Buyaf, 28 Slevatyan.
Setelah menemani kakak malam itu, aku membiarkan kakak tidur seorang diri di dalam kamar, sedangkan aku masih menonton TV dan juga membaca pesan-pesan dari klub biologi. Tidak ada hal yang aku mengerti dari pembahasan di pesan grup tersebut, lagipula aku hanya menumpang nama saja pada klub itu dan beruntungnya juga ketua klub biologi cukup baik padaku.
"Prakiraan cuaca besok akan siang berawan...." Sekiranya itulah perkataan pembawa berita tengah malam yang sedang ku lihat.
"Cerah... cerah... kemarin bilang cerah ternyata hujan deras." Kataku yang langsung mematikan TV.
Walaupun kemarin aku sempat kehujanan dan juga tas berserta isinya juga kebasahan, namun untungnya tidak terlalu parah. Buku-buku yang basah karena terkena rembesan, sudah aku keluarkan dan juga aku biarkan berjajar di ruang keluarga dan juga tas yang basah ini aku biarkan dalam keadaan terbuka pula, yah berharap saja pagi nanti tidak lembab, lagipula hari ini, merupakan hari terakhir sekolah sebelum liburan musim panas lusanya nanti.
"Ah...." Aku berbaring di lantai, yang telah dilapisi dengan sebuah tikar yang dibuat dengan jerami yang ditenun secara tradisional, yang membuat lantai yang terbuat dari ubin atau keramik yang dingin itu, menjadi tidak terasa.
Kataku, "dulu sebelum pindah, saat masih tinggal di desa, aku selalu menyempatkan waktu liburan musim panas untuk mengunjungi festival musim panas berdua, bersama kakak."
"Jadi teringat dimana kakak berhasil memenangkan permainan lempar bola, lalu dia mendapatkan boneka beruang, tapi sayangnya boneka itu hilang di keramaian. Dia menangis di tengah-tengah ramai orang.... Bukan dia yang malu tetapi malah aku yang malu karena aku ada bersamanya saat itu."
Setelah itu aku pun tertidur.
Teeett...!!! Teett...!!
Seseorang menekan tombol bel berkali-kali yang ada di depan kamar dan suara itu membangunkan aku.
Bel yang disediakan untuk setiap kamar untuk memberitahukan penghuni kamar tersebut bahwa kedatangan tamu, itu ide kakak untuk menambahkan bel pintu.
Aku melihat jam dinding yang sejajar dengan TV. Kataku, "Astaga! Baru jam setengah lima...?! Siapa yang tekan bel pagi-pagi begini...?!"
Aku pun beranjak dari tempatku berbaring lalu berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara gaduh yang dapat membangunkan kakak dari tidurnya. Perlahan aku membuka pintu tengah, pemisah ruangan keluarga dengan bagian depan. Seminimal mungkin aku usahakan tidak ada suara sama sekali, namun bukan karena tidak ingin membangunkan kakak, melainkan agar orang yang di luar kamar itu tidak menyadari kehadiranku.
Dari lubang kecil yang ada di pintu depan, aku mengintip dari lubang tersebut.
"Wa-wa-wanita...?!"
Seorang wanita yang terlihat sudah dewasa, memakai kemeja putih dan juga memegang sepatu hak tinggi ditangannya.
Kataku dalan hati, "kalau tidak salah... dia penghuni kamar sebelah deh..!? Tapi rasanya kurang yakin. Apa aku harus membangunkan kakak....?"
"Tidak.... tidak... jangan membangunkannya hanya karena persoalan ini saja! Lagian juga ini masih terlalu pagi untuk membangunkannya."
Aku pun membuka kunci lalu barulah membuka pintu itu. Setelah melihatnya secara keseluruhan, aku ingat bahwa memang wanita ini merupakan penghuni kamar sebelah, yang waktu itu sempat aku membantunya mengangkat barang-barangnya ke kamarnya.
Wanita itu kaget melihat aku dan aku pun tidak membuka pintu seluruhnya, hanya aku buka agar kepalaku bisa keluar sedikit dan melihatnya.
Kata wanita itu, "eto... eng.. maaf sudah mengganggu tidurmu." Dia berkata dengan malu-malu.
