk memberitahu Papa keadaan Kak Winda. 

Papa menyuruhku berangkat lebih dulu bersama Umami, nanti beliau menyusul dengan Cleo. 

Akhirnya aku pun berangkat berdua saja dengan Umami. Sepanjang perjalanan, kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Umami mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sehingga kami bisa tiba dengan cepat di rumah sakit. 

Tampak Mama dan Papanya Mas Azzam sedang menunggu di rumah ICU. Namun, aku tak melihat keberadaan Mas Azzam. Mungkin dia juga masih dalam perjalanan. 

"Mama! Apa yang terjadi?" tanyaku setelah tiba di dekat mereka. 

"Winda, Ra. Tiba-tiba saja kondisinya menurun. Memang seharian ini dia mengeluh tak enak badan, gak nyangka kalau kondisinya jadi begini," jawab Mama Mas Azzam sambil memelukku.

Aku melerai pelukan Mama Mas AzAm saat seorang dokter ke luar dari ruangan ICU. 

"Siapa yang bernama Clara?" tanyanya.

"Saya, dok. Bagaimana keadaan kak Winda?" Aku maju beberapa langkah ke arah dokter itu. 

Beliau memandangku sejenak, lalu memberitahu kalau pasien ingin bertemu denganku. 

Bergegas aku masuk ke dalam lalu mengganti pakaian dengan baju khusus. Aku mendekati kak Winda yang tampak tenang. Seorang suster mempersilahkan aku untuk mendekat. 

"Clara," ucap Kak Winda begitu melihatku. 

"Iya, Kak. Ini Clara, Kakak harus kuat, ya. Demi bayi yang ada di dalam kandungan kakak," ucapku mencoba memberinya semangat. 

"Aku sudah gak kuat Clara, sakit sekali rasanya kepalaku ini. Aku ... boleh minta satu permintaan sama kamu, Ra?" 

"Kakak harus kuat, kasihan adek bayinya. Jangan berpikiran macam-macam dulu, ya!" 

Kak Winda menggelengak, air mata terus mengalir di kedua pipinya. Saat aku menggenggam tangannya yang terasa sangat dingin, dia menggenggam tanganku dengan erat. 

"Clara, penuhi lah permintaanku kemarin. Menikahlah dengan Mas Azzam dan rawatlah anakku nanti," ucapnya semakin lemah. 

Aku tak bisa menjawabnya, aku bingung dan takut melihat keadaan Kak Winda yang semakin gawat. 

Dokter yang memanggilku tadi masuk dan berkata kalau kak Winda akan segera dibawa ke ruang operasi untuk mengeluarkan bayinya. 

Aku dan yang lainnya mengikuti Kak Winda yang dibawa ke ruang operasi sampai langkah kami terhenti di depan pintu. 

Bersambung