webnovel

Ingatan Masa Lalu

Sering kali ucapan akan terlupakan. Namun, kenangan akan selalu diingat. Jangjun memang sering berkata jika dia baik-baik dan tidak kesepian. Namun, si relung hatinya yang terdalam, Jangjun masih berharap jika suatu saat nanti Jangjun akan dapat hidup bersama Nana. Meskipun sudah sangat terlambat tentunya.

Kenangannya bersama Nana selalu Jangjun ingat di setiap embusan napasnya. Jangjun bukannya hiperbolis, tapi memang itulah yang selalu ia rasakan dari 14 tahun yang lalu itu.

Jangjun mampu melupakan setiap perkataan Nana yang terkadang menyakitkan. Namun, ia tak dapat melupakan kenangan itu. Setiap detik yang ia lalui bersama Nana, itu akan menjadi sebuah kenangan bagi Jangjun. Meskipun kebanyakan adalah kenangan yang tidak mengenakkan karena Nana selalu saja tidak peka oleh perasaan Jangjun.

Jangjun tercenung, dan kembali mengingat kejadian saat dia bersama Nana dulu.

Saat itu, mereka sedang bermain di Dunia Fantasi, Jakarta Setelah menaiki beberapa wahana, Jangjun dan Nana duduk bersantai di kursi panjang. Angin sepoi menyibak rambut hitam kedua remaja berusia empat belas tahun itu. Mereka adalah teman satu kelas. Nana merupakan tetangga baru Jangjun, tapi Jangjun sudah jatuh cinta sejak saat ia melihat Nana untuk pertama kalinya.

Ekor mata Jangjun melirik sejenak ke arah Nana, yang duduk di sebelah kiri Jangjun. Mereka sama-sama duduk di kursi panjang saat ini. Mereka beristirahat sejenak, sebelum nanti akan mencoba wahana yang lainnya.

Mata Nana terpejam, ia menengadah sambil merasakan embusan angin menerpa wajah cantiknya. Gadis Takahashi ini memang cantik, tapi kelakuannya saja yang tidak cantik. Hanya saja, Nana memiliki tubuh yang mungil, tapi itu terlihat sangat imut di mata Jangjun. Maklum, Jangjun sudah cinta mati pada Nana.

Jangjun tersenyum melihat tingkah gadis yang duduk di sebelahnya itu.

Jangjun memberanikan diri mendekatkan wajahnya ke wajah Nana.

Wuusshhh!!

Angin bertiup kencang, membuat rambut panjang Nana berkibar ke segala arah. Termasuk juga menerpa wajah tampan Jangjun yang kini sudah berada beberapa sentimeter dari pipinya.

"Gyaaa!! Jeje mau ngapain?!" teriak Nana pada Jangjun. Orang-orang di sekitar Jangjun lebih sering memanggil Jangjun dengan panggilan akrab Jeje.

Setelah berteriak seperti tadi, dengan refleks Nana mendorong Jangjun dengan kasar. Dan untungnya Jangjun mampu berpegangan di pinggir kursi, sehingga ia tak jadi jatuh.

"Kau mempunyai refleks yang bagus juga ya, Nana-chan," ucap Jangjun disertai seringaian meniru ayahnya, Kim Jaelani.

"Jeje mau ngapain sih deket-deket kayak tadi? Nana 'kan jadi kaget!" ucap Nana, sebal.

Jangjun terdiam sejak. Sedetik kemudian ia melihat ke arah Nana. Ia menarik kedua lengan Nana agar Nana menghadap ke arahnya.

Jangjun menyelipkan helaian rambut Nana ke telinga, membuat Nana tertegun sesaat.

"Aku hanya ingin menikmati ukiran indah wajahmu secara lebih dekat, Nana-chan," ucap Jangjun lembut sambil mengelus pipi Nana.

Nana segera menepis tangan Jangjun dari wajahnya.

"Ih apaan sih, Je?"

Nana memalingkan wajahnya, menghindar dari tatapan Jangjun.

"Nana-chan?"

"Heum?"

"Bapak kamu pengemis, ya?"

Tuk!!

Kepala Jangjun langsung dijitak oleh Nana, begitu keras.

