webnovel

Menolak

Bab 23

Aku juga tak mau nasibku kembali dipermainkan oleh keadaaan.

Bagaimana kalau setelah aku dan Mas Azzam menikah lagi ternyata umur Kak Winda masih panjang. Auto kembali seperti dulu lagi hidupku, menggantung tanpa jelas masa depannya. 

"Maafkan aku, Kak. Aku tak bisa memenuhi keinginan kamu. Hm, sudah siang, aku pamit dulu, ya, Kak. Salam sama mamanya Mas Azzam," putusku pada akhirnya.

Setelah berbasa-basi sejenak, aku pun pulang dengan menumpang taksi online. Kak Winda masih menunggu hasil lab katanya. 

Aku berdoa semoga Kak Winda selalu sehat dan panjang umur. Kasihan anaknya nanti jika terjadi apa-apa dengannya. 

-----

Di dalam taksi, aku membuka aplikasi surat kabar online di ponselku. Kemudian mataku tertumbuk pada sebuah iklan film yang sedang tayang di bioskop. 

Sepertinya menarik, aku langsung tonton aja, ah. Aku pun meminta sopir untuk mengantarku ke bioskop saja. Jadi aku tak perlu balik ke rumah dulu. 

Sesampainya di Mal tempat bioskop itu berada, aku pun turun setelah membayar ongkosnya. Langsung saja aku menuju ke lantai empat di mana bioskopnya berada. 

Ternyata cukup ramai juga orang yang ingin menonton film tersebut. Setelah mengantri cukup lama, aku berhasil membeli sebuah tiket untuk diriku sendiri. 

Sambil menunggu bisokop dibuka, aku membeli beberapa camilan untuk menemaniku di dalam nanti. Saat begini, aku serasa bebas menjadi diriku sendiri. Tak kubiarkan masalah dan kesedihan yang sedang kualami mengganggu kesenanganku sekarang. 

Aku harus bahagia! 

****

Aku keluar dari studio di bioskop dengan hati puas. Ceritanya sangat seru dan bisa menguras emosi para penonton termasuk diriku. Aku sampai ikut menangis dan tertawa saat menonton tadi. 

Sekaligus meluahkan isi hati, kan? Ibarat kata pepatah, 'Sambil Menyelam Minum Air'.

Aku berjalan santai sepanjang lorong menuju ke luar studio. Di depanku juga berjalan dengan santai dua orang wanita yang sedang asyik mengobrol. Aku bisa mendengar percakapan mereka dengan cukup jelas. 

Sepertinya mereka sedang membicarakan gebetan masing-masing. 

"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Umam?" tanya wanita yang memakai topi. Aku menajamkan pendengarannya karena mereka menyebut nama Umam.

Wanita di sebelahnya merapikan rambut sebelum menjawab pertanyaan temannya. 

"Susah, dia masih mengharapkan mantannya dulu," jawabnya. 

"Kasihan sekali kamu, Angel. Masa kalah sama gadis biasa," ejek temannya. 

Tunggu dulu, Angel? Umam? Apa mereka membicarakan Umami yang kukenal? Jadi wanita di depanku itu ternyata Angel, wanita yang kulihat sedang memeluk Umami di rumah sakit kemarin.

 Aku terus mendengarkan pembicaraan mereka dengan penasaran. 

"Hah, entahlah! Padahal aku sudah berhasil membuat pacarnya itu marah di rumah sakit. Jadi waktu itu aku tahu kalau Umam baru kembali dari tugas di daerah terpencil dan kebetulan aku melihat pacarnya datang mencari dia. Langsung saja aku masuk ke ruangannya dan pura-pura sedang bersedih. Kamu tahu, kan, kalau Umam itu orangnya gak tegaan melihat perempuan menangis di depannya."

Oh, jadi begitu ceritanya. Ternyata si Angel ini sengaja membuat adegan seolah-olah dia ada hubungan dengan Umami agar aku marah.

Ternyata Umami tak bersalah. Baiklah, aku pun tak jadi pulang ke rumah. Tujuanku sekarang adalah kembali ke rumah sakit untuk menemui Umami. 

Aku harus minta maaf karena sudah berburuk sangka padanya. 

