webnovel

Aku Bukan Pembantu

Bab 6 - Aku Bukan Pembantu

"Clara, di mananya kau? Cepat ke sini!" Aku mendengar teriakan Kak Winda dari kamar mandi. 

"Ada apa lagi, sih? Itu orang doyan banget teriak-teriak!" gerutuku. 

Kumatikan ponsel yang sedang memutar film Korea kesukaanku. Terpaksa kuhentikan kesenangan yang sedang kunikmati tadi. 

Padahal lagi yang diputar sedang asyik-asyiknya, dengan menahan perasaan dongkol aku mendatangi Kak Winda yang terus berteriak memanggil namaku.

"Ada apa, sih, Kak? Teriak terus kayak Tarzan aja!" protesku saat sudah berada di dekatnya. 

"Biarlah, mau kayak Tarzan, kayak siamang, apa peduli kau. Mulut-mulut aku, kok kau pula yang sibuk!" jawabnya dengan ketus. 

"Memang mulutnya punya kakak, tapi telinga aku yang punya. Kalau kakak mungkin udah kebal telinganya, tapi kasihan telingaku jadi sakit dengar teriakan kakak!" balasku tak kalah ketus.

"Kurang ajar, sudahlah, sini kau bantu aku menguras bak mandi ini. Sudah tiga bulan belum di bersihkan!" 

Apa? Bak mandi sudah tiga bulan belum pernah dikuras? Luar biasa! Untung saja aku mandi dengan  menampung air di ember tadi, kalau tidak mungkin sekarang aku sudah merasa gatal-gatal seluruh tubuh.

"Tiga bulan, Kak? Euw, jorok banget. Bisa, ya, kalian mandi pakai air di bak itu," ucapku dengan perasaan jijik. 

"Banyak kali cakap kau, makanya sekarang kau bantu aku mengurasnya. Aku gak bisa masuk ke dalam bak, licin. Nanti aku terpeleset. Cepatlah kau masuk ke dalamnya!" perintahnya dengan seenak jidatnya.

"Masuk ke dalam bak kotor itu, Nehi Mohabbatein Ki Coro, ya, Mbak. Itu bukan tugasku, panggil saja orang lain, kasih duit, gampang, kan?" jawabku seraya pergi meninggalkannya. 

Enak saja melimpahkan tugas semena-mena padaku.

"Clara! Awas kau, ya! Kulaporkan sama Mas Azzam nanti!" teriak Kak Winda. 

Bodo amat! Lebih baik aku keluar rumah saja. Merumpi dengan ibu-ibu, eh, kakak-kakak penunggu pohon asem tadi. Namun, ini sudah siang, pasti mereka sedang sibuk di rumah masing-masing.

Aku sudah tiba di dekat pohon asem, ternyata trio centil itu masih asyik merumpi di sana. 

Aku mendekati mereka dengan perasaan senang. Setidaknya aku punya tempat nongkrong sampai sore nanti. 

"Lho, Adek kok balik lagi. Mau nyari kereta api ngebut, ya?" tanya kakak berbaju biru.

Aku hanya tersenyum lalu berkata kalau aku bisa di rumah, jadi mau ikut ngerumpi bersama mereka. 

Kak Neti, Kak Lia, Kak Rahma menerimaku dengan senang hati. Mereka bicara hal apa saja, untuk sementara aku masih jadi pendengar budiman. 

Tiba-tiba Kak Lia bertanya hubungannya dengan keluarga Mas Azzam. Seperti perjanjian kami kemarin, aku pun mengaku sebagai adiknya Mas Azzam. 

Syukurlah mereka langsung percaya saja. Ternyata mereka bukan termasuk emak-emak yang suka kepo dengan urusan orang lain. Obrolan mereka malah membahas bisnis online, cara merawat anak, dan masih banyak topik lainnya. 

Sepertinya aku akan semakin betah, nih, bergabung dengan mereka. Namun, aku ingin tahu bagaimana pandangan mereka tentang Mas Azzam dan Kak Winda. 

"Kak, kalian sudah lama tinggal di sini?" tanyaku membuka pembicaraan.

"Kalau kakak dari lahir udah tinggal di sini, Dek. Ini rumah warisan orang tua kakak. Kalau orang yang dua, nih, baru beberapa tahun saja. Ikut suami mereka tinggal di sini," jawab Kak Neti. 

"Menurut kakak bertiga, Kak Winda itu gimana, sih. Apa dia suka bergaul dengan tetangga juga?" tanyaku lagi. Kali ini langsung  ke topik bahasan yang kuinginkan.

"Kek mana, ya, Dek. Bingung kami mau menjawab. Kalau kami jawab yang jujur, takutnya Adek gak terima pula," sahut Kak Neti lagi.

"Aku gak apa, kok, Kak. Kami kan, tinggalnya jauh dari mereka, kakak bertiga yang lebih tahu bagaimana kak Winda yang sebenarnya."

Kak Neti mendekat padaku, dengan berbisik dia mengatakan kalau Kak Winda itu sudah berbuat curang. Dia sengaja menjebak Mas Azzam agar bisa menikah dengannya. 

