webnovel

Kecewa

Bab 22

Ketukan di pintu yang kesekian kalinya terdengar, kesekian kali pula kubiarkan saja sampai berhenti sendiri. Sejak kembali dari rumah sakit tadi, aku mengurung diri di dalam kamar. 

Janji dengan Kak Winda terpaksa aku batalkan. Aku memilih merenung dan meratapi nasibku yang tak pernah beruntung dalam kisah asmara.

Papa dan Cleo bergantian memanggil agar aku mau keluar dari kamar. Mereka berkata kalau Umam sudah menunggu sejak tadi. Dia ingin bicara, ingin menjelaskan semuanya.

"Suruh dia pergi saja, Pa. Aku tak mau bertemu lagi dengan dia!" seruku saat Papa mengetuk pintu lagi.

"Sebaiknya katakan sendiri, Clara. Papa tak pernah mengajari kamu jadi orang yang pengecut," ujar Papa dengan tegas. 

"Tapi, Pa ...."

"Keluar dan katakan langsung sekarang juga!" 

Papa kembali menjadi Papa yang tegas dan tak menerima alasan apapun seperti dulu. Terpaksa aku membuka pintu kamar dengan wajah cemberut. Papa berdiri dengan mata tajamnya yang tak sanggup untuk kupandangi.

"Clara," panggil Papa membuatku menengadahkan wajahnya padanya.

"Iya, Pa," sahutku.

"Temui dia, jangan biarkan masalah berlarut lagi tanpa penyelesaian," ucap Papa dengan nada yang melunak. 

Aku mengangguk lalu beranjak ke ruang tamu untuk menemui Umami. Pria itu sedang duduk dengan kepala tertunduk seperti sedang menekuni lantai di bawahnya. 

Aku pun duduk tanpa suara di depannya. Rupanya Umami menyadari kehadiranku, dia mendongak dan pandangan kamipun saling bersirobok beberapa saat. 

"Clara, aku mohon beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya. Apa yang kamu lihat itu tak seperti kelihatannya. Dia itu adalah Angel, teman sejawat ku."

Umami berusaha memberikan penjelasan padaku. Namun, untuk saat ini aku tak menerima apapun alasannya. 

"Untuk apa kamu repot-repot memberikan penjelasan padaku, Umam? Apa peduliku, aku hanya kaget saja tadi. Lagi pula di antara kita tidak ada hubungan apa-apa, kan? Kemarin aku bilang apa, kota hanya berteman. Lalu, apa peduliku dengan semua ini?" 

Umami terperangah mendengar jawabanku. Pasti dia tak menyangka jika aku bisa berkata tak ada hubungan apa-apa diantara kami. Namun, memang begitu kenyataannya. 

Umami belum ada menyatakan cintanya kembali padaku, kami hanya mulai dekat. Itu saja, walau jujur di hatiku mulai tumbuh kembali benih cinta tanpa bisa dicegah. 

Sekarang, benih itu sudah layu kembali sebelum berkembang. 

"Terus terang, Ra. Aku menganggap diantara kita sudah kembali terjalin hubungan seperti dulu. Aku cinta dan sayang sama kamu, tapi sepertinya pengakuanku saat ini tak berarti bagimu. Kamu pasti sedang marah dan kecewa. Aku minta maaf, Ra."

Aku tak menanggapi kata-katanya, dia pun menghela napas sepertinya kecewa. Kemudian dia berdiri lalu tanpa kuduga dia mengelus rambutku. Tentu saja langsung kutepis tangannya, dia pun tersenyum.

"Aku pamit, ya. Sampaikan salamku pada Papa kamu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku singkat saja. Umami pun pulang ke rumahnya, aku mendesah kecewa. Entah bagaimana akhirnya nanti, hanya waktu yang akan memberi jawabannya. 

----------

Untuk beberapa waktu, Umami tak lagi mencoba menghubungiku. Mungkin dia sudah bosan dengan sikapku yang acuh dan tak peduli dengan dirinya. 

Atau mungkin saja dia dan Angel sudah terjalin hubungan sehingga Umami melupakan diriku. 

Seminggu setelah insiden itu, aku baru bisa menemui Kak Winda. Aku harus menata hatiku dulu sebelum bertemu dengannya. 

Aku tak mau jika Kak Winda sampai tahu masalahku dengan Umami. Biar saja ini menjadi rahasiaku sendiri. 

