webnovel

Memaafkan Bukan Menerima

Bab 20

"Tante mau bicara apa lagi? Mau menghinaku, bertanya bibit, bebet, dan bobotku lagi?" tanyaku.

"Tidak Clara, Tante minta maaf dengan semua ucapan Tante dulu. Tante menyesal, tak seharusnya bicara seperti itu," jawabnya dengan sedih. 

Mamanya Umami berbicara dengan mimik sedih, apa itu beneran atau hanya sandiwaranya saja,ya? Nanti setelah aku mengikuti ajakannya ke kafe di seberang sana, takutnya aku dihina lagi olehnya. 

Aku takut hal yang sama terulang lagi. Namun, ada baiknya aku memberi mamanya Umami kesempatan untuk bicara. Kali ini aku takkan mengalah lagi, jika dia menghinaku maka aku akan menghinanya juga. 

Akhirnya aku setuju dengan ajakan mamanya Umami. 

----

"Kamu baru pulang, Ra?" tanya Papa. 

Aku baru saja tiba di rumah saat hari hampir menjelang Magrib. Papa sedang duduk santai di ruang tv. Langsung saja kudekati lelaki cinta pertamaku itu. 

Kuhempaskan bobot tubuh di samping Papa, lalu memeluknya dengan erat.

"Iya, Pa. Tadi habis ketemu teman, keasyikan ngobrol jadi lupa waktu. Maafin Clara, ya!" 

Aku berbohong pada Papa, padahal aku baru saja bertemu dengan mamanya Umami. 

Maafkan Clara, ya, Pa!

Beberapa jam yang lalu. Aku dan mamanya Umami yang ternyata bernama Tante Sarah telah berada di dalam kafe.

Setelah memesan minuman, aku menunggu Tante Sarah memulai percakapan. 

"Clara, Tante sebenarnya malu bertemu dengan kamu. Rasanya Tante ingin kembali ke waktu itu dan meralat semua ucapan Tante yang pasti sangat menyakiti hati kamu," ucap Tante Sarah dengan wajah sedih.

Aku menghela napas melihat pada wanita yang kuoeekirakan umurnya aku jauh beda dengan mamaku. Mengingat Mama otomatis membuat hatiku menjadi sedih. 

"Clara! Kamu jangan sedih, ya. Tante tahu kalau kata-kata Tante saat itu sangat jahat. Tante menyesal sekali," sambung Tante Sarah. 

Rupanya dia telah salah sangka, dipikirnya aku bersedih karena dirinya. 

"Bukan Tante, aku sedih karena ingat almarhumah mamaku," jawabku sambil menghapus air mata. 

"Ya, Allah. Tante gak tahu, maafin Tante, ya!" 

Tante Sarah sudah berapa kali mengucapkan kata maaf, ya? Aku mencoba tersenyum, agar dia tak merasa bersalah dan minta maaf terus.

"Gak apa, kok, Tante. Lagi pula itu sudah lama aku lupakan. Jangan minta maaf lagi, ya. Nanti bisa dapat piring, lho!" selorohku. 

Tante Sarah tertawa mendengar candaan recehku. 

"Ya ampun, Sarah. Kamu itu ternyata pintar melawak, ya. Tante suka dengan gadis yang suka melucu." 

Cieee, Tante Sarah menyesal telah berburuk sangka padaku dulu katanya. 

Rupanya Tante Sarah menyangka kalau saat itu, aku mendekati Umami karena dia kaya. Diam-diam Tante Sarah menyelidiki latar belakang keluargaku. 

Memang keadaan keluargaku sederhana saja, tapi bukan berarti aku mencari kekasih karena hartanya. 

"Clara! Malah melamun! seru Papa di telingaku. 

Aku tersenyum malu, rupanya aku melamun sejak tadi. 

"Pa, Clara mandi dulu, ya. Gerah, nih!" kataku beralasan. 

Secepat kilat aku meninggalkan Papa sebelum dia bertanya lebih banyak lagi. Sampai di kamar, bukannya mandi aku malah tiduran yang akhirnya ketiduran beneran.

_____

Tak terasa waktu terus berjalan, aku berusaha menjalani dengan perasaan gembira bersama Papa dan Cleo. 

Status pernikahanku dengan Mas Azzam sekarang adalah telah resmi berpisah. Putusan sidang Minggu lalu telah mengabulkan gugatan yang kulayangkan. 

Mas Azzam yang mulanya menolak langkah yang kuambil akhirnya menyerah. Aku sudah tak ingin meneruskan hubunganku dengannya. 