Umami sedang berbincang dengan seorang dokter di parkiran saat aku tiba di depan rumah sakit. Sepertinya dia akan pulang karena pintu mobilnya sudah terbuka. 

Aku jadi ragu untuk mendekatinya, sehingga yang kulakukan hanya berdiri saja di dekat pos satpam.

Obrolan Umami dengan temannya telah selesai, kulihat dia akan masuk ke dalam mobilnya. Namun, dia mengambil ponsel dari dalam saku bajunya. 

Umami menelpon sambil bersandar pada bodi mobilnya sehingga posisinya kini tepat menghadap ke arahku. 

Pandangan kami akhirnya bertemu, Umami kelihatan kaget melihatku. Namun, tak lama dia memasukkan ponselnya ke dalam saku bajunya. 

Bergegas dia berlari ke arahku dengan wajah secerah langit siang itu. Sementara aku hanya berdiri terpaku di tempat sejak tadi. 

Umami telah tiba di hadapanku, aku bingung harus berkata apa. 

"Maaf, aku ...." Ucapanku terpotong karena mendadak Umami memelukku. 

"Kamu gak salah, Ra. Aku yang salah, maafkan aku, ya," bisiknya. 

"Ehm, lepasin aku, Umam! Malu dilihat yang lain," bisikku juga. 

Umami menjauhkan tubuhnya dari ku sambil tertawa. 

"Kamu naik apa? Aku antar, ya?" 

Aku mengangguk saja karena memang sengaja datang  ke rumah sakit untuk menemuinya. 

--------

"Kita makan dulu, ya? Aku lapar karena gak sempat sarapan pagi tadi," ujar Umami padaku.

Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. 

Aku mengangguk mengiyakan, lagi pula perutku juga sudah terasa lapar. Maklum saja sudah lewat waktunya jam makan siang. 

Umami membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan yang tak terlalu ramai. 

Kami memilih makan di gazebo yang ada di halaman samping rumah makan tersebut. Sambil menunggu makanan yang kami pesan datang, Umami kembali meminta maaf padaku. 

Dia menceritakan kejadian kemarin itu, sama persis dengan yang dikatakan wanita bernama Angel di bioskop tadi.

Berarti Umami tak berbohong, dia hanya dijebak oleh temannya.

Aku juga minta maaf karena sudah marah-marah tanpa mendengar alasannya lebih dahulu.

"Aku senang karena kamu sudah mau mengerti, Clara. Ehm, apa ini berarti kamu mau jadi calon istriku, Ra?" 

Deg, Umami to the point aja. Aku, kan, belum siap ditembak seperti ini.

Aku masih terdiam karena tak tahu harus menjawab apa. Beruntung makanan yang kami pesan telah datang, aku tak perlu menjawab pertanyaannya saat itu juga. 

"Makan dulu, ya. Aku lapar banget," ujarku. 

Umami tampaknya mengerti, dia pun tak memaksaku untuk memberikan jawaban saat itu juga. 

Kami pun  makan dalam diam. Sambil mengunyah makanan, aku memikirkan jawaban apa yang harus kuberikan pada Umami nanti. 

Jujur saja, hatiku mulai tertarik kembali padanya. Namun, aku masih ragu, apa secepat ini harus menikah lagi. Sementara aku baru beberapa bulan saja berpisah dengan Mas Azzam. 

"Makan jangan sambil melamun, Ra. Nanti kamu bisa tersedak," ingat Umami. 

"Aku gak melamun, makanannye enak jadi harus dihayati makannya," kelitku.

Umami tersenyum dan tak bicara lagi. Kami pun kembali melanjutkan makan dalam diam. 

Setelah selesai, Umami langsung mengajakku pulang. Walau merasa heran, tapi dalam hati aku merasa bersyukur Umami tak menuntut jawabanku lagi.

Sampai kami tiba di depan rumahku, Umami masih diam. Dia hanya tersenyum dan mengangguk saat aku mengucapkan terima kasih. 

Aku menghela napas panjang sambil melihat pada mobil Umami yang menjauh dari rumahku. 

"Maafkan aku, Umam. Aku belum bisa menjawab sekarang. Aku masih bingung dengan perasaanku saat ini," gumamku sebelum beranjak ke dalam rumah. 

  Bersambung