webnovel

Kedatangan Yang Mengejutkan

Bab 10 - Kedatangan Yang Mengejutkan

Aku mengintip ke luar melalu jendela kaca rumahku. Hujan belum juga reda, malah semakin deras saja. Awan di langit sepertinya sedang menumpahkan semua bebannya.

Azan Magrib terdengar sayup-sayup diantara suara air hujan yang jatuh.

Kebetulan aku senang datang bulan, jadi aku menyarankan Mas Azzam untuk segera salat Magrib sendirian.

"Kamu gak salat, Ra?" tanya Mas Azzam.

Dia baru selesai mengambil wudhu, mungkin dia heran karena melihatku masih duduk dengan santai di ruang depan. 

"Gak, Mas. Lagi cuti," jawabku singkat.

"Cuti? Kamu lagi datang bulan? Mas pikir ...." Mas Azzam tak melanjutkan ucapannya. 

"Pikir, apa, Mas?" 

"Ah, tidak. Lupakan saja. Kalau begitu, Mas salat dulu, ya!" 

Aku mengangguk kemudian Mas Azzam masuk ke kamar untuk salat Magrib. Sambil menunggu Mas Azzam selesai, aku pun memilih berselancar di dunia maya. Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu rumahku digedor dengan sangat kencang. 

Sepertinya tamu yang datang sedang ada masalah, jadi dia melampiaskannya dengan menggedor pintu rumahku dengan sangat kencang.

"Iya, sebentar!" teriakku kencang.

Dengan kesal kubuka pintu rumah, ternyata tamu tak diundang bernama Kak Winda. Dia berdiri dengan berkacak pinggang dan memandangku dengan atau melotot. 

"Masuk, Kak!" ajakku dengan sopan. 

"Hmm, mana Mas Azzam?" tanyanya setelah masuk ke dalam rumahku.

"Sedang salat di kamar," jawabku.

Kak Winda berjalan berkeliling di sekitar ruangan di dalam rumahku. Matanya menelisik setiap tempat dan sudut rumah. Sesekali dia berdecak lalu menggeleng.

Aku tak paham apa maksudnya, dia berdecak karena kesal atau kagum melihat kebersihan dan kerapihan rumahku. 

"Perabotan kamu bagus-bagus, ya, Ra. Mama mertua baik sekali padamu, memberi uang untuk membeli semua barang-barang ini. Sementara aku? Hanya menantu yang tak diinginkan di keluarga Mas Azzam," ucap Kak Winda dengan cara bicara yang berbeda. 

Kemana logat Medan yang biasa dipakainya. Mengapa gaya bicaranya jadi sama seperti diriku. Apa dia hendak berubah meniru diriku. 

Bisa saja seperti itu karena dia ingin diakui juga sebagai menantu oleh mama mertua. 

"Aku gak bisa kasih komentar, Kak. Ini juga bukan mauku. Kedua orang tua kami yang punya keinginan."

Kak Winda menoleh padaku, aku bisa melihat matanya basah. Dia menangis, mendadak aku merasa kasihan padanya. 

Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya tak diakui oleh keluarga suami sendiri. Namun, mau bagaimana lagi. Itu resiko yang harus ditanggungnya sendiri. 

Bukankah pernikahan mereka terjadi juga karena rekayasa dia yang sengaja menjebak Mas Azzam. Rasa kasihanku mendadak sirna, berganti dengan rasa marah. 

"Kamu benar, kamu lebih beruntung dari pada aku," ucapnya pelan. 

"Di dalam hidup memang ada hukum sebab akibat, Kak. Apa yang kita tanam sebelumnya, itulah yang kita tuai."

"Maksud kau, aku sudah berbuat jahat. Makanya sekarang aku sial terus, begitu!" tanyanya dengan ketus. 

Aku tertawa mendengar gaya bicaranya sudah kembali seperti semula. Ternyata rasa marah bisa mengembalikan sifat asli seseorang. kak Winda buktinya.

"Malah ketawa pula kau, senang kau, ya, melihat kesusahanku?" Kak Winda makin meradang melihatku tertawa. 

"Kamu ngapain marah-marah di sini, Winda!" 

Mas Azzam tiba-tiba sudah berada di belakangku. Rupanya dia sudah selesai salat dan mendengar semua ucapan Kak Winda padaku. 

"Aku yang mau nanya, ngapain Mas ke sini. Bukannya Mas udah janji sama aku, gak akan mendekati Clara lagi?" 

"Masih berani tanya, kamu ke mana tadi? Aku pulang, kamu gak ada di rumah," ucap Mas Azzam dengan marah juga. 

Kak Winda menunduk kemudian menjadi minta maaf. Katanya dia takut sendirian di rumah, jadi dia pergi ke rumah Mak Ijah. 

Kak Winda melirikku, lalu drama Korea pun dimulai. Dia menangis sambil mengusap perutnya.

"Oala, Nak. Malang sungguh nasibmu, sampai kapan kita jadi orang yang disembunyikan dari Oma dan opa mi," keluhnya sambil terus menangis. 

Aku mencebik melihat sandiwara yang dimainkan olehnya. 

"Mas, lebih baik bawa saja kak Winda pulang. Aku ngantuk," suruhku pada Mas Azzam. 

