webnovel

Sindiran Mertua

"Iya, ambilin aja, Sayang. Kasihan, Bella pasti belum pernah makan semahal ini di rumahnya.

Ups!" tambah Mita terus terang.

Abel menghentikan aktivitasnya seketika saat perkataan Mita terdengar dengan sangat jelas di pendengarannya. Menghina Bella tepat di hadapannya memang sebuah hal yang tak pernah dirinya bayangkan.

Raut wajah Abel terlihat tak bersahabat sekarang. Aktivitasnya yang hendak mengambilkan beberapa makanan untuk dirinya seketika di urungkan sambil meletakkan kembali sendok dengan dentingan yang terdengar keras.

Kembali duduk di tempatnya dan tak jadi mengambilkannya makanan, Abel menekuk raut wajahnya kesal dengan perkataan Mita tadi.

"Abel, udah. Biarin aja Mama bilang apapun ke aku. Aku enggak mempermasalahkannya, kok!" bisik Bella lebih mendekat saat melihat emosi Abel.

"Aku enggak suka Mama selalu ngehina Kakak di depan semua orang Kak Bel! Kakak emang enggak kesel apa?"

Senyuman tipis pun terbit dari sudut bibir ranum Bella. Menggelengkan kepalanya pelan meyakinkan adik iparnya bahwa tak ada yang perlu dipermasalahkan di sini. Biarkan saja, semua orang mau berkata apa pada dirinya.

Sambutan tak mengenakkan memang sudah dirinya rasakan pada pertemuan pertama dirinya dan sang mertua. Tahu bahwa mereka sebenarnya tak suka terhadap dirinya memang sudah menjadi hal yang harus Bella terima.

Tak semua orang memang bisa suka pada dirinya atas apa yang dirinya punya, tapi Bella tak pernah merasa rugi jika mama dan papa tak suka. Biarkan saja.

"Kenapa enggak jadi, Sayang? Kasih aja enggak papa.

Kalau kamu juga masih kurang, kita borong semuanya buat kamu. Abel kan udah lama enggak ikut makan bersama sama kita. Iya kan, Pa?"

"Iya, Ma. Abel akhir-akhir ini begitu sibuk katanya karena persiapan ujian? Sampek tinggak di apartemen sendiri agar lebih fokus belajar. Kamu juga harus makan yang banyak, Sayang."

Begitulah, setidaknya pemandangan tak mengenakkan tak selalu ada di hadapan Bella selalu. Kasih sayang mama dan papa terhadap Abel memang terlihat begitu kentara baginya. Seorang gadis yang terlihat sangat dimajakan. Tapi Abel justru memiliki kepribadian yang jauh berbeda pada mereka.

"Aku enggak mau. Makananku sudah cukup mahal selama makan di apartemen. Untuk makan seperti ini, hanya dengan kalian juga tak terlalu ada perubahan."

"Sayang, kok kamu bilang gitu? Kirimannya kurang?'

Abel kembali mengehmbuskan napasnya gusar. Merasa kali ini orang tuanya tak mengerti apa yang dirinya maksud. Dari kejauhan, Bella bisa melihat jika Abel hendak mengatakan sesuatu.

"Haduh, Mama. Kenapa Mama enggak paham-paham, sih! Maksud Abel bukan gitu." Abel sudah mulai meluapkan emosinya. Gadis itu kini terlihat lebih geram.

"Terus mau kamu apa, Sayang? Mama sama Papa enggak ngerti," tutur Mita lembut sambil membelai rambut Abel halus.

Abel menormalkan emosinya sesaat. Menetralkan napasnya agar lebih teratur dan tak termakan suasana. Berusaha berkata lebih baik lagi, Abel sadar dirinya sedang berbicara dengan siapa.

"Mama, Abel cuma minta satu ke Mama. Jangan terlalu mengucilkan Kak Bella, ya?

