webnovel

My Bittersweet Marriage

Aarhus. Tempat yang asing di telinga Hessa. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mengunjungi tempat itu. Namun, pernikahannya dengan Afnan membawa Hessa untuk hidup di sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang dicintainya di Indonesia. Seolah pernikahan belum cukup mengubah hidupnya, Hessa juga harus berdamai dengan lingkungan barunya. Tubuhnya tidak bisa beradaptasi. Bahkan dia didiagnosis terkena Seasonal Affective Disorder. Keinginannya untuk punya anak terpaksa ditunda. Di tempat baru itu, Hessa benar-benar menggantungkan hidupnya pada Afnan. Afnan yang tampak tak peduli dengan kondisi Hessa. Afnan yang hanya mau tinggal dan bekerja di Denmark, meneruskan hidupnya yang sempurna di sana. Kata orang, cinta harus berkorban. Tapi, mengapa hanya Hessa yang melakukannya? Apakah semua pengorbanannya sepadan dengan kebahagiaan yang pernah dijanjikan Afnan?

IkaVihara · Urbano
Classificações insuficientes
10 Chs

LIMA

Hessa menarik salah satu bajunya, lalu berusaha berdandan secepat yang dia bisa. Semoga Afnan tidak menjemputnya lebih cepat dan tertangkap ibu Hessa. Sebab Hessa malu karena sudah mati-matian bilang tidak mau berkenalan dengan Afnan, tapi sekarang malah mau saat Afnan mengajaknya keluar.

Hessa tidak melihat ibunya ada di mana pun di rumah dan memutuskan menunggu Afnan di depan, setelah menempelkan pesan di pintu kulkas. Dia duduk di teras sambil main game untuk membunuh waktu. Atau membunuh rasa gugupnya.

Hessa menyerah dan meletakkan HP-nya begitu saja di meja, karena terus-menrus game over, susah konsentrasi.. This is very nerve-wracking.

"Apa batal saja, ya?" Hessa menggumam. Belum terlambat kalau mau mengirim pesan.

Bagaimana kalau Afnan mengajaknya bicara, seperti membicarakan cohousing dengan papanya dulu itu, dan Hessa sama sekali tidak mengerti? Obrolan macam apa yang akan keluar dari bibir orang pintar seperti Afnan?

Hessa melihat mobil Afnan tiba di depan rumah, dan langsung berdiri.

"Breathe and have fun, it's not that serious." Hessa menenangkan dirinya.

Hessa langsung mendekat dan masuk begitu mobil Afnan berhenti. Mereka harus cepat pergi dari sini sebelum mama Hessa melihat dan melepas kepergian mereka dengan karpet merah.

Afnan memandang Hessa dengan dahi bekerut.

"Ayo berangkat." Hessa menyuruh Afnan segera bergerak.

Hessa melepaskan napas lega ketika mobil Afnan bergerak menjauhi rumahnya. Hessa melirik Afnan yang tidak mengatakan apa-apa sejak Hessa seenaknya saja naik ke mobil, tidak memberi kesempatan Afnan untuk keluar terlebih dahulu.

Hessa menghitung sampai sepuluh, menunggu Afnan mengucapkan terima kasih karena Hessa meluangkan waktu untuknya. Tapi sampai Hessa menghitung hampir tiga puluh, Afnan tetap diam.

"Kamu sariawan?" Hessa bertanya dengan sebal. Dia masuk mobil bukan buat dijadikan patung.

"Nggak." Afnan menjawab, tidak melirik Hessa sama sekali.

"Sakit gigi??"

"Kenapa? Pipiku bengkak, ya?"

"Jangan diem saja, dong. Kasih tahu kek kita mau ke mana." Hessa semakin kesal karena sindirannya tidak mempan untuk Afnan. Hilang sudah rasa gugupnya, berganti dengan rasa sebal memuncak sampai ubun-ubun.

"Aku nggak tahu kita mau ke mana."

"Tadi kamu bilang mau beli sesuatu." Hessa tidak sabaran mengingatkan Afnan.

"Aku mau beli koper. Di mana belinya?"

Hessa menoleh ke arah Afnan, tidak percaya orang ini tidak tahu di mana beli koper.

"Di mal." Hessa menjawab.

Ah, Afnan menyadari kebodohannya. Tentu saja mal adalah solusi untuk semua masalah orang di sini. Makan, beli baju, grocery shopping, beli mobil, mencari peralatan rumah tangga, tempat bermain anak, kamar mandi, dan segalanya bisa ditemukan di mal.

"Mal yang mana?"

Hessa mendecakkan lidahnya, menunjukkan jalan.

"Jangan marah-marah, Hessa. Aku ngajak kamu kan karena aku nggak tahu. Kalau tahu aku pergi sendiri."

Hessa langsung patah hati mendengar alasan Afnan mengajaknya pergi. Dia pikir tadi Afnan hanya basa-basi mengajaknya membeli sesuatu, padahal tujuan sebenarnya ingin jalan dengannya. Getting closer. Tapi Afnan benar-benar mengajaknya membeli sesuatu. Literally.

"Kenapa aku?" Seperti tidak ada orang lain yang bisa diajak saja.

"Aku cuma kenal kamu."

"Kita ini nggak saling kena.!" Hessa menyanggah pernyataan Afnan.

