webnovel

Siapa Mak Ijah

Bab 7 - Siapa Mak Ijah

"Jangan cemas kali kelen, cuma kecapekannya kau, Winda. Ayo Mak pijat di dalam!" ucap Mak Ijah.

Wanita tua itu menyeringai sambil melirikku, dia baru saja datang setelah dijemput oleh Mas Azzam. 

Kak Winda yang terus meringis kesakitan pun menurut saja saat dituntun Mak Ijah ke dalam kamar. 

"Kau tunggu di luar saja, Azzam. Tak pala perlunya kau di dalam!" usir Mak Ijah mengusir Mas Azzam yang ingin ikut masuk ke kamarnya.

"Iya, Mak. Kalau ada apa-apa cepat panggil saya, ya!" pesan Mas Azzam.

"Ah, ada apa-apa pula maksud kau. Sudah kubilang cuma kecapekan aja si Winda. Habis kupijst nanti, pasti langsung segar badannya!" sanggah Mak Ijah tak senang. 

Aku mencebik di belakang Mak Ijah. Sombong sekali dia, bisa memastikan sesuatu yang belum pasti.

Mas Azzam pun terduduk dengan lemas. Aku masih berdiri tak jauh dari kamar kak Winda yang pintunya sudah tertutup. 

"Ini karena kamu gak mau membantunya bersih-bersih rumah, Clara!" kata Mas Azzam sambil menatapku dengan tajam. 

"Kok jadi aku yang disalahkan, Mas. Aku udah bilang, kalau aku bukan pembantu di sini. Kalau Mas merasa dia gak sanggup mengurus rumah, cari aja pembantu. Kenapa jadi dilimpahkan padaku!" balasku.

Aku tak terima disalahkan oleh Mas Azzam. Suamiku itu tak bisa menjawab ucapanku. Dia hanya menghela napas saja, kemudian menggeleng dengan wajah putus asa. 

"Oh, ya, Mas. Pertanyaanku tadi belum dijawab, lho," sambungku lagi. Tiba-tiba aku teringat pertanyaanku tadi. 

"Pertanyaan apa?"

"Itu, bagaimana awalnya Mas Azzam bisa menikah dengan Kak Winda?" ulangku lagi.

"Oh, itu. Hmm, kami menikah karena terpaksa sebenarnya. Waktu itu, hari sudah larut malam, Winda yang tinggal di sebelah kontrakanku minta tolong Mas untuk mengusir kecoa yang banyak beterbangan di kamarnya."

Mas Azzam berhenti sejenak, lalu melanjutkan ceritanya. Kata Mas Azzam, saat dia sedang mencari-cari keberadaan kecoa itu, tiba-tiba datang pak RT beserta warga sekitar. Mereka digerebek dan dibawa ke rumah Pak RT untuk dimintai keterangan. 

"Terus! Mengapa kalian malah dipaksa menikah? Apa Mas pacaran dengannya?" tanyaku tak sabaran. 

Mas Azzam menggeleng, pandangannya sesekali melirik ke pintu kamar yang masih tertutup. Sepertinya Mas Azzam takut ketahuan oleh Kak Winda.

"Tidak! Kami gak pacaran. Namun, warga menuduh kami berbuat tak senonoh. Walau Mas bersikeras menolak tuduhan mereka, tapi kami dipaksa menikah malam itu juga. Mak Ijah itu lah yang paling memaksa waktu itu," jawabnya.

"Halah, Mas. Kalau kamu memang tak berbuat apa-apa, ngapain mau dipaksa nikah. Mas bisa menolak atau paling tidak pergi saja meninggalkan Kak Winda. Setelah menikahinya karena terpaksa, Mas kan, bisa langsung menceraikannya!" ucapku dengan kesal. 

Aku benar-benar gemas dengan sikap Mas Azzam yang mau saja dipaksa mengakui hal yang tak dilakukannya. 

"Mulanya Mas juga berpikir begitu, tapi ...." Mas Azzam menghentikan bicaranya karena mendengar suara pintu dibuka. 

Mak Ijah tampak keluar dari kamar dengan senyum di bibirnya. Namun, aku bisa melihat sorot matanya yang menatapku dengan tak suka. 

Siapa sebenarnya dia? Mengapa dia jadi tak suka melihat keberadaanku di rumah ini? 

"Azzam, sudah baikan si Winda. Dia ingin bicara sama kau di kamar sekarang!" kata Mak Ijah sambil masih melirikku. 

"Oh, iya, Mak. Terima kasih, ya, Mak."

Mas Azzam segera masuk ke dalam kamar. Mak Ijah mendekatiku, matanya memindai tubuhku dari atas ke bawah lalu tersenyum sinis.

"Aku tak peduli alasan kau menikah dengan Azzam. Asal kau tau, Azzam itu cinta mati sama si Winda. Jadi jangan kau coba-coba merebut si Azzam dari tangannya!" ancamnya membuatku merasa heran.

"Kenapa?" tanyaku dengan santai. 

"Kenapa pula kau bilang, Winda itu keponakan aku. Kalau sampai dia cerai dengan Azzam gara-gara kau, tanggung sendiri akibatnya nanti!" 