Kak Bella itu teman Abel sudah lama. Dan Abel enggak suka kalau Mama memperlakukan Kak Bella begitu berbeda di banding kita." Nada bicara Abel lebih melemah. Terdengar rembut bagaikan semuah rayuan untuk kedua orang tuanya.

Meski Mita dan Anton terlihat sedang berpikir. Menimang dengan baik apakah

mereka bisa menerima permintaan Abel atau tidak. Tapi anggukan pelan itu memang terlihat jelas jika Mita menyetujuinya.

Sontak Abel langsung memeluk Mita dengan sayang. Menuruti apa yang dirinya mau memang selalu Abel rasakan setiap dirinya mengusulkan. Mendapat perhatian lebih dari orang tua memang sesuatu yang tak pernah Abel hindari. Cuma terkadang, ada sesuatu juga yang membuat semua hal yang Abel punya itu tak membuat dirinya betah di rumah.

Satu kedipan berhasil lolos pada diri Abel kepada Bella. Dirinya terkejut saat Abel

memberikan kode kepadanya. Meski awalnya dirinya juga tak paham apa maksud

Abel sebenarnya, tapi otaknya pun akhirnya bekerja dengan baik.

Tak kerasa aktivitas makan mereka pun telah selesai. Setelah hidangan pencuci mulut

telah selesai di santap, Abel kembali mengeluarkan kecerewetannya kembali.

"Hari ini, kita akan pindah ke rumahku Ma, Pa. Sudah cukup di hotelnya sehari saja. Dan nanti, kita akan berpemitan dulu ke orang tua Bella dan mulai berangkat."

"Abang mau bawa Kak Bella ke rumah Abang? Yah, jadi jauh dong kalo Abel mau main."

"Kamu ke luar kota aja juga hampir tiap hari enggak ngerasa jauh lho, Sayang? Masa ke rumah Abang kamu jauh banget?" tambah Anton yang tak mengerti dengan Abel sekarang.

Abel menutup mulut rapat ketika perkataannya ternyata salah sasaran. Anton bahkan lebih mengerti dirinya yang suka jalan-jalan keluar kota hampir tiap hari dari pada dirinya main ke Mall.

Skala kejauhan apartemennya memang sebenarnya tak ada apa-apa nya. Cuma yang membuat Abel malas adalah daerah rumah Radit adalah rawan macet.

"Yah, kalo dari apartemenku kan jauh, Pa. Kalo dari apatemennya Mama juga jauh."

"Yaudah, dari rumah kita aja kalo gitu?" sahut Mita tak mau kalah.

"Halah, bilang aja Mama kangen sama Abel, kan?"

Abel kembali tertawa kecil saat menggoda mamanya yang tertangkap basah. Bella yang sedari tadi mengamati candaan mereka yang memang nyata adanya. Begitu sangat real dan Abel sangat polos kelihatannya membuatnya ikut terkekeh kecil juga.

Melirik sedikit pandangannya ke arah sang suami berada. Tatapannya yang tak sengaja bertemu juga. Bella langsung mengalihkan pandangan. Tak ingin terlalu lama saling bertatapan.

Senyum kecil Radit yang terlihat begitu jelas saat melihat dirinya seakan salah tingkah tadi, membuat Bella sedikit malu. Padahal mereka sudah suami istri di sini, tapi mengapa Bella masih terlalu canggung jika Radit lembut kepadanya.

***

"Radit, semua barang-barangmu sudah aku masukin koper. Alat mandi dan lain sebagainya sudah beres. Koperku juga udah selesai. Ada barang lagi, enggak? Yang mau kamu tambah?" tanya Bella sambil berjalan keluar kamar.

Pintu yang sedari terbuka. Niatnya yang ingin berbincang dengan Radit lebih dekat lagi sambil memastikan jika suaminya benar-benar mendengarnya. Pandangannya sementara teralihkan sambil membenahi bajunya yang nyangkut resleting.

"Radit, kamu—"

BRUKKK

*Bersambung ...