webnovel

Dia Cemburu

Bab 9 - Dia Cemburu

Suasana mulai panas, Kak Winda mulai lupa diri. Dia berteriak mengejekku seorang pelakor. Sebelum banyak orang yang mendengar dan datang ke sini, kubekap saja mulutnya yang comel itu.

Kak Winda meronta mencoba melepaskan diri, tapi tenaganya kalah kuat dengan tenagaku.

"Mmfffhh," ucapnya tak jelas.

"Aku takkan melepaskan bekapanku jika kakak masih terus bertingkah seperti orang gila!" tandasku.

"Mmfffhh!" ucapnya lagi.

"Apa? Aku gak dengar, Kak?" ejekku.

Kak Neti tertawa melihat kami berdua, dia mengacungkan jempol padaku seraya tersenyum.

"Mmfffhh!" Kak Winda semakin menggila. Dia melompat-lompat agar bisa lepas dari bekapanku.

"Hey, sabar, Kak. Ingat kandunganmu. Kalau sampai kenapa-kenapa, nanti kamu ditinggal lagi sama Mas Azzam," kataku mencoba menakutinya.

Kak Winda berhenti melompat, dia terus berusaha melepaskan tanganku dari mulutnya.

"Mmfffhh!" teriaknya lagi dengan wajah marah.

"Oke, aku akan melepaskan Kakak, tapi hentikan teriakan seperti tadi. Jika tidak, aku akan menutup mulut kakak dengan plester! Mengerti!" ancamnya lagi.

Kak Winda mengangguk jadi kulepas bekapanku padanya.

"Kurang ajar kau, Clara. Awas nanti aku ...."

"Ckckck, bukannya tadi sudah berjanji tidak akan berteriak lagi. Apa mau kuplester beneran itu mulut?" Aku memotong ucapan Kak Winda yang masih ingin marah padaku.

"Lebih baik kau diam, Winda. Ngapain juga kau teriak-teriak kayak gitu. Kalau tetangga tau pun, gak ada yang bakal membela kau. Sudah ngertinya orang itu tabiat kau!" Kak Neti ikut bersuara.

"Kau! Gak usah ikut campur sama urusanku. Urus saja keluarga kau sendiri. Kau pikir aku gak tahu kalau laki kau itu selingkuh!" Kak Winda mencoba membuat kak Neti marah.

"Wah, rupanya diam-diam udah jadi Intel kau, ya? Sayangnya cuma berita hoax yang kau dapat, sekarang lebih baik kau cabut aja sana. Jauh-jauh, hush! Hush!" usir kak Neti.

"Awas kalian, ya! Aku gak terima diperlakukan kayak begini!" kata kak Winda dengan ketus. Lalu pergi meninggalkan kami berdua.

"Makin stress aja dia," celetuk Kak Neti.

"Apa dia biasa seperti itu?" tanyaku.

Kak Neti hanya menggedikkan bahu saja, lalu mengajakku melihat-lihat ruangan lainnya. Aku langsung merasa cocok dengan rumah ini.

Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja aku membayar uang kontrakannya dan mulai membersihkan semua ruangan dengan cepat karena keadaan rumahnya memang sudah bersih.

Setelah itu, aku kembali lagi ke rumah Mas Azzam. Urusan rumah sudah beres, sekarang tinggal memikirkan bagaimana caranya aku bisa mengisi rumah tersebut dengan aneka perabotan.

Tidak mungkin, kan aku membawa perabotan dari rumah kak Winda. Bisa-bisa mengamuk dia nanti kayak orang kesurupan.

"Mau apa lagi kau balek ke sini?" tanya Kak Winda begitu melihatku masuk ke rumah.

"Isssh, kepo! Terserah aku dong, mau balek atau gak. Kok, kakak yang sewot," ejekku membuat kak Winda semakin melotot padaku.

Aku pasang saja wajah cuek, biar dia marah sekalian.

Tiba-tiba sebuah notif pesan masuk ke ponselku. Rupanya pemberitahuan dari m-banking kalau ada transferan yang baru saja masuk ke rekening tabunganku.

Segera ku cek tabunganku dan aku kaget saat melihat nominal uang yang ditransfer ke rekening tabunganku.

Siapa, ya, orang yang telah mengirim uang sebanyak itu. Aku masih mengira-ngira dalam hati, saat sebuah pesan wa masuk ke ponselku.

"Kata Azzam, kalian akan membeli beberapa perabotan rumah tangga. Mama sudah transfer ya ke rekening kamu. Pergunakan dengan bijak, ya, Sayang."  Begitu isi pesan dari mama mertuaku.

Segera ku telepon mama, tak lama dia mengangkat panggilanku. Setelah mengucapkan salam, aku pun mengucapkan terima kasih atas kiriman uang dari mertuaku.

"Terima kasih, ya, Ma. Clara senang sekali, Mama sudah transfer sepuluh juta ke rekening aku." Kak Winda kelihatan kaget mendengarnya.

Kak Winda masih melotot padaku. Mungkin dia merasa iri mendengar jumlah uang yang di transfer oleh mama mertua untukku.

---

Berkat uang yang ditransfer oleh mertua, aku bisa membeli beberapa perabotan yang penting seperti tempat tidur, lemari, kompor dan peralatan masak serta peralatan makan.

Setelah selesai memborong semua barang tersebut, uang yang dikirim mertua hanya tinggal tersisa sedikit. Namun, lumayanlah untuk sekedar pegangan jika butuh uang untuk beli obat atau apalah namanya.

