webnovel

Terciduk

Bab 21

"Papa kamu mana? Biar aku permisi sama beliau karena hendak membawa putrinya jalan-jalan malam," tanyanya.

"Papa sedang pergi, yang ada hanya Cleo sama si Bibi," jawabku. 

"Ada apa sebut-sebut namaku?" Terdengar suara Cleo bertanya di belakangku.

Aku menoleh ke belakang, entah kapan anak itu sudah berada di belakangku. 

"Ngagetin aja kamu, Cleo. Ini Umami mau ngajak Mbak jalan-jalan. Kamu mau, gak?" tanyaku berbasa-basi.

Cleo mengikut lenganku sambil tersenyum jahil. Sementara Umami hanya melihat kami berdua saja tanpa berbicara.

"Gak, ah!" jawabnya cepat.

"Lho, kenapa? Biasanya paling cepat minta ikut kalau Mbak mau jalan?"

"Aku gak mau jadi setan, Mbak. Kalian pergi aja berdua!" jawabnya. 

Gak mau jadi setan katanya, maksudnya apa ya? Astagfirullah, dia pasti mengingat ungkapan yang terkenal itu.

'Tidak boleh berduaan antara laki-laki dan perempuan karena yang ketiganya adalah setan.'

Aku tak bisa menolak lagi, akhirnya harus mengikuti langkah Umami setelah pamit pada Cleo. 

Kami berjalan dalam diam, aku menikmati suasana malam di sekitar rumahku. Baru kali ini aku keluar saat malam hari dengan berjalan kaki. 

Ternyata lumayan asyik juga, banyak orang yang juga berlalu lalang menuju ke luar ataupun masuk ke dalam komplek perumahan. 

Sesekali aku mengangguk, bahkan tersenyum dan menyapa orang yang kukenal di jalan. 

"Neng Clara, tumben keluar malam? Jalan kaki lagi," sapa Mang Ujang. satpam komplek yang aku kenal dengan baik.

"Iya, Mang. Lagi pengen jalan kaki," jawabku singkat saja.

Mang Ujang mengangguk saat aku pamit padanya, dia juga tersenyum pada Umami yang ikut menegurnya. 

"Ternyata kamu cukup populer juga di sini, ya, Ra. Sejak tadi ada saja yang menegur kamu," kata Umami saat kami telah tiba di luar komplek. 

"Waktu masih gadis dulu, aku ikut kegiatan pengajian muda-mudi dan karang taruna juga," beritahuku.

Umami mengangguk-angguk, lalu mengikuti langkahku ke arah kanan. 

Beberapa meter kemudian, kami tiba di sebuah tanah lapang. 

Di sekitar tanah lapang banyak terdapat pedangan makanan yang hanya mangkal sejak sore sampai tengah malam nanti. 

Aku terlalu antusias menyeberang jalan sambil melihat gerobak mie ayam sampai tak sadar ada sepeda motor yang melintas dengan kencang. Hampir saja aku tersenggol jika Umami tak menarikku ke dekatnya. 

Tanpa sengaja kami pun berpelukan, jantungku berdebar tak karuan. Langsung saja kudorong tubuh Umami agar menjauh dariku. 

"Maaf," ucapnya. 

Aku hanya mengangguk saja, rasa malu masih menguasai pikiranku.

Setelah kejadian malam itu, Umami semakin intens menghubungiku. Aku pun tak pernah menolak lagi panggilannya. 

Entahlah apa yang terjadi pada diriku, sekarang malah aku yang merasa kehilangan jika Umami tak meneleponku sehari saja. 

Seperti yang kurasakan sekarang ini, sudah satu minggu ini dia tak menghubungiku. Rasa kangen, kesal dan kehilangan kerap melanda hatiku. 

Apa aku mulai jatuh cinta lagi padanya? Rasa ini juga pernah mulai kurasakan pada Mas Azzam dulu, sebelum orang tuaku datang berkunjung ke rumahku. 

Tiba-tiba ponselku berdering, mungkin itu dari Umami. Dengan semangat aku mengambil ponsel dari dalam tas. Aku menghela napas kecewa saat membaca nama si pemanggil. Ternyata bukan dia yang menghubungiku. Dengan malas kujawab panggilan telepon tersebut.

"Assalamualaikum, Kak Winda. Ada apa, ya?" tanyaku dengan tak bersemangat. 