Kataku, "yah, tidak apa-apa." Lalu aku buka pintu itu cukup lebar, sehingga dia bisa melihat badanku yang aku sembunyikan di belakang pintu.
"Ada yang bisa aku bantu?"
Dia menjawab, "aku mau menitipkan kunci kamar." Lalu dia mengangkat kunci kamarnya setinggi dada.
Katanya lagi, "mungkin dua atau tiga hari, aku tidak akan pulang karena ada masalah di kantor. Jadi yah aku akan menginap di rumah teman kantorku. Daripada aku mengkhawatirkan kunci ini, aku mau menitipkan pada Ruri, tapi rasanya dia belum bangun."
Jawabku, "ya, kakak baru bangun nanti sekitar jam tujuh."
"Itupun aku pun yang membangunkan dia."
Kemudian aku mengambil kunci yang dia serahkan padaku dari tangannya. Lalu dia berkata, "oh begitu yah, mungkin aku yang terlalu memaksanya. Biasalah, pekerja kantoran memang begini, pergi sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Hahahaha."
"Kalau begitu, aku permisi dulu. Terimakasih!"
Lekas dari itu dia pergi dan aku menaruh kuncinya pada gantung kunci, sesuai dengan nomor kamarnya. Memang kakak menyediakan fasilitas berupa penitipan kunci kamar bagi para penghuni agar kelak ketika mereka sedang berpergian jauh dan lama, mereka tidak khawatir akan kehilangan kunci kamarnya.
Dan juga kalau mereka pergi jauh maupun lama sehingga berhari-hari kamar itu kosong, terkadang kakak masuk dan memeriksa kondisi dan keadaan kamar itu, selain itu kakak juga membersihkannya dan merapihkan kamar itu.
Karena itu pula, semua penghuni kos-kosan senang dan baik kepada kakak, kecuali kamar si kembar yang tidak terdengar kabarnya namun statusnya sebagai penyewa kamar masih tetap.
Setelah kembali dari urusan itu, aku sudah tidak bisa tidur kembali karena memang sudah pagi. Karena itu aku memilih untuk membereskan tas sekolah dan juga menyiapkan seragam sekolah.
Perlahan aku masuk ke kamar tidur, dengan membuka pintu kamarnya secara pelan-pelan. Kakak memiliki pendengaran yang lebih sensitif daripada aku. Ketika dia dalam keadaan bangun, dia bisa mendengar suara pintu depan yang terbuka, sedangkan dirinya sedang tiduran di tempat tidur dengan keadaan pintu tengah tertutup dan juga pintu kamar tidur tertutup.
Karena itu, ketika kakak sedang tidur, sekalinya dia mendengar suara yang cukup berisik, hal itu dapat membangunkannya.
Setelah mengambil seragam dan pakaian ganti, aku pun bergegas untuk mandi.
"Ha... seandainya ada pemanas air."
"Dinginnya...!!" Aku sudah selesai mandi.
Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku melihat kakak sedang menggosok gigi di wastafel atau wasbak nama lainnya yang jarang digunakan.
"Kakak... Kamu sudah bangun?!" Aku cukup kaget karena jarang sekali kakak bangun sendiri kecuali terganggu saat dia tidur.
"Aku membangunkan kamu yah, kak?"
Lalu dia membelakangi rambut sampingnya di belakang telinga lalu menoleh ke kiri, ke arah ku dengan mulutnya masih terdapat sikat gigi yang masih dia gerakkan.
Dia menyelesaikan urusannya itu dan membersihkan mulutnya, barulah dia berkata.
Katanya "tidak." Lalu dia mengeringkan bibirnya dengan bajunya.
"Aku teringat kalau mbak Azusa, sudah bilang kepadaku kalau dia mau menitipkan kunci kamarnya, karena ada urusan pekerjaan yang harus dia kerjakan itu."
"Azusa...? Maksud kakak penghuni kamar sebelah?" Tanyaku. Aku memang pernah membantunya dan tadi pun juga sempat berbicara dengannya, namun aku tidak begitu mengenal namanya.
"Iya, dia."
"Ah... kalau itu, tadi aku sudah menerima kuncinya. Sudah aku gantung kunci kamarnya di tempat kunci." Jawabku.
