webnovel

Demi Mama

Bab 1 - Demi Mama

Air mataku mengalir terus tanpa bisa dibendung lagi. Sudah satu jam aku baerdiri di depan ruang ICU menanti kepastian akan keadaan mamaku. 

Sementara Papa berdiri di sebelahku tanpa berbicara sama sekali. Matanya memandang terus ke dalam ruangan di mana mamaku sedang berbaring tak sadarkan diri.

Penyakit jantung dan hipertensinya kambuh dan semua itu karena aku. Mama sakit karena aku menolak permintaan Papa dan Mama.

"Pa ...." Kalimatku terhenti karena Papa mengibaskan tanganku yang memegang tangannya.

"Lebih baik kamu diam, Clara. Kalau sampai mamamu kenapa-kenapa, Papa tidak akan pernah memaafkan kamu!" ujar Papa sambil melirikku tajam.

Aku menunduk tak berani menantang lirikan Papa. Masih jelas terbayang kejadian sebelum Mama pingsan tadi.

"Clara gak mau, Pa. Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Sekarang sudah maju dan Papa masih punya pikiran picik seperti itu!" teriakku kesal.

Mata Papa membesar, dia pasti tak menyangka jika aku berani menentang keinginannya.

"Clara, dengar dulu apa kata Papa, Nak!" bujuk Mama mencoba menengahi perdebatan di antara kami berdua.

"Kalau begitu, kamu harus pergi dari rumah ini. Papa tak sudi punya anak tak tahu membalas budi seperti kamu!" kata Papa dengan marah.

Aku terkesiap tak menyangka jika kata-kata itu terlontar dari mulut orang yang selama ini sangat kuhormati.

Papa marah besar karena aku menolak keinginannya menjodohkan aku dengan anak sahabatnya. Aku tak habis pikir  dengan keinginan Papa.

Bagaimana mungkin dia setuju dengan lamaran sahabatnya itu. Aku harus menikah dengan Azzam, anak om Setyo sahabat papaku. 

Aku mengenal Azzam sejak kecil. Walaupun kami tak berteman, kami sering bertemu di saat acara arisan papa dan sahabat-sahabatnya. Itu juga waktu masih kecil. Setelah mulai beranjak besar aku tak pernah lagi datang ke acara tersebut. 

"Baiklah, kalau itu mau Papa. Malam ini juga aku akan pergi, biar Papa senang," jawabku. 

Aku berdiri dan berjalan ke kamar. Biarlah, aku pasrah jika memang harus terusir dari rumah karena menolak keinginan papaku. 

"Jangan! Clara kamu turuti saja kemauan papamu. Mama gak mau kamu pergi, Nak!" Mama menjerit sambil memegang dadanya. Tak lama mama pun pingsan. 

"Mama!" teriakku panik. Untung saja aku sempat berlari menangkap tubuh Mama sebelum jatuh menyentuh lantai rumah.

Papa pun ikut kaget lalu membantuku membawa Mama ke atas sofa. Kami berusaha menyadarkan Mama, tetapi tak berhasil. 

Akhirnya Papa membawa Mama ke rumah sakit dan betapa terkejutnya kami saat dokter mengatakan Mama terkena serangan jantung.

Tekanan darahnya juga tinggi, hal itu sangat berbahaya karena bisa menyebabkan Mama mengalami stroke. 

"Mbak," sapa Cleo, adik perempuanku satu-satunya.

"Kamu sudah datang?" tanyaku setelah tersadar dari lamunan tadi.

"Iya, Mbak. Bagaimana keadaan Mama? Papa juga gak kelihatan?" tanya Cleo padaku. 

Aku sendiri tak tahu ke mana papa kami pergi. Padahal baru saja dia berdiri di sampingku tadi. 

"Mama belum sadar, kalau Papa ... Mbak gak tahu, Cleo," jawabku jujur.

"Aku baru saja dari rumah. Kata si bibi, Mama sakit karena Mbak bertengkar dengan Papa, ya? Ada apa lagi, sih, Mbak. Gak bosan-bosan, ya, bertengkar terus dengan Papa!" Cleo menumpahkan uneg-unegnya padaku. 

Aku hanya tersenyum melihat kekesalan Cleo. Wajar kalau dia merasa kesal padaku dan Papa. Cleo yang pendiam itu sangat dekat dan menyayangi Mama. 

"Maafkan Mbak, Cleo. Mbak gak bermaksud menyakiti Mama kita, tetapi Papa sudah kelewatan. Masa dia memaksaku menerima perjodohan dengan Azzam," ucapku panjang lebar.

"Azzam? Anaknya Om Setyo yang gantengnya seperti Arya Saloka itu, Mbak? Duh, aku mau kalau dijodohkan dengan dia."

"Heh, sadar, Non. Kalau kamu mau sama dia, ambil aja. Mbak, sih, ogah," sahutku.

Cleo tersenyum penuh arti membuatku tak habis pikir. Apa hebatnya, sih si Azzam itu?

"Sedang apa kalian berdua, berisik tahu!" tegur Papa tiba-tiba muncul di belakang kami. 

Cleo tersenyum melihat kedatangan Papa lalu menghambur ke dalam pelukannya. 

