webnovel

Aku Seorang Pelakor

Bab 3 - Aku Seorang Pelakor

Keesokan harinya, Mas Azzam bangun dengan wajah cemberut. Setelah selesai salat Subuh sendirian, dia pun keluar dari kamar. Langsung saja kukunci pintu kamar dan segera melaksanakan salat Subuh sebelum Mas Azzam kembali lagi. 

Setelah selesai salat, aku pun menyusul Mas Azzam karena dia tak kunjung kembali ke kamar. Aku khawatir dia cerita pada Papa kalau aku sedang datang bulan. Bisa ketahuan kebohongan yang dibuat nanti.

Sampai di luar kamar, aku mencari keberadaan Mas Azzam. Suasana rumah masih sepi. Mama dan Papa pasti masih di dalam kamarnya. 

"Cari siapa, Non?" tanya si bibi mengagetkanku. 

Mungkin dia heran melihat aku celingukan seorang diri di depan kamar.

"Bibi ngagetin aja! Bibi lihat Mas Azzam, gak?" 

"Mas Azzam ada di halaman belakang, Non. Sepertinya sedang menerima telepon," beritahu si bibi. 

Menerima telepon?  Siapa yang meneleponnya sepagi ini. Merasa penasaran, aku pun menyusul Mas Azzam ke halaman belakang. 

Entah mengapa perasaanku mendadak merasa curiga. Mengapa dia harus ke halaman belakang  hanya untuk menerima panggilan teleponnya. Dengan mengendap aku mencari keberadaan Mas Azzam. 

Samar-samar aku mendengar suaranya yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Namun, aku tak bisa mendengar dengan jelas karena Mas Azzam berbicara seperti orang yang berbisik. 

Dia sedang mengakhiri panggilannya saat aku tiba di belakangnya. 

 "Sabar, ya, Sayang!"

 Aku mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Mas Azzam sebelum mengakhiri panggilannya. Siapa yang dipanggilnya sayang tadi? Aku sampai terpaku di tempatku berdiri.

"Clara!" pekik Mas Azzam kaget saat dia berbalik.

Aku berdiri dengan bersedekap, rasa penasaran dengan ucapannya tadi membuatku langsung bertanya padanya.

"Ya, sedang apa Mas di sini?" tanyaku dengan ketus.

"Oh, itu. Mas sedang ... ehm, hanya sedang mencari udara segar saja," jawabnya terbata.

Aku mengernyitkan dahi mendengar jawabannya. Apa dia gak tahu kalau aku melihat dia sedang menerima telepon tadi. Dengan kesal kudekati dia, lalu memijak kakinya dengan keras. 

"Aduh, sakit, Ra. Kamu kenapa, sih?" Mas Azzam membungkuk untuk mengelus kakinya yang kuinjak tadi. 

"Itu balasan karena Mas sudah bicara bohong. Mas kira aku gak tahu kalau Mas sedang menerima telepon tadi. Siapa itu yang dipanggil sayang tadi?" 

Mas Azzam langsung berdiri dengan kaget. Wajahnya memucat dengan mulut menganga. 

"Itu ... bukan siapa-siapa. Kamu salah dengar mungkin," jawabnya seraya tersenyum. 

"Mas kira aku tuli, awas aja. Aku akan ceritakan semua sama Mama dan Papa!" ucapku lalu berbalik meninggalkannya. 

Mas Azzam mengejar lalu menarik tanganku sambil memohon agar tak menceritakan hal itu pada orang tuaku. 

"Mas mohon kamu jangan bilang dulu. Nanti, Mas akan ceritakan semuanya sama kamu, tapi tidak sekarang. Mas janji!" 

"Cerita sekarang atau ...." Aku menggantung kalimatku.

Mas Azzam kelihatan bingung, berulang kali dia ingin bicara, tetapi diurungkannya kembali. Aku menunggu tanpa berbicara sama sekali hingga akhirnya Mas Azzam pun menceritakan semuanya.

Kenyataan yang diceritakan Mas Azzam membuatku jatuh terduduk. Aku terkejut mendengarnya, sungguh tak menyangka jika ada kebohongan yang ditutupi oleh Mas Azzam. 

Ternyata dia sudah beristri dan kini sedang mengandung anak pertamanya. Nasib apa lagi yang sedang kualami sekarang. Ternyata aku kini menjadi seorang pelakor.

---

Aku marah saat Mas Azzam selesai bercerita, tanganku otomatis menampar pipinya dengan keras. Mas Azzam terkejut, tetapi tak membalas tamparanku.