"Enak aja ngatain Papa pengemis! Papa itu boss besar, tau!!" sungut Nana. Ia merasa terhina oleh ucapan Jangjun tadi. Makhlum, Nana baru datang ke Indonesia ini beberapa bulan yang lalu. Mengenai kenapa dia lancar berbahasa Indonesia memang sekolahnya dulu memang ada pelajaran Bahasa Indonesia-nya.

"Huuffttt!!" Jangjun mengembuskan napas kekecewaan.

Jangjun hanya bisa menghela napas panjang sambil mengusap kasar wajahnya, gusarm.

Padahal, kan dia niatnya ingin gombalin Nana.

"Kenapa kayaknya Jeje jadi kesal, eum? Seharusnya 'kan Nana yang kesal," ketus Nana lagi. Gadis Takahashi ini memang sangat polos.

"Bukan gitu, Nana yang imut, cantik, dan tidak sombong. Jeje tadi 'kan niatnya mau gombalin Nana. Dasar nggak peka!" ucap Jangjun setengah mendesis.

"Ooooooooooooooooo ...."

Hanya itu reaksi Nana. Dia hanya ber-oh ria.

"Tinggal bilang 'Eh kok Jejw tahu sih?' begitu saja, Nana. Apa susahnya sih?" protes Jangjun. Jangjun terlihat semakin kesal. Lagipula, sebenarnya Jangjun yang salah. Nana tinggal di Jepang sebelumnya, mana paham tentang gombalan seperti itu.

"Baiklah," sahut Nana, setegah terpaksa.

Maskipun Nana tak mengerti sepenuhnya maksud Jangju, tapi apa salahnya membuat temannya senang.

"Baiklah, ulangi lagi, ya?" Jangjun memberi aba-aba, yang ditanggapi oleh Nana hanya dengan anggukan sekali.

"Nana-chan~?" panggil Jangjun dengan suara mendayu, agar terdengar romantis batinnya.

"Iya, Jeje?"

"Bapak kamu petani, ya?"

"Eh, kok Jeje tahu?"

Nana pura-pura terkejut.

"Soalnya, Nana sudah menanamkan benih-benih cinta di hatiku," ucap Jangjun sambil menggenggam kedua tangan Nana.

"Huuft, gombalan receh! Nana B aja tuh."

Nana kembali menghempaskan tangan Jangjun dari tangannya.

Dan di saat itu juga, ingin sekali Jangjun mencekik leher gadis itu. Jangjun merutuki dirinya sendiri yang telah jatuh hati pada gadis tak berperasaan itu.

Merasa bosan atas gombalan receh Jangjun, Nana mengambil sebuah novel dari tasnya.

Ia membuka beberapa halaman awal dan mulai membaca.

Jangjun yang merasa diacuhkan, kini merebut paksa novel itu.

"Balikin atau Nana pukul Jeje lagi!" ancam Nana sambil mengangkat bogemnya.

Jangjun malah mengangkat novel milik Nana tinggi-tinggi. "Nana tahu nggak bedanya Jeje sama novel ini?" tanya Jangjun lembut. Tidak ada kata menyerah di kamusnya untuk menggoda Nana.

"Bedanya, novel itu lebih berisi daripada otak kamu, Je!" ucap Nana, ketus.

"Nana salah! Bedanya, kalau novel ini mampu menenggelamkan Nana ke dalam cerita, sedangkan Jeje mampu menenggelamkan Nana dalam cinta." Jangjun berucap setelah itu tertawa sendiri, merasa bangga karena mungkin saja gombalannya kali ini akan berhasil.

"Ah, bodoh! Nana nggak suka acara tenggelam-tenggelaman. Rayuan macam apa itu?" bentak Nana. Nana merebut paksa novelnya kembali. Kali ini berhasil. Sepertinya Jejw memilih menyerah.

"Nana-chan?"

"Heum? Apaan lagi sih, Je? Dari tadi manggil-manggil terus?!" gerutu Nana, kesal.

"Nana, percaya nggak cinta pada pandangan pertama," ucap Jeje. Kali ini disertai kepalanya yang bersadar di bahu Nana.

Walaupun Nana agak risih, pada akhirnya ia lebih memilih fokus membaca novel saja.

"Nggak!" jawab Nana sekenanya.

"Eh?" Ekspresi Jejw dibuat sedikit terlonjak. "Kalau gitu sama dong, berarti kita jodoh, kan?"

"NGGAKKK, BAKA!"

Percakapan diakhiri novel tebal yang mendarat tepat di kepala Jangjun.