"Ya ampun. Dia bilang pagi-pagi mau menitipkan kuncinya, makanya aku bangun sebelum dia bangun. Ternyata malah keduluan...?!"
Kakak menghela nafas, "ya sudahlah, untungnya ada kamu."
Setelah itu dia kembali ke kamar tidur. Dia hendak menutup pintu kamar, namun sebelum ditutup dia berkata dengan suara yang sedikit keras.
Dia berkata, "aku mau ganti baju dulu, kamu jangan masuk dulu!" Barulah dia menutup pintu lalu menguncinya.
"Iya-iya.. tapi jangan lama-lama." Aku menunggunya.
Yah memang begitu kakak. Kalau dia hendak mau tidur, dia akan melepaskan pakaian dalamnya dan tidur hanya memakai kaos polos dan juga hanya memakai celana dalam dan pula, dia selalu memakai kaos yang berukuran besar, dengan alasan agar tidurnya nyaman. Meskipun begitu, aku sudah terbiasa dan dia juga sudah terbiasa, tetapi tidaklah ada timbul hal yang menyimpang diantara kami berdua.
Setelah dia memakai pakaiannya dengan benar barulah dia keluar. Rambutnya yang panjang itu, diikat dengan ikat rambut dan membentuk ikatan rambut ekor kuda, seperti itulah nama modelnya.
Katanya, "siang nanti aku ada urusan sekitar jam sepuluh, aku diminta temanku untuk datang ke rumahnya. Mungkin aku bakal pulang malam, jadi nanti aku akan meninggalkan makan malam untukmu."
"Oh iya, nanti aku akan dijemput olehnya juga, jadi jangan khawatir."
"Iya."
"Ngomong-ngomong teman kakak yang mana?"
Dia membuka kulkas dan mengeluarkan telur dan susu, serta juga daun bawang.
Dia melirik ke arahku, "kamu ingat, kan temanku yang pernah datang ke sini beberapa waktu lalu?"
Aku ingat sekitar dua bulan lalu, ada seorang teman kakak, teman kuliahnya dulu yang aku tidak tahu namanya, datang ke sini dengan membawa pastel berisi kue kering.
"Ah... teman kakak yang perempuan itu?" Tanyaku memastikan. "Yang dua bulan lalu datang ke sini?"
"Iya!" Katanya sambil mencuci daun bawang itu.
"Katanya sih, dia meminta tolong padaku untuk mendekor ruangan rumahnya untuk dijadikan tempat perayaan ulang tahun adik perempuannya, kalau tidak salah nama adiknya itu Yuriko, kalau tidak salah."
Setelah kakak membuatkan sarapan untuk dirinya dan juga diriku, aku menghabiskan telur dadar yang dibuatnya dengan dua lembar roti yang tersisa.
"Tumben kali ini tidak keasinan. Biasanya juga keasinan kalau bikin telur." Kataku. "Kalau begini kan, tiap hari aku mau dibikin telur dadar buatan kakak."
"Kamu yah!"
Tiap-tiap hari, aku yang membuatkan sarapan pagi dan ketika makan malam, giliran kakak yang memasak, kesepakatan itu sudah aku dan kakak lakukan sejak kami pindah ke tempat ini.
"Ohya, hari ini kan aku akan pergi, kamu mau aku tinggalkan makan malam apa?" Tanya kakak.
"Apa saja, asalkan bukan makanan kering, mungkin sesuatu yang berkuah."
"Oke!"
Sekitar jam tujuh lewat, aku pun sudah memakai seragam dan juga merapihkan tas sekolah dan isinya, memang tas sudah kering namun buku-buku lainnya sedikit rusak karena basah. Buku-buku itu masih aku bentangkan di ruang TV, menempel pada tembok kanan.
"Aku berangkat!!"
"Iya! Hati-hati di jalan!" Kata kakak yang sedang memegang sapu. Yah memang rutinitas dia sebagai pemilik kos-kosan ini, dia memberikan pelayanan sederhana berupa membersihkan bagian depan tiap kamar dari daun-daun yang jatuh tertiup angin, karena di sebelah kiri gedung kos-kosan itu, terdapat sebuah pohon besar namun letak pohon itu, berada diluar area kos-kosan atau diluar tembok pembatas, di halaman rumah seseorang.