Kak Winda yang berulang kali menghubungiku agar membatalkan gugatan cerai pun tak kupedulikan. 

Ini hidupku, tak ada seorang pun yang bisa mengubah keputusanku. Aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri. 

Umami, walau tak pernah datang lagi ke rumah, tapi dia selalu berkirim kabar padaku. Ada saja alasan dia untuk menghubungiku, walau kadang tak kupedulikan. 

Meskipun mamanya sudah meminta maaf dan menerangkan kalau Umami tak bersalah, tapi aku masih tak ingin memulai suatu hubungan baru dengannya lagi. 

Hubungan. Kami sekarang hanyalah antara dua orang sahabat saja. Tak kurang dan tak lebih, aku tak menginginkan lebih dari itu. 

***

Aku tertawa terbahak saat melihat aksi Jacky Chan di televisi. Aksi salah satu aktor favoritku itu memang tak pernah membuat bosan bagi yang menontonnya. 

Bisa-bisanya dia berkelahi memakai terompahnya orang Belanda. Aku terus tertawa menyaksikan Jacky Chan kesakitan saat berkelahi dengan musuhnya. 

Lumayanlah untuk hiburan, dari pada bete di kamar terus. Apa lagi malam Minggu seperti ini, inginnya sih ada yang datang terus mengajak nonton, atau paling gak jalan malam menikmati suasana kota. 

"Nonton apa, sih, Mbak? Kayaknya seru banget?" tanya Cleo yang baru keluar dari kamarnya. 

"Seru banget, sini temani Mbak nonton!"

Dia pun ikut duduk bersamaku, tak lama Cleo ikut tertawa menyaksikan akting Jacky Chan yang sangat menghibur. 

Sedang asyik-asyiknya tertawa tiba-tiba saja terdengar bunyi bel berulang-ulang. Sepertinya ada tamu yang datang, tapi siapa, ya?

"Bukain sana, Cleo!" suruhku pada adikku yang masih aja asyik tertawa. 

"Mbak aja, deh. Nanggung ini lagi seru-serunya!" 

"Dasar bocil, awas aja kalau yang datang cowok ganteng. Kamu di sini aja jangan sibuk!" omelku sambil tertawa.

"Ambil sono! Gak doyan kalau teman, Mbak. Pasti udah pada tuir!" balasnya sambil tertawa juga. 

Kami memang selalu bercanda seperti itu, jika orang melihat mungkin mereka mengira kami sedang bertengkar. 

Aku pun berdiri dengan malas, lalu berjalan ke pintu depan. Segera kubuka pintu dan tubuhku seketika terpaku. 

"Assalamualaikum, Clara. Boleh aku masuk?" salam Umami. 

Aku terpesona dengan penampilannya, sungguh berbeda dengan penampilan biasanya. Mengenakan celana bahan berwarna hitam, lalu kaos berwarna putih dilengkapi dengan jaket berwarna hitam juga membuat penampilannya berbeda

"Clara! Hallo, ada orang di rumah?" ulangnya menyapaku lagi.

"Eh, waalaikumsalam. Hmm, ada perlu apa kamu?" tanyaku pura-pura jutek. 

Padahal, sih, hatiku mendadak dag-dig-dug tak karuan. 

Aku ingin mengajak kamu jalan-jalan menikmati malam yang cerah ini. Kamu mau, kan. Gak usah jauh-jauh, sekitaran komplek jalan kaki juga gak apa-apa," jawabnya antusias.

Duhai, mengapa Allah menjawab keinginan isengku tadi secepat ini? Namun, kenapa juga harus Umami, sih? Apa pria di dunia ini hanya dia saja yang ada, yang lain pada ke mana? 

"Bagaimana, Clara. Kok kamu diam saja dari tadi? Apa aku mengganggu kamu? Kalau begitu, lupakan saja ajakanku tadi. Maaf kalau sudah mengganggu, aku permisi, ya," pamit Umami karena aku diam saja sejak tadi. 

Aku sempat melihat rona kecewa di matanya, kasihan juga jadinya. Dia sudah jauh-jauh datang ke rumahku, tapi malah kutolak. 

"Umam!" panggilku pelan. Namun, dia masih bisa mendengar suaraku rupanya. Buktinya dia berhenti melangkah lalu berbalik. 

"Aku mau, tapi di sekitaran sini aja, ya? Kita jalan kaki aja," putusku. 

Wajahnya seketika berubah cerah, bergegas dia mendekatiku sambil tersenyum lebar. 

Bersambung.