"Kamu yang nggak mau diajak kenalan."Afnan tidak mau kalah.

"Kenapa kamu harus kenalan sama aku?"

"Karena aku tertarik sama kamu." Jawaban Afnan membuat Hessa mengerang dalam hati.

"Kenapa tertarik?" Hessa meneruskan permainan kenapanya.

"Memangnya selama ini nggak ada laki-laki yang tertarik sama kamu?" Afnan balik bertanya.

"Ya banyak." Mana boleh dia meremehkan Hessa.

"Jadi kenapa kamu heran kalau aku tertarik sama kamu? Itu wajar saja, kan?" Afnan berbelok menuju mal yang dimaksud Hessa.

"Kan harus ada alasannya." Hessa gemas sekali.

"Kamu pernah tanya para laki-laki yang tertarik sama kamu? Apa alasan mereka?"

"Ya macam-macam."

"Alasanku sama dengan mereka." Afnan mencari spot untuk parkir.

"Mana bisa begitu?" Hessa tidak terima perdebatannya hanya mendapat hasil seperti itu.

"Mau apa lagi? Itu basic instinct laki-laki." Afnan memarkir mobilnya dengan sempurna.

"Apa laki-laki selalu bisa tertarik dengan wanita hanya dengan sekali lihat?" tanya Hessa sebelum membuka pintu.

"Ya," jawab Afnan.

"Apa kamu tertarik sama wanita itu?" Hessa menunjuk wanita yang berjalan dari arah berlawanan.

"Iya." Afnan menjawab dengan santai.

"Karena?"

"Her boobs."

Hessa menoleh ke arah Afnan, sudah siap tertawa kalau Afnan memang bercanda. Tapi tidak. Wajah Afnan serius dan tidak terlihat sedang bercanda.

"Mesum!" Hessa mengolok.

"Mau bagaiimana lagi? Yang menarik dan gampang dilihat darinya memang hanya itu. Kamu berharap aku menjawab karena dia baik? Kan aku nggak tahu."

Hessa tahu dia tidak akan menang berdenat di bagian ini. Wanita yang tadi memang dadanya besar.

"Terus aku...." Hessa bingung bagaimana menanyakannya. "Yang bikin kamu tertarik sama aku." Akhirnya Hessa bisa merangkai kata dengan baik.

"Karena kamu cantik."

Hessa batal mendebat Afnan, pipinya terasa panas, walaupun AC di mal dingin.

"Fisik terus ya" Hessa menjawab saat sudah bisa menguasai dirinya sendiri.

"Itu yang kelihatan. Mana aku bisa tahu kalau kamu dermawan, rajin menabung, membantu ibu, kalau belum mengenalmu?"

Hessa menepuk keningnya. Dasar orang ini bisa sekali menguji kesabaran. Terlalu frontal dan logis, tidak ada manis-manisnya.

***

"Yang ini saja." Afnan menunjuk koper merah, mirip dengan miliknya, hanya beda strip hitam di tepinya.

"Sudah dibilang aku nggak perlu koper baru, kenapa buang-buang uang?" Hessa berusaha membuat Afnan membatalkan sebelum membayar.

Afnan tidak mau mendengar protes Hessa, menyelesaikan transaksi dan menitipkan dua koper itu kepada wanita yang membungkus koper mereka tadi. Sementara itu Afnan masih akan keliling untuk membeli barang-barang lain.

"Itu buat kamu. Hadiah perkenalan," kata Afnan.

"Hadiah pekenalan kok koper?" Hessa menggumam.

"Mumpung diskon."

"Dasar pelit." Hessa mendengus.

Afnan memutuskan membeli dua koper hanya karena ada diskon tiga puluh persen untuk setiap pembelian dua barang. Lalu Afnan memberikan salah satu koper kepada Hessa.

Hessa menubruk punggung Afnan saat laki-laki itu tiba-tiba berhenti. Langkah Hessa tertinggal karena kebanyakan melamun. Hessa mengusap-usap hidungnya.

"Makan di sini saja." Afnan langsung masuk dan Hessa tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti Afnan.

"Kenapa kamu cemberut?" Afnan mengamati wajah Hessa.

"Tauk. Pikir sendiri, deh." Hessa kesal setengah mati . Apa susahnya menanyakan Hessa terlebih dahulu mau makan di mana, ingin makan apa. Bukan seenaknya memutuskan. Sudah ditemani ke sini juga.

Afnan diam dan memilih makanan yang akan dimakannya siang ini. Jelas Afnan akan makan nasi dan makanan-makanan tanpa susu. Di Denmark, sepertinya semua makanan dimasak dengan susu.

Hessa mengamati Afnan yang sedang menerima telepon, berbicara cepat dengan bahasa yang belum pernah didengar Hessa.

"Apa kamu bisa bahasa asing?" Setelah selesai, Afnan menanyai Hessa yang sedang melamun.

"Sedikit. Dulu pernah les bahasa Prancis."

"Kenapa pilih bahasa Perancis?"

"French is romantic." Menurut Hessa bahasa Prancis itu romantis.

"Hmmm ... let me see. French? Cuma ada satu yang menarik dari itu."

"Apa?" Hessa memandang Afnan penuh rasa ingin tahu.

"It's kiss." Afnan menjawab setelah makanan mereka datang.

"Maksudnya?" Hessa tidak mengerti.

"French kiss."