Kak Winda yang meneleponku ternyata juga merasakan nada suaraku. Dia bertanya apa aku sakit, kenapa suaraku terdengar lemas. 

"Gak, Kak. Aku lapar," jawabku asal. 

"Oh, Kakak kira sakit kau, Dek. Aku cuma mau kasih tahu, sekarang aku ada di rumah Mas Azzam. Kapan kita bisa jumpa, ada hal yang mau aku cakap sama kau, Dek."

Aku tersenyum mendengar nada suara Kak Winda, sudah lama aku tak mendengar logat Medan itu. Rindu juga aku jadinya.

"Besok aku bisa, Kak. Mau ketemu di mana?" tanyaku. 

Kak Winda menyebutkan sebuah nama rumah sakit di mana Umami bekerja. Kebetulan kalau begitu, sekalian saja aku mencari informasi tentang Umami di sana nanti. 

Aku pun setuju dengan usul Kak Winda. Katanya dia akan diantar Mas Azzam ke rumah sakit, lalu pulangnya dia akan memesan taksi. Jadi sebelum pulang, kami akan bertemu di kafe depan rumah sakit. 

Kututupi ponsel sambil bersenandung riang, besok aku akan mencari info mengapa Umami tak menghubungiku selama seminggu lebih. 

_____

Keesokan harinya, aku pergi lebih cepat dari janjiku dengan kak Winda. Aku akan menemui Umami lebih dulu, baru bertemu dengan mantan maduku itu.

Taksi yang kutumpangi telah tiba di depan rumah sakit. Dengan ragu aku masuk ke gedung berwarna putih bersih itu. 

Aku langsung menuju ke ruang IGD, karena setahuku dia bertugas di sana. Sampai di sana, aku celingukan mencari sosoknya. Namun, tak kulihat juga sosok Umami yang kucari. Entah di mana dia, mungkin sedang sibuk mengurus pasiennya.

"Suster, maaf saya mau bertanya boleh?" tanyaku pada seorang suster yang melintas.

"Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ehm, kalau boleh tahu. Apa Dokter Umam sedang berdinas hari ini atau tidak?" tanyaku dengan sedikit tersipu malu. 

Suster tersebut tersenyum lalu berkata kalau kebetulan Dokter Umam baru saja kembali dari daerah terpencil bersama Dokter Abdi. 

"Sepertinya Dokter Umam ada di ruangannya. Mbak jalan lurus saja, nanti di ujung lorong itu ruangannya. Ada papan namanya, kok, di pintunya," beritahu suster tersebut. 

"Terima kasih, Suster," ucapku. 

Suster itu pun mengangguk lalu pamit untuk kembali ke ruangannya. Sepertinya tinggal suster tersebut, aku pun mencari ruangannya Umam seperti yang diberitahukan oleh suster tadi. 

Aku telah tiba di ujung lorong, ternyata memang benar kata suster itu. Ada nama Umam tergantung di pintu yang tertutup rapat di depanku. 

Aku mengangkat tangan hendak mengetuk pintunya, tapi kuurungkan karena mendengar suara wanita menangis dari dalam ruangan Umam. 

Apa aku tak salah dengar? Kurapatkan telingaku pada pintu itu. Benar saja, ada suara wanita menangis dan juga suara Umam yang sedang menenangkannya. 

Hatiku bergemuruh, pikiran negatif langsung menguasai diriku. Dengan penuh amarah aku memutar handel pintu. Ternyata tak dikunci, langsung saja kudorong pintu tersebut sampai terbuka lebar.

Dadaku sesak melihat pemandangan yang tersaji di dalam ruangan. Umam sedang memeluk seorang wanita yang sedang menangis. Mereka berpelukan, hal itu membuat hatiku hancur berantakan. 

Umam juga terkejut melihat kedatanganku, dia langsung melepaskan pelukannya. Lalu bergegas mendekatiku yang spontan mundur beberapa langkah. 

Air mataku mengalir tanpa kusadari, aku kecewa dengan kenyataan yang kulihat tadi.

"Clara, aku ...." Kupotong langsung kalimat pembelaan diri dari Umami, aku sedang tak ingin mendengar alasan apapun darinya.

"Stop! Cukup Umam! Tak usah memberi alasan apapun. Aku permisi!" 

Aku pun berlari meninggalkan Umam yang terus berteriak memanggil namaku. 

Aku terus berlari tanpa peduli dengan orang-orang yang heran melihatku. Aku kecewa, aku benci!

Bersambung.