Tidak hanya itu, pelayanan sederhana yang kakak berikan pada penghuni yang lainnya, juga membersihkan bagian dalam kamar mereka dengan sukarela, juga kakak menerima jasa cuci pakaian mereka, sebab kadang ada yang tidak sempat mencuci meski sudah disediakan mesin cuci. Jadi kakak hanya perlu mencuci dan juga menjemurnya di halaman depan, yang berupa lahan tanah kosong yang memang tersedia untuk menjemur pakaian dan juga tersedia jemurannya.
Ketika aku baru saja keluar dari kamar dan berjalan beberapa langkah, aku berpapasan dengan seorang perempuan lain dari lantai atas. Rambutnya berwarna merah muda, memakai kaos putih dan juga memakai celana pendek, dia memegang sekeranjang pakaian yang hendak dia jemur.
Ketika dia melihatku, dia langsung menyembunyikan pakaiannya itu dan berkata, "pa-pagi."
Aku hanya mengangguk kepala sekali dan tersenyum padanya lalu berjalan pergi. Wajahnya memang cantik, bahkan seluruh siswi di kelasku, tidak ada yang secantik dia, tapi yah memang aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dengannya.
Ketika aku meninggalkannya, perempuan itu berkata, "aku lupa kalau ada laki-laki ditempat ini."
"Siapa yah namanya?"
Yah seperti biasa aku berjalan kaki ke sekolah, karena sepedaku, sedang rusak dan aku malas untuk memperbaikinya. Meksi kakak sudah memarahi aku untuk memperbaiki sepeda yang rusak itu, selain rantai yang yang putus juga ban bagian belakangnya pecah karena sudah botak tetapi terus aku pakai melaju.
Makanya, aku berangkat ke sekolah sekitar jam tujuh walau sekolah swasta itu masuk jam setengah delapan, aku masih ada waktu sekitar setengah jam yang aku habiskan untuk di perjalanan.
Sekolah itu tidak banyak muridnya dan besar juga sekolahnya serta tidak begitu lengkap fasilitasnya jika dibandingkan sebuah sekolah yang sangat bergengsi yang letaknya tidak jauh dari sini juga. Yah seperti langit dan tanah antara sekolah itu dengan sekolahku.
"Tolong buka tasmu!" Kata seorang siswi yang menjadi anggota komite kedisiplinan.
Yah begitulah ketika masuk ke sekolah ini, sekiranya ada enam sampai tujuh anggota komite kedisiplinan yang berjaga untuk memeriksa isi tas setiap murid.
Mereka akan memeriksa barang-barang yang hendak dibawa masuk ke lingkungan sekolah, jika mereka menemukan barang yang tidak ada hubungannya dengan sekolah, mereka akan menyita barang selama tiga hari. Sebelum menyita, mereka memberikan surat peringatan kepada murid tersebut berupa hari dan tanggal disita, barang yang disita serta hari dikembalikannya barang itu.
Surat itu yang akan dipegang oleh murid yang barangnya disita, untuk ketiga hari kemudian, dia menebus barang itu dengan surat tersebut. Namun jika ketahuan barang-barang yang memang tidak pantas, selayaknya buku porno, tidak hanya disita, komite kedisplinan akan membakarnya.
"Memang kejam!! Apa salahnya buku porno???" Ucapku dalam hati.
"HEI! Kamu dengar tidak!?" Bentak siswi itu sebab aku melamun.
"Iya-iya!" Setelah menunjukkan isi tas dan dia memeriksanya dan tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan, barulah aku bisa masuk ke lingkungan sekolah.
Aku tahu itu tidak efektif karena ada beberapa tas, yang memiliki 'tempat' tersembunyi di dalam tas mereka dan hanya pemilik tas tersebut yang mengetahuinya. Oleh karena itu, terkadang masih saja suka ditemukan barang-barang yang lewat dari pemeriksaan ini rutin, setiap hari ini.
Sebelum sampai di kelas, aku jadi teringat perempuan kemarin yang memakai seragam yang sama denganku, tetapi tidak aku jumpa dengannya.