Soal makan, aku tak perlu khawatir.as Azzam selalu memberi aku uang setiap hati. Entah sepengetahuan kak Winda atau tidak, aku tak peduli.

Aku ini istrinya juga, jadi aku berhak diberi nafkah oleh suamiku sendiri. Aku mulai menata rumah sesuai keinginanku. Semuanya tampak bersih dan rapi, sungguh berbeda dengan keadaan di rumah kak Winda.

Aku hanya merasa heran saja, apa iya orang hamil membuatnya jadi malas bergerak untuk beberes rumah? Saat kutanyakan hal itu pada kak Neti, dia malah tertawa geli.

Katanya, itu gak benar. Memang  istri rahasia suamiku itu saja yang pemalas.

Tak terasa dua Minggu sudah aku tinggal seorang diri di kontrakan itu, benar-benar seorang diri karena Mas Azzam tak pernah berkunjung lama apalagi menginap di rumahku.

Dia hanya mampir di pagi hari untuk memberi uang padaku lalu langsung berangkat ke kantornya. Untungnya ada kak Neti yang menemaniku sepanjang hari.

Jadilah aku seorang diri saat malam hari saja. Sementara dua orang anggota trio kwek-kwek yang lain tak kembali lagi ke rumahnya. Kata kak Neti, suami mereka pindah tugas ke daerah lain. Jadi mereka pun ikut pindah ke sana mendampingi suami masing-masing.

Sore itu, hujan turun dengan derasnya. Beruntung aku sudah membeli dua bungkus mi instan untuk makan malamku tadi. Sekarang aku sedang santai membaca cerbung di aplikasi kesayanganku.

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu di gedor, dengan malas aku berjalan ke pintu untuk melihat siapa yang bertamu di saat hujan deras begini.

"Mas Azzam," gumamku. Langsung saja kubuka pintu depan, Mas Azzam berdiri di teras dengan tubuh yang basah kuyup.

"Mas Azzam, ada apa datang ke sini?" tanyaku bingung.

Aku celingukan melihat ke rumah kak Winda. Namun, pandanganku terhalang oleh lebatnya air hujan yang turun.

"Ehm, ceritanya panjang, Ra. A-apa boleh Mas masuk dulu, Mas kedinginan, nih!" jawab Mas Azzam.

Kulihat memang tubuhnya sudah menggigil, sepertinya dia kedinginan.

Baiklah, aku akan menanyainya nanti, pikirku.

"Masuk, Mas. Langsung ke kamar mandi saja. Nanti aku antarkan handuknya!" suruhku.

Mas Azzam langsung berlari ke kamar mandi, aku pun menuju ke kamar untuk mengambil handuk di dalam lemari.

"Ini handuknya, Mas!" teriakku di depan pintu kamar mandi agar dia mendengarnya.

Pintu terbuka sedikit, aku menyerahkan handuk pada tangan Mas Azzam yang terjulur dari celah pintu.

Sambil menunggu Mas Azzam selesai mandi aku pun memasak mi instan yang sudah kubeli tadi. Aku yakin, dia pasti lapar sehabis pulang dari kantor, juga kedinginan karena kehujanan.

Aku selesai memasak mi instan nya lalu kibagi ke dalam dua buah mangkok. Mas Azzam sudah selesai mandi, dia keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk di pinggang saja.

Aku menundukkan pandangan, rasanya risih melihatnya seperti itu. Mas Azzam berjakan ke kamarku dengan santai. Tak lama dia keluar lagi dengan kaos dan celana training miliknya.

Beberapa pasang pakaian Mas Azzam memang ada di dalam koperku. Waktu dia tinggal di rumah papaku setelah kami menikah dulu, pakaiannya ada yang tercampur dan masuk ke koperku. 

Aku saja lupa dengan keberadaan pakaiannya itu jadi belum sempat aku kembalikan. 

"Makan, Mas! Tapi cuma ada mi kuah aja," ajakku sambil menyodorkan semangkok mi padanya.

Mas Azzam mengucapkan terima kasih lalu ikut duduk di sampingku. Dia memasukkan sesendok mi beserta kuahnya ke dalam mulut. Lalu mengunyah dan menelannya dengan tatapan yang tak lepas dari wajahku.

"Kenapa, Mas? Gak enak, ya?" tanyaku penasaran.

"Enak ... banget!" ucapnya seraya tersenyum.

Aku pun ikut tersenyum, kami pun menghabiskan makanan dalam diam. Setelah selesai makan, aku mencuci mangkok dan piring yang kupakai tadi.

Sementara Mas Azzam duduk dengan santainya di rumah depan. Hujan belum juga berhenti, malah semakin deras. Sesekali petir terdengar menggelegar membelah angkasa.

"Kak Winda ke mana, Mas.?" tanyaku setelah selesai dengan pekerjaanku.

Aku duduk di kursi yang ada di depan Mas Azzam.

"Entah, Mas juga gak tahu. Mungkin dia pergi ke rumah Mak Ijah. Tadi pagi, Mas pesan kalau sore ini pulang terlambat. Ada rapat dengan Bos di kantor, tapi ternyata batal jadi Mas pulang seperti biasa. Namun, rupanya dia tak ada di rumah, mana Mas sudah basah kuyup kehujanan. Makanya Mas datang ke sini," jawab Mas Azzam panjang lebar.

Jadi begitu ceritanya, ternyata Mas Azzam mampir ke sini karena terpaksa. Tanpa sadar aku mendesah kecewa.

Bersambung.