webnovel

Kenapa Bercerai?

Di apartment...

Gavin membuka pintu, namun yang dia dapati hanya ruangan yang remang-remang dan membuat garis pandangannya terhalang. Dia tidak bisa melihat apa pun dengan jelas.

Dia meraba saklar lampu dan seketika Lampu kristal menyala dan segera menerangi seluruh ruang tamu.

Tidak ada seorang pun di apartemen itu.

Gavin melihat sekeliling, tetapi masih tidak dapat menemukan sosok Zeline. Akhirnya, pandangan nya melihat selembar kertas di atas meja teh di ruang tamu.

"Perjanjian perceraian?"

Gavin menyipitkan matanya, dengan santai melemparkan perjanjian itu ke tempat sampah.

***

Langit berangsur-angsur gelap, di dalam sebuah cafe kuno di pinggiran kota, Zeline memegang secangkir kopi dan menyesapnya.

"Apa yang kamu katakan, Lin?" Tanya seseorang yang duduk di depannya, wanita itu adalah sahabatnya, Aruna.

Saat itu, Aruna sedang menatap Zeline dengan tatapan tak percaya, matanya terbuka lebar dan mulutnya ternganga.

Zeline meletakkan cangkir dan memutar matanya ke arah Aruna.

"Ekspresimu sangat jelek."

Aruna melambaikan tangannya, "Aku terlalu kaget! Ya ampun, kamu sudah menikah! Namun pernikahan itu kandas hanya dalam waktu satu minggu! Ya Tuhan! Hati kecilku tidak tahan dengan drama menyedihkan ini." Aruna menempelkan punggung tangannya ke dahinya, seolah pura-pura pingsan.

Zeline langsung menampar meja dengan marah.

"Pria berengsek itu! Dia benar-benar menipu ku untuk menikah dengannya, dan kemudian hanya dalam beberapa hari saja, dia bertemu dengan wanita lain! Bahkan dengan mata kepalaku sendiri aku bisa melihat dia dan wanita itu sangat intim seolah mereka sudah kenal lama! Dia pikir aku wanita seperti apa?"

Zeline bahkan belum selesai berbicara ketika Aruna mengeluarkan serangkaian pertanyaan.

"Katakan apa yang terjadi. Siapa nama suamimu? Di mana kalian tinggal? Pekerjaannya apa? Berapa gaji bulanannya?"

Zeline menatapnya, "Siapa sebenarnya yang kamu bela?"

"Tentu saja aku di pihakmu! Tetapi jangan menyalahkanku karena kekepoan diriku ini!" Aruna memberinya tatapan genit, wajahnya dipenuhi dengan antusiasme.

Zeline hanya bisa menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Gavin. Ketika dia menceritakan apa yang terjadi hari ini, dia sangat marah sehingga wajahnya memerah.

Mata Aruna berbinar ketika dia mendengar cerita itu.

"Zeline, bisakah kamu memastikannya lagi? Mungkin itu hanya kesalahpahamanmu saja!"

"Mustahil!" Zeline berkata dengan tekad, "Aku melihatnya dengan jelas. Jika bukan karena sekretaris itu menarikku, aku akan bergegas masuk dan memberikan dua orang itu beberapa tamparan."

Zeline menggertakkan giginya.

Mengingat adegan di kantor, Zeline menggunakan garpunya untuk menusuk kue di depannya dengan kejam.

Kue coklat yang indah itu hancur menjadi bubur, membuat orang yang melihatnya akan kehilangan selera makan.

Aruna tidak bisa menahannya tetapi tetap merasa menggigil ketika dia melihat Zeline melakukan aksi seperti itu.

"Berhentilah membuang-buang kue itu... Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu mengiriminya pesan? Dia seharusnya sudah melihat kesepakatan perceraian mu sekarang, kan? Kenapa dia belum menelepon?"

Aruna tiba-tiba berhenti di tengah kalimat, dan menatap kosong pada pria tampan yang berjalan ke arahnya.

Zeline sedang memakan kuenya dan tidak melihat perubahan ekpresi pada teman baiknya.

"Bajingan!" "Sial!"

Zeline terus makan sambil mengutuk. Tiba-tiba, sebuah tangan besar mengulurkan tangan dari samping dan meraih lengannya.

Zeline menoleh, dan melihat wajah tenang Gavin, dengan penuh amarah, dia melambaikan garpu yang di pegangnya ke arah Gavin. Karena garpu yang digunakan untuk memakan kue itu sangat kecil, secara alami tidak akan membuat Gavin ketakutan.

Gavin mengerutkan kening ketika dia melihat krim coklat yang bercampuran di tangan mungil Zeline.