"Mungkin dia sudah ada dikelasnya, mungkin juga dia belum datang." Ucapku dalam hati.
Aku naik ke lantai dua, lalu membuka pintu kelas dan berjalan masuk ke tempat dudukku.
Tidak lama aku duduk, Rio langsung menghampiri aku, kemudian dia duduk di mejaku, kebiasannya.
Katanya, "selamat pagi...!"
"Iya pagi." Jawabku.
"Ohya, kemarin kau pulang kehujanan yah?" Tanya Rio.
Aku langsung melirik. "Darimana kau tahu?"
"Habisnya..." Dia turun dari meja. "Kemarin kau bilang mau pulang, kan? Tidak lama hujan lagi."
"Untungnya aku masih main kemarin." Katanya. "Baru deh setelah hujan berhenti, aku baru pulang."
"Ha... prakiraan cuaca belakangan ini mulai tidak akurat, bilangnya akan cerah malah hujan. Nanti bilangnya akan hujan malah cerah."
"Yah namanya juga prakiraan. Hanya kira-kira, prediksi."
Kata Rio, "nanti malam kau ada rencana?"
"Entahlah, tapi pulang sekolah nanti, klub biologi minta untuk berkumpul di ruang klub."
"Haaa??? Sejak kapan kau tertarik dengan klub itu?"
"Hahahahaha....!!" Dia tertawa sampai lega. "Lagian kan kau hanya numpang nama saja, numpang nilai saja di klub itu. Sejak kapan kau peduli dengan klub itu?"
"Aku dipaksa oleh ketuanya. Dia sudah mengizinkan aku, jadi ketika dia meminta aku untuk datang, ya aku harus datang."
"Ya sudahlah..."
"Nanti malam kalau kau tidak ada rencana, hubungi aku."
Setelah itu kami pun belajar seperti biasa sampai siang hari.
Ada sebuah hukum waktu yang bekerja di sini. Kami, sebagai manusia memiliki waktu yang sama.
Satu menit setara enam puluh detik. Satu jam setara enam puluh menit. Satu hari setara dua puluh empat jam. Satu minggu setara tujuh hari. Satu bulan setara tiga puluh hari. Satu tahun setara dua belas tahun.
Kami bekerja dan belajar, selama enam hari lamanya, mulai dari Yippnu sebagai hari pertama, lalu Lepip, Lecala, Hatu, Rayil dan Buyaf. Enam hari lamanya kita bekerja.
Sedangkan hari terakhir, yakni Laftu, merupakan hari istirahat atau libur. Hukum waktu ini diterapkan di seluruh dunia, semua negara memakai hukum waktu ini.
Saat siang hari, sekitar setengah dua belas, waktunya istirahat. Seperti biasa, aku pergi ke kantin untuk membeli makanan ringan, yah seperti risoles atau pastel yang isinya wortel dan kentang.
"Aku mau ini satu!"
"Aku mau ini satu!"
Secara bersamaan aku mengucapkan kalimat yang sama dengan seorang siswi yang berdiri di kiriku dan juga gerakan tangannya sama, menunjuk pada risoles yang tinggal satu itu.
Aku langsung menoleh, demikian pun juga dia. Mata kami saling bertemu dalam pandangan tersebut, yang membuat kami terdiam sejenak.
Ketika kami melihat piring dibalik kaca etalase itu, risoles yang kami mau sudah tidak ada. Satu-satunya risoles itu sudah diambil dan diberikan kepada seorang pembeli yang lain.
Kata penjual itu, "risolesnya sudah habis, kalau mau besok lagi. Tapi cepat-cepat kalian belinya sebelum kehabisan lagi." Pria itu tersenyum. "Selain risoles itu, kau mau beli apa?"
Kataku, "tidak jadi." Lalu aku berpaling dari penjual itu.
Aku dengar kalau perempuan itu malah membeli roti melon.
Siang harinya, sekitar jam satu siang, seluruh murid diminta untuk ke gedung serbaguna yang ada sebelah kiri gedung sekolah sebab kepala sekolah ingin menyampaikan pengumuman kepada seluruh murid dan juga kepada seluruh guru bahkan seluruh pekerja yang ada di sekolah itu.