"Pa, aku saja yang dijodohkan dengan Mas Azzam. Aku mau, Pa!" kata Cleo dengan semangat.

Papa menjauhkan dirinya dari Cleo. 

"Kamu itu masih kuliah, belajar aja yang benar. Gak usah mikir kawin dulu!" ujar Papa dengan dingin. 

Cleo cemberut seraya melihatku. Aku hanya menggedikkan kedua bahuku. Papa memang begitu, sejak dulu terlalu bersifat otoriter padaku dan Cleo. 

Apapun perkataannya tak bisa dan tak boleh dibantah. Berani melawan maka hukuman akan kami terima sebagai balasannya.

Kami bertiga masih terdiam dengan pikiran masing-masing sampai seorang suster mendatangi kami membawa berita bahagia. 

"Keluarga Bu Sundari! Pasiennya sudah sadar dan ingin bertemu dengan kalian!" 

----

Tiga hari kemudian Mama sudah boleh dibawa pulang. Namun, kesehatannya belum seratus persen pulih seperti sedia kala. 

Mama masih harus banyak istirahat dan tidak boleh banyak pikiran. Ini adalah hal yang berat bagiku.

"Mama mau makan. Clara suapin, ya!" ucapku lembut pada Mama yang sedang duduk melamun di pembaringannya.

Mama menoleh padaku kemudian menggeleng. 

"Mama belum lapar, Ra. Sini kamu duduk di dekat Mama!" 

Aku pun duduk di samping Mama sesuai dengan keinginannya. Mama memandangku dengan senyum tersungging di bibirnya. 

"Clara, kamu gak jadi pergi, kan?" tanya Mama kemudian.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. Aku tak boleh salah menjawab karena  takut Mama akan kecewa lalu  kesehatannya memburuk kembali. 

"Aku ... gak mau membahas hal itu dulu, Ma. Papa juga sudah sepakat denganku, untuk sementara waktu kami tidak akan membahas hal itu dulu," jawabku dengan hati-hati. 

Mama hanya diam mendengar penjelasanku. 

"Sampai kapan, Ra? Kalian sengaja melakukan hal itu karena takut dengan kesehatan Mama, kan?"

Aku mengangguk, selama ini aku tak pernah bisa berbohong jika sedang bicara dengan Mama.

"Mama harap kamu mau menerima perjodohan itu, Ra. Mama yakin kamu akan hidup bahagia jika menikah dengan Nak Azzam. Sekarang dia sedang merantau ke Medan, dua Minggu lagi dia akan pulang. Kamu mau menikah dengannya kan, Ra?"

Ya, Allah! Permintaan Mama sangat berat untuk dipenuhi, aku jadi bimbang dan ragu untuk memberi keputusan. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi ... Mama kelihatan sangat berharap aku menerimanya. 

"Apa Mama yakin kalau Azzam itu pria yang baik. Mama belum pernah mengenalnya secara langsung, kan?" 

"Orang tuanya kaya dan terpandang, tetapi Azzam malah memilih mencari pekerjaan sendiri di kota. Itu menandakan dia anak yang mandiri dan tidak tergantung dengan orang tuanya. Apa kamu gak mau punya suami seperti itu?" 

"Ma, aku belum mau menikah. Aku masih ingin menyenangkan Mama dan Papa dahulu," sahutku dengan putus asa. 

Aku tak bisa bicara dengan nada tinggi. Mama mendesah kecewa padaku, dia terus memandangku dengan tatapan yang tak bisa diartikan apa maksudnya.

"Mama harap kamu mau memenuhi permintaan Mama, Ra. Mama ingin anak-anak Mama bahagia. Itu saja." 

"Aku tahu, Ma, tapi gak harus menikah dengan Azzam, kan, Ma?" Aku masih coba mempertahankan keputusanku. 

Wajah Mama kelihatan berubah, sepertinya dia sedang menahan kesedihannya. Ini tidak baik, aku takut kesehatannya menurun kembali. Namun, aku harus terus maju dengan keputusanku.

Menikah itu bukan perkara main-main, aku berharap hanya sekali seumur hidup. Itulah alasan mengapa sampai sekarang aku belum menikah. Jangankan menikah, pacaran saja aku bisa dihitung dengan jari. 

"Mama berharap kamu mau menerima perjodohan itu, Ra! Mama ...." Mama berhenti bicara, lalu memegang dadanya dengan wajah pucat. 

Ini tidak baik, aku takut penyakitnya kambuh kembali. Akhirnya aku mengalah demi kesehatan Mama.

Secepatnya aku memeluk Mama sambil membisikkan sesuatu membuat Mama tersenyum. Kemudian Mama menghubungi Papa yang sedang bekerja di kantor. 

"Pa, Clara sudah setuju. Papa cepat kasih kabar ke Mas Setyo, ya!" ucap Mama dengan senyum mengembang sempurna. 

Aku hanya bisa menghela napas, sepertinya saat ini hanya itu yang bisa kulakukan. Mengalah, untuk kesembuhan Mama. Akhirnya aku menjadi anggota komunitas Siti Nurbaya yang sangat kubenci.

Bersambung.