Ternyata Kak Winda itu keponakan Mak Ijah, pantas saja dia begitu mendukung saat Mas Azzam dipaksa mwnikah dulu.

"Aku juga gak sudi punya suami bekas orang, Mak! Aku ...."

"Baguslah kalau begitu, aku pegang kata-kata kau, ya!" potong Mak Ijah begitu saja. 

Enaknya diapain, ya, nenek tua ini?

Keesokan paginya, seperti biasa aku pergi ke luar untuk mencari sarapan. Untung saja banyak orang yang menjual berbagai macam jenis makanan untuk  sarapan di sini, sehingga aku tak kesusahan mencarinya. 

"Dek, dari mana kau?" Kak Neti menyapaku dari depan rumahnya. 

Aku baru saja selesai sarapan dan akan pulang ke rumah. Sepertinya dia baru saja selesai menyapu, sebab tangannya masih memegang benda tersebut. 

"Habis sarapan, Kak. Kakak yang lain ke mana, tumben belum ngumpul?" tanyaku karena tak melihat dia anggota trio kwek-kwek yang lainnya.

"Lagi pulkam orang tu. Kakak pun heran, pulang kampung aja bisa samaan. Kesepian kakak jadinya. Mampirlah kau ke sini, biar ada kawan kakak!" 

Boleh juga, nih, tawarannya. Dari pada aku bengong di rumah. Aku pun berbelok masuk ke dalam rumah kak Neti. Begitu sampai di dalam rumah, kak Neti mengajakku ke dapur. 

Dia mau memandikan anaknya yang masih berumur dua tahun, sementara suaminya sudah berangkat kerja katanya. 

Aku duduk di meja makan menunggunya selesai. Kuperhatikan keadaan rumah kak Neti, sangat berbeda banget dengan keadaan rumah kak Winda. 

Di sini begitu bersih dan terawat, padahal kak Neti punya anak balita yang harus diurusnya juga. 

"Mau minum apa, Dek?" tanya kak Neti sambil menggendong anaknya yang sudah rapi dan wangi. 

"Nanti aja, Kak. Kalau aku haus, aku ambil sendiri aja," jawabku. 

"Kita ke teras aja, yuk. Enak duduk di sana, banyak angin," ajak Kak Neti. 

Aku mengekor di belakang Kak Neti, anaknya yang berada di dalam gendongan kak Neti terus melihatku. 

"Nah duduk di sini saja, gak usah ke bawah pohon asem itu," ujar kak Neti. 

Kami pun duduk di teras rumahnya yang kelihatan sejuk dan asri dengan banyaknya tanaman bunga yang tersusun rapi. 

Terus terang, aku paling malas mengurus tanaman. Namun, melihat koleksi bunga Kak Neti membuatku jadi ingin meniru juga. 

"Banyak juga koleksi kakak, ya? Sudah berapa lama kakak memelihara bunga-bunga ini?" 

"Itu warisan Mamak, paling kakak cuma menambah beberapa potong aja. Kalau kau lama tinggal di sini, tanami aja pekarangan rumah kalian itu. Nanti kakak kasih bibitnya." 

Boleh juga usul kak Neti dari pada aku gak ada kegiatan. Melihat keadaan rumah kak Neti, aku jadi punya ide. Namun, harus menunggu Mas Azzam pulang dari kantornya dulu. 

Sepertinya dia sudah pergi kerja karena waktu mau mencari sarapan tadi, aku mendengar suara orang sedang mandi di kamar mandi.

"Hey, kok malah bengong kau, Dek! Ohya, sebenarnya kakak gak percaya kalau kau itu adiknya Mas Azzam. Gak adapun mirip-miripnya kalian kutengok."

Kata-kata Kak Neti membuatku terperangah. Jadi dia mulai curiga, bahaya ini. Aku gak bisa sering-sweing kemari. Bisa gawat kalau dia tahu kebenarannya. 

"Eh, Kakak ini bisa aja. Abang beradik kan, gak mesti mirip, Kak," jawabku seadanya.

"Tadinya kakak pun beranggapan begitu, tapi tadi malam kakak mendengar Mak Ijah dan Mas Azzam bicara di depan rumah kakak. Entahlah, apa salah dengar atau memang benar. Kakak pun belum yakin, makanya kakak tanya sama kau."

"Mak Ijah, tukang pijat itu? Apa yang kakak dengar sebenarnya?" tanyaku dengan panik. 

"Kau harus adil Azzam, jangan karena si Clara itu istri yang direstui keluargamu. Kau jadi tak peduli lagi dengan si Winda! Begitu yang kakak dengar, Dek."

Mak Ijah itu benar-benar membuat hidupku susah. Mas Azzam juga, buat apa mereka membahas statusku di tengah jalan. Kalau sampai banyak orang yang mendengar bakalan berabe jadinya.

"Dek, jadi sebenarnya kau ini adik atau istrinya Mas Azzam?" tanya Kak Neti. 

Matanya menatap tajam padaku, sedangkan aku jadi bingung harus menjawab jujur atau berbohong lagi. 

Mama, aku bingung.

Bersambung.