Kak Winda kembali mengajakku bertemu di kafe depan rumah sakit. Sebenarnya aku merasa heran, mengapa harus di situ. 

Kenapa juga Kak Winda harus ke rumah sakit kembali. Bukankah baru Minggu lalu dia periksa. Apa ibu hamil memang harus sering-sering periksa ke dokter seperti yang dilakukan Kak Winda?

Aku tiba lebih dulu di kafe tampar kami janji bertemu. Sepertinya dia masih berada di rumah sakit, aku pun menunggunya sambil berselancar di dunia maya. 

"Clara, maaf, ya, aku terlambat," ujar Kak Winda. 

Dia baru saja tiba dari rumah sakit, aku pun menyuruhnya untuk duduk. Kuperhatikan wajah Kak Winda sangat pucat. Tubuhnya juga sedikit lebih kurus dari terakhir kami bertemu. 

 Bukankah seharusnya orang hamil itu semakin gendut tubuhnya? 

"Kak Winda sakit apa, kok periksa lagi? Bukannya baru Minggu lalu Kakak periksa ke dokter?" tanyaku langsung. 

Kak Winda tampak menarik napas sebelum menjawab pertanyaanku. 

"Biasalah, Dek. Kalau orang lagi hamil, ya, begini. Harus sering-sering periksa, jadi tau kekmana keadaan anak didalam perutku ini." 

Masuk akal juga, sih. Aku percaya saja alasannya, soalnya aku gak paham juga bagaimana ibu yang sedang hamil itu.

"Syukurlah kalau Kakak tak apa-apa. Ohya, ada apa sebenarnya sampai Kakak ingin bertemu denganku?" tanyaku.

"Kakak mau minta tolong sama kamu, Dek," jawabnya. 

"Minta tolong apa, Kak?" 

"Kalau bisa, balik lagi lah kau sama Mas Azzam. Dia sangat mencintai kau, Dek."

"Maksud Kakak apa? Aku menikah lagi dengan Mas Azzam, begitu?" tanyaku tak percaya.

Aku tak habis pikir dengan pemikiran Kak Winda. Mengapa dia ngotot ingin aku kembali pada Mas Azzam?  Bukankah dia sangat mencintainya, lalu mengapa sekarang dia berubah seperti itu.

"Iya, Dek. Kakak mau Mas Azzam ada yang mengurusnya nanti. Kasihan dia kalau harus hidup sendiri, Dek."

Aku makin tak mengerti dengan ucapan Kak Winda. Maksudnya apa coba? Apa dia mau berpisah juga setelah melahirkan nanti. Kalau benar begitu, untuk apa dia repot-repot memikirkan nasib Mas Azzam nanti.

"Mas azzam itu laki-laki, dia bisa saja mencari yang lain kalau Kakak berpisah darinya," ucapku dengan kesal. 

Walaupun awalnya aku tak suka dengan Kak Winda, tapi aku merasa kasihan karena sepertinya Kak Winda itu jadi budak  cintanya Mas Azzam.

"Kakak tau kalau kau bakal ngomong kayak gitu, Dek. Macam mana lagi mau kubilang. Aku ini lagi sakit parah, Dek. Kanker otak, sebenarnya sudah lama aku merasakannya, tapi  aku tahanan  aja. Umurku kurasa sudah tak lama lagi,  jadi sebelum aku meninggal nanti, aku mau kalian sudah menikah lagi. Cuma itu sajanya keinginan terakhirku. Agar anakku nanti ada yang merawatnya."

"Kak Winda sakit kanker otak? Ya Allah, mengapa seperti ini jadinya, Kak? Kalau memang Kakak sudah tahu nyawa terancam, mengapa dipaksa meneruskan kehamilan kakak?" tanyaku lagi dengan kesal. 

Heran aku dengan pemikiran mantan maduku itu, pusing aku jadinya. 

"Kakak gak tega membunuh anak sendiri, Dek. Biarlah begini, jika memang umur pendek gak apa. Kakak rela, tapi kau yang urus anak Kakak, ya!" pintanya dengan mata berkaca-kaca.

"Ihh, gak tahulah aku, Kak. Aku gak mau balik lagi dengan Mas Azzam. Udah gak suka aku sama dia," tolakku halus. 

Kak Winda kelihatan kecewa, tapi aku takkan terpengaruh. Lagi pula, umur manusia siapa yang tahu. Semua itu, kan, masih perkiraan dokter saja 

Bersambung.