Rio berkata, "libur...!! Libur...!! Libur....!" Dia tampak kegirangan sembari menari kecil.
"Liburan nanti kau ada rencana?"
"Belum sih, mungkin juga seperti biasanya, jalan sama kakak."
Rio mendorong bahuku sedikit, "kak Ruri...?! Ajak aku dong kalau kamu pergi sama dia."
"Kamu lupa kejadian itu?"
Saat kelas satu, aku sudah berteman dengan Rio, namun butuh waktu lama sampai aku dengan Rio bisa dikatakan menjadi teman. Yah, tidak wajar juga awal pertemanan kami, dimulai ketika Rio belagu menantang kakak kelas, satu klub basket juga untuk bertanding basket tiga lawan tiga, namun dia hanya sendiri saja karena tidak ada yang berani melawan senior itu dalam pertandingan basket.
Karena di kelas ada sub materi basket pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan kebetulan pula aku bisa menggiring bola basket, Rio menarik aku dengan seorang yang lain untuk bertanding. Tentunya kami kalah telak melawan mereka.
Namun dari kekalahan itu, Rio jadi sering berbicara denganku, yang mulai awal topik pembicaraannya mengenai basket, lama kelamaan, kami jadi terbiasa dan membahas hal yang tidak penting sekalipun.
Suatu ketika, Rio main ke kosan dan bertemu kakak, awalnya mereka tampak biasa-biasa saja, Rio dan kakak saling ngobrol dengan normal.
Tapi lama kelamaan, Rio malah menggoda kakak dengan perkataannya yang membuat rasa trauma kakak kembali. Ketika rasa trauma itu kembali, kakak biasanya melampiaskannya dengan meminum alkohol dan ketika dia mulai mabuk, kakak memarahi Rio dengan sangat marah meski itu berada diluar kendalinya. Ketika marah, kakak cukup menakutkan.
Karena ulah Rio yang memancing rasa trauma itu kembali mencuat, akhirnya kakak marah tidak karuan karena kenangannya yang terakhir itu dengan pria yang sudah menyakitinya itu.
Rio tersenyum dan juga dia mengusap-usap kepala belakangnya.
"Aku lupa, meski dia cantik tapi menakutkan."
Di gedung serbaguna itu, terdapat sebuah lapangan voli dan juga lapangan basket yang garisnya hanya dibedakan dengan warna. Juga di salah satu sisinya terdapat juga sebuah panggung, sesuai namanya, gedung serbaguna.
Sudah tersedia puluhan hingga ratusan kursi yang sudah tersedia yang dibagi tiap kelas. Aku pun dan Rio duduk di kursi bagian kelasku deretan belakang.
Setelah semua orang sudah berkumpul, ketua OSIS pun naik ke atas panggung lalu menyampaikan beberapa kalimat pembuka, kemudian juga disusul oleh perwakilan murid.
Setelah semua itu, yang aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akhirnya tiba juga alasan kami dikumpulkan ditempat ini, ketika kepala sekolah naik ke panggung dan berdiri di belakang podium.
"...Sebagai agenda pendidikan sekolah ini, mulai lusa depan, tanggal tiga puluh bulan Slevatyan sampai tanggal tiga bulan Nasyan, akan dilaksanakan liburan musim panas...."
Sekilas aku mendengar itu dan langsung berbisik pada Rio, "libur sebulan?"
Ketika aku menoleh, Rio sudah sangat kegirangan. Ekspresi wajahnya tidak bisa mengelabuhi aku, dia sudah menahan mulutnya dengan menggigit bibirnya.
Jam tiga, kami semua sudah pulang ke rumah masing-masing, demikian pula Rio yang langsung kegirangan bahwa liburan musim panas kali ini sampai sebulan lamanya, yang biasanya hanya tiga minggu saja.
Sementara itu, aku sedang berada di ruangan klub biologi dengan lima belas orang lainnya, termasuk ketua biologi itu.
"Kamu!?"
"Kamu!?"
Aku menunjuk perempuan yang aku temui sebelumnya di kantin dan dia juga menunjuk aku.