"Kalau memang kamu sudah punya istri di Medan sana. Ngapain kamu mau dijodohkan denganku, Mas?" tanyaku dengan berang. 

Mas Azzam mengelus pipinya yang tampak memerah, kemudian tersenyum tipis. Seraya menghela napas dia memandang pada langit yang tengah memancarkan semburat merah di ufuk timur. 

Matahari mulai menampakkan dirinya, pertanda sebentar lagi Mama dan Papa akan keluar dari kamarnya.  

"Jawab, Mas. Aku gak suka kami permainkan seperti ini!" Aku bertanya sekali lagi. 

Mas Azzam menoleh padaku, lalu menghela napasnya lagi.

"Aku terpaksa, Ra. Keluargaku belum tahu kalau aku sudah menikah di sana. Kami baru menikah tiga bulan lalu tanpa sepengetahuan Mama dan papaku. Aku juga bingung, bagaimana mengatakannya pada mereka."

"Kenapa tak berterus terang saja? Malah setuju menikah denganku!" bentakku.

"Tadinya aku ingin berterus terang, tapi rupanya Mama tak setuju kalau aku menikah dengan Winda. Aku putra satu-satunya dan mereka berharap aku menikah denganmu."

"Alasan yang tidak masuk akal, kalau Mas gak berani bicara pada orang tua Mas. Aku yang akan bicara pada mereka dan orang tuaku juga. Aku akan minta mereka membatalkan pernikahan kita?" 

Aku meninggalkan Mas Azzam yang masih berdiri termangu di tempatnya. Dasar, ternyata Mas Azzam itu pria lemah. Memutuskan hal penting dalam hidupnya saja dia tak bisa. 

Masa dia tak bisa menolak keinginan orang tuanya, padahal dia sudah punya istri di Medan sana. Sedangkan aku yang berusaha menolak juga tak berdaya karena kesehatan mamaku tergantung dengan keputusanku. 

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan kesal. Aku akan menceritakan semuanya  pada Mama dan Papa.

 Mereka pasti mengerti, terutama Mama. Dia harus menerima kenyataan kalau anak gadisnya hanya dijadikan sebagai istri kedua saja. 

Sampai di ruang tengah aku tak melihat kedua orang tuaku. Biasanya jam segini mereka sedang duduk di depan televisi menonton acara ceramah agama yang dibawakan oleh seorang ustazah yang terkenal.

"Ke mana mereka, ya?" 

Tiba-tiba pintu depan terbuka, Papa masuk dengan membawa sesuatu di tangannya. Aku segera menyongsongnya dan bertanya apa yang dibawa oleh Papa.

"Ini bubur ayam, Mama minta dibelikan. Katanya perutnya sedang tidak enak," jawab Papa. 

Beliau terus berjalan ke arah kamarnya, aku menahan dengan memegang tangan Papa. 

"Pa, aku ingin bicara! Ini hal penting, soal Mas Azzam," kataku dengan ragu. 

"Nanti saja, ya. Kasihan Mama kamu pasti sudah lapar," kata Papa sambil tersenyum.

Aku mengangguk lalu mengikuti Papa yang berjalan masuk ke kamarnya. Samapi di kamar aku dan Papa berteriak memanggil Mama yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. 

"Mama pingsan, Azzam mana, Ra. Tolong siapkan mobil. Kita bawa Mama ke rumah sakit!" teriak Papa dengan panik. 

Aku pun berlari ke halaman belakang, Mas Azzam masih di posisinya tadi. 

"Mas! Mama pingsan, siapkan mobil. Kita harus membawa Mama secepatnya!" 

Mas Azzam langsung berlari ke garasi mobil. Tak lama kemudian, kami berempat sudah berada di dalam mobil menuju ke rumah sakit.

Suasana pagi yang sepi membantu kami cepat sampai di sana. Mama langsung ditangani oleh dokter yang menangani Mama sebelumnya. 

Papa berdiri di depan ruangan ICU, beliau menunggu dengan wajah cemas.

"Apa Mama pingsan karena sudah tahu keadaan kita?" tanya Mas Azzam dengan berbisik.

Kami menunggu di kursi yang tak jauh dari Papa. 

"Bukan, Mas. Aku belum sempat bicara," jawabku pelan. 

"Jadi, Mama pingsan karena apa?" 

"Aku gak tahu, saat aku dan Papa masuk ke kamar. Mama sudah tergeletak pingsan di lantai," jawabku lagi.

Aku pun penasaran, apa yang menyebabkan Mama sampai pingsan seperti itu?

Bersambung.