Mas Azzam mengangguk lalu mengajak istrinya pulang. Mereka berjalan menerobos hujan yang mulai berhenti.

Aku menutup pintu, bersiap untuk tidur karena mataku sudah sangat berat untuk dibuka. Namun, rasa kantukku mendadak sirna begitu membaca pesan yang baru saja dikirim mamaku.

"Clara, Mama dan Papa akan berkunjung besok. Suruh Azzam menjemput di bandara pukul 8 pagi ya!" 

Keesokan harinya, aku berjalan mondar-mandir di teras rumah. Aku menunggu kedatangan orang tuaku dengan hati gelisah. 

Kak Winda yang ikut menunggu di kursi teras juga ikut gelisah. Kak Neti juga ikut menemaniku dengan wajah tegang.

"Clara, macam mana kalau mama kau nanti tahu kebenarannya. Kau bilang dia ada sakit jantung sama darah tinggi. Bahaya kali itu, gak boleh dia terkejut, bisa fatal akibatnya," kata Kak Winda dengan cemas. 

"Itulah salah satu penyebabnya, Kak. Aku tak bisa menolak keinginan mereka saat menjodohkanku dengan Mas Azzam," sahutku. 

"Iya, udah paham aku. Tadi malam Mas Azzam sudah menjelaskan semuanya. Tenang aja kau, selama orang tua kau ada di sini, kuizinkan Mas Azzam tinggal di rumah kau. Tapi ingat, ya! Jangan kasih dia kesempatan mendekati kau!" 

"Kalau Azzam mendekati Clara kenapa rupanya, Win. Dia itu juga istrinya si Azzam!" Kak Neti yang juga berada di situ membentak Kak Winda.

"Gak bisa gitu lah, kami udah ada perjanjian. Kau gak boleh lupa, ya, Clara!" 

Kak Neti hendak bicara lagi, tapi segera kupegang tangannya. Kak Neti mengerti lalu menggeleng sambil balas menepuk punggung tanganku. 

Kemarin malam, setelah menerima pesan dari Mama, aku langsung menemui Mas Azzam. Dia juga kaget mendengar berita kalau orang tuaku akan datang berkunjung. 

Cukup lama kami berdiskusi bertiga, sampai akhirnya Mas Azzam memutuskan akan menginap di rumah selama orang tuaku datang. Namun, Kak Winda memaksanya untuk berjanji tak akan berbuat macam-macam denganku selama kami tinggal bersama. 

Aku, sih, setuju saja dengan syarat itu. Bagiku itu lebih baik, jadi Mas Azzam tak akan meminta haknya sebagai suami selama tidur di rumahku. 

"Clara, orang tua kau sudah datang!" 

Suara klakson mobil dan juga suara Kaka Winda menyadarkan ku dari lamunan. Ternyata benar, orang tuaku sudah datang. Mas Azzam meminjam mobil kantornya untuk mencari jemput mereka. 

Aku menyambut kedua orang tuaku dan ... ternyata kejutan lain menantiku. Orang tua Mas Azzam juga ikut. 

Segera saja aku menyalami mereka berdua. 

"Clara, kamu makin cantik saja, Sayang. Mama kangen," seru Mama mertuaku. 

Beliau merangkul pundakku saat kami berjalan masuk ke dalam rumah. Aku melirik pada kak Winda dengan perasaan tak enak. Pasti dia makin merasa cemburu melihat kemesraan yang ditunjukkan oleh Mama mertuaku. 

Wajah Kak Winda sudah memerah, sepertinya dia menahan rasa kesal dihatinya. Aku hanya bisa menyeringai saja, siapa suruh tak mau mendengar kata-kata Mas Azzam.

Pagi tadi, sebelum pergi ke bandara, Mas AzAm sudah berpesan agar dia di rumahnya saja. Orang tuaku bisa heran melihat keberadaanya di sini nanti. Namun, dia tetap ngeyel dan tak mau mengalah. 

"Pokoknya aku mau ikut menyambut. Kalian bisa kasih alasan kalau aku ini kawan baiknya Clara selama dia di sini!" ketusnya tak mau mengalah. 

Terpaksa aku menyetujuinya, tapi aku mengajak Kak Neti juga untuk menemaniku. 

"Ini siapa, Clara?" tanya Mama mertuaku. 

Kami sudah sampai di teras rumah, Mama dan Mama mertuaku heran melihat keberadaan Kak Winda di teras rumahku.

"Oh, dia Kak Winda. Teman aku selama di sini, Ma. Kalau yang ini Kak Neti," kataku memperkenalkan mereka berdua. 

Kak Winda dan Kak Neti menyalami kedua orang tuaku dan Mas Azzam bergantian. 

"Oh, syukurlah. Kamu sudah punya teman baik di sini, Clara. Bagus itu, jadi kalau ada apa-apa, akan ada orang yang membantu," kata mamaku sambil tersenyum.

"Kalau begitu kita masuk, yuk! Aku sudah memasak masakan kesukaan Mama," ajakku. 

Aku juga mengajak Mama mertua yang masih terus mengawasi Kak Winda. 

"Tunggu dulu! Sepertinya, aku pernah melihat wajahmu!" serunya sambil menunjuk Kak Winda.

Bersambung.