Mataku membulat mendengarnya, rasanya tak percaya mendengar jawaban dari Kak Neti. Menjebak, maksudnya bagaimana, ya. Aku harus mencari tahu semuanya!

---

Aku duduk termenung di kamar. Sejak pulang dari berbincang dengan ketiga kakak penghuni pohon asem, otakku tak bisa berhenti berpikir.

Setengah hatiku tak percaya dengan apa yang mereka katakan. 

"Winda sengaja menjebak Azzam agar kepergok warga lalu mereka dinikahkan secara paksa. Orang tua Winda saja gak jelas siapa dan di mana kini berada," beritahu Kak Neti.

"Iya, Dek. Sebenarnya Azzam itu tak suka dengan Winda. Winda itu gadis nakal, dia suka berganti-ganti pria sebelum menikah dengan Mas Azzam. Masmu itu terlalu polos sebagai laki-laki. Masa dia tak tahu kalau dia sudah dijebak oleh Winda," sambung Kak Lia juga.

Aku menarik napas panjang, rasanya makin membingungkan saja persoalan yang kuhadapi. 

"Kau tahu, Dek. Kami curiga dengan kehamilan si Winda itu. Menurut kakak itu bukan anaknya si Azzam. Bayangkan saja, mereka baru menikah tiga bulan, tetapi Perut si Winda sudah membesar seperti itu. Mungkin kandungannya sudah berumur lima bulan lebih."

Lagi-lagi ucapan Kak Neti terbayang di benakku. Aku tak paham ukuran perut orang yang sedang hamil, bagaimana bisa aku mengetahui sudah berapa bulan usia kandungan kak Winda?

"Clara, apa kamu sedang tidur?" panggil Mas Azzam dari balik pintu kamarku. 

Aku berdiri dengan malas lalu membuka pintu kamarku. Mas Azzam sepertinya baru saja pulang dari kantornya. 

"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan malas.

"Ikut Mas ke depan!" ucapnya dengan dingin.

Aku mengekor di belakangnya tanpa protes. Dia menyuruhku untuk duduk, kemudian memandangku dengan lekat.

"Winda mengadu, katanya kamu gak mau diajak membersihkan rumah. Kenapa, Ra? Ini kan rumah kamu juga!" 

Jadi Kak Winda mengadu pada Mas Azzam. Awas aja, aku akan mencari bukti kecurangan Kak Winda nanti.

"Bukan diajak, Mas, tapi disuruh. Masa aku disuruh membersihkan bak mandi yang sudah tiga bulan gak dibersihkan. Selama ini ngapain aja dia?" 

Mas Azzam menggeleng, raut wajahnya kelihatan tak senang. 

"Memang, tiga bulan yang lalu Mas yang membersihkan bak mandi itu. Sampai sekarang belum sempat membersihkannya lagi, karena Mas sibuk dengan urusan kantor."

"Kalau boleh tahu, bagaimana ceritanya Mas bisa menikah dengan Kak Winda?" tanyaku pelan. 

"Maksud kamu?" Mas Azzam menatapku tak mengerti.

"Bagaimana kisahnya, Mas Azzam bisa menikah dengan Kak Winda. Apa sudah lama pacaran, atau pakai proses ta'aruf seperti kita kemarin?" 

"Oh, itu. Kami gak pacaran, sebenarnya ...." 

"Mau apa kau bertanya kayak gitu, Clara. Kok kepo kali kau, itu urusan kami berdua. Kau tak perlu ikut campur!" Suara Kak Winda menggelegar membuat Mas Azzam menghentikan ucapannya. 

"Jelas aku harus ikut campur, karena status aku di mata hukum itu adalah istrinya Mas Azzam. Walau dia sudah berbohong, tapi aku yakin dia melakukan itu karena terpaksa!" sahutku tak kalah sengit.

"Maksud kau, kami berbohong telah menikah, begitu? Saksi kami banyak, kami menikah sah secara hukum dan agama. Hanya Mas Azzam saja yang terlalu pengecut untuk membawaku menemui keluarganya!" 

"Mungkin Mas Azzam masih ragu denganmu, Kak," ejekku. 

Wajah Kak Winda memerah, mungkin dia menahan marahnya. Aku ingin mengejeknya lagi agar semakin marah padaku. Namun, tiba-tiba dia memegang perutnya dengan wajah meringis menahan sakit. 

"Kamu kenapa, Win?" tanya Mas Azzam panik. Sementara aku hanya memperhatikan interaksi mereka berdua saja. 

"Perutku kram, Mas. Sakit sekali," keluhnya. 

Mas Azzam mengajak Kak Winda duduk. Kak Winda menurut, dia duduk dengan perlahan sambil terus meringis kesakitan.

"Kita ke rumah sakit, ya! Mas pesan taksi dulu!" 

"Jangan, Mas. Aku gak mau. Panggil Mak Ijah saja. Mungkin dengan sedikit di urut bisa mengurangi rasa sakitnya."

Aneh, kenapa dia tak mau dibawa ke rumah sakit?

Bersambung