"Ikut aku!" Gavin menarik paksa dan langsung menyeret Zeline pergi dari kursinya.

"Apa yang sedang kamu lakukan!? Lepaskan aku! Aku tidak akan pergi denganmu!" Zeline menggunakan tangan dan kakinya untuk menendang dan memukul Gavin, mengusap jas abu-abu Gavin untuk meninggalkan banyak jejak kue dari tangannya.

"Hei, hei, hei! Tuan, kemana kamu akan membawa sahabatku?" Aruna tersadar dan bertanya.

Gavin meliriknya, dan mengeluarkan beberapa ratus dolar uang kertas. "Gunakan ini, untuk tagihan pesanan kalian, silahkan pergi sekarang."

Aruna sangat ingin membantah kata-katanya, tapi dia bertemu dengan tatapan dingin Gavin. Seketika, Aruna seperti dihipnotis dan dia dibuat terdiam. Setelah memberi Zeline tatapan 'Gadis malang yang penuh keberuntungan', Aruna langsung pergi dari sana.

Gavin menarik Zeline untuk duduk, dan segera seorang pelayan datang dan membersihkan meja mereka.

Zeline dengan santai melihat sekeliling dan menyadari bahwa semua pelanggan di cafe itu ternyata telah pergi. Di tempat yang begitu besar ini, hanya mereka berdua yang tersisa.

Sesaat kemudian, Gavin baru berbicara. "Kenapa bercerai?"

Mendengar itu, Zeline sangat marah.

"Aku sadar bahwa aku cuma orang biasa, aku tidak seharusnya hidup berdampingan dengan Tuan Muda Nicholas yang terhormat seperti mu." Zeline mengatakan itu dengan lancar dengan nada ejekan yang tak tersamar sama sekali, menyebabkan Gavin mengerutkan alisnya.

Zeline melanjutkan, "Apa kamu pikir kamu bisa berbohong dengan mudah di depanku? Kamu ... bisa-bisanya kamu masih berlagak seolah tidak pernah melakukan hal memalukan di belakang ku sekarang. Jangan berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa sehingga kamu bisa bermain-main di belakangku! Orang sepertimu, memang masuk akal bertingkah kotor seperti ini, lalu kamu ingin menganggap ku tidak lebih dari seorang wanita bodoh bagimu, benar begitu?" Zeline terus mengoceh, dia hampir menunjuk hidung Gavin saat memarahinya.

Sejak kapan Gavin pernah dikritik sedemikian rupa oleh orang lain? Zeline adalah orang pertama yang berani seperti ini di depannya!

Dalam sepersekian detik, mata Gavin menyipit, dan seluruh tubuhnya melepaskan aura dingin yang kejam. Dia sangat kesal pada Zeline karena kritikannya, jadi pikiran nya ikut kacau sama seperti Zeline.

"Apa kamu yakin ingin menceraikan ku?" Gavin berkata. Nadanya menjadi sedingin es, seolah-olah badai akan datang, membuat rasa penindasan tersebar ke udara sekitar.

Zeline marah, dia mengangguk tanpa ragu.

"Jangan menyesalinya." Gavin berkata.

"Menyesal? Kamu pikir kamu ini siapa? Apa kamu pikir semua orang ingin menikah denganmu? Konyol! Kalau bukan karena Tommi dan Febi, aku tidak akan pernah setuju untuk menikahimu. Kamu..." Suara Zeline tiba-tiba berhenti...

Seluruh tubuh Gavin memancarkan aura bahaya, saat matanya menatap Zeline dengan dingin. Tatapan Gavin membuat Zeline merasakan bahaya mendekat.

'apa dia kelewatan batas?'

"Tommi? Pria yang kita temui di restoran? Mantan pacarmu?" Kata-kata Gavin diucapkan kata demi kata, nadanya dingin, seperti serigala yang akan meledak dengan amarah, sangat ingin menelannya.

Zeline sadar kembali dan membusungkan dadanya.

"Itu benar. Jika bukan karena untuk membuatnya marah, aku tidak akan tiba-tiba menikah."

"Jadi, kamu ingin mengingkari janjimu waktu itu?"

Gavin menatap Zeline dengan penuh perhatian, ingin melihat dari mata zeline saat dia mengatakan yang sebenarnya.

"Benar, aku tidak membutuhkanmu lagi, aku ingin bercerai." Zeline yang marah tidak memperhatikan perubahan pada ekspresi Gavin sama sekali. Kedua tangannya bertumpu di atas meja saat dia mengangkat kepalanya untuk menatap Gavin.

"Baiklah, seperti yang kamu inginkan."