Tidak bisa aku duga, bahwa aku akan bertemu dengannya lagi.
Kata perempuan itu, "sejak kapan kamu masuk klub biologi?"
Jawabku, "sejak awal, aku sudah bergabung."
"Hah?! Sejak awal? Tidak pernah aku melihat batang hidungmu di sini. Aku pun juga sejak awal aku sudah bergabung dalam klub ini, sejak kelas satu."
"Kelas satu?" Tanyaku dalam hati.
Lalu kataku padanya, "sekarang kamu kelas dua?"
"Ha...!?" Alisnya mendelik. "Kelas dua dari mana? Aku sudah kelas tiga!"
"Ke-ke-kelas... tiga? Senior...?!" Hatiku langsung terguncang.
"Gawat! Aku tidak bisa bedain antara kelas satu maupun kelas dua dan kelas tiga kalau bukan dari dasinya! Hari ini kan tidak pakai dasi!!"
Kata perempuan itu lagi, "lagipula sejak aku menjadi wakil ketua klub ini, aku tidak pernah melihatmu hadir setiap pertemuan klub!?"
"Wa-wa-wakil ketua???" Aku langsung menatap ketua yang sedang melihat ke arah kami.
Sedikit perbedaan kami, membuat kami menjadi pusat perhatian oleh semua orang yang hadir, mereka yang sedang berbincang satu dengan yang lainnya, menjadi terdiam hanya untuk melihat dan mendengar perbincangan antara aku dengan perempuan ini.
Perempuan itu mengeluarkan ponselnya dan berkata, "siapa nam—"
Sela ketua, yang namanya Takeshi. Katanya, "Yahh... Megumi, sudahlah, tidak perlu diperpanjang urusanmu dengannya lagi, kalau tidak, urusan klub tidak akan selesai."
"Kita hanya memiliki waktu sebentar saja untuk memakai ruangan ini, sudah sore soalnya." Takeshi mengambil ponsel Megumi dari tangannya.
"Tapi.... tapi... tapi....??!! Dia..." Megumi berusaha mengambil kembali ponselnya.
"Nanti saja, kasihan yang lainnya sudah lelah." Yang dimaksudnya anggota yang lain, terutama yang masih kelas satu.
Ketua Takeshi pun berbicara di depan.
"Sehubungan dengan pengumuman yang disampaikan kepala sekolah mengenai liburan musim panas kali ini, yang lebih lama dari tahun sebelumnya, akan ada beberapa hal yang jadi fokus utama pertemuan kita kali ini."
"Sebelum kita mulai, siapa dari kalian, yang sudah ada rencana liburan musim panas kali ini? Silahkan mengangkat tangan."
Dari dua belas orang lainnnya, selain aku, Takeshi dan Megumi. Terdapat empat orang, tiga perempuan dan satu laki-laki yang mengangkat tangan.
Takeshi menunjuk salah satu dari perempuan itu dan berkata, "rencana liburanmu apa dan tanggal berapa rencananya?"
Perempuan itu berkata, "aku dan keluargaku akan keluar kota selama dua minggu. Besok kami pun sudah berangkat."
Lalu Takeshi menunjuk yang lainnya yang mengangkat tangannya.
Kata perempuan yang lain, "tanggal lima belas sampai delapan belas aku diajak pergi dengan temanku."
Dan dia menunjuk laki-laki itu.
"Aku dan keluargaku sebulan penuh keluar kota."
"Oke!" Jawab Takeshi.
Dalam hatiku, "jelas-jelas dia berbohong. Bisa-bisanya dia dan keluarganya liburan sebulan penuh, juga kali ini sekolah menambahkan liburannya tahun ini, apa itu suatu kebetulan? Rasanya tidak. Bagaimana jika liburan sekolah hanya seminggu, pasti dia dan keluarganya tidak akan berlibur selama sebulan."
"Yah tapi aku tidak boleh asal menuduh juga sih, mungkin saja benar."
Dan perempuan yang terakhir menjawab, "aku ada janji dengan temanku pada tanggal tujuh nanti."
"Oke! Terimakasih sudah berbagi jadwal liburan kalian."
"Asal kalian tahu saja, alasanku bertanya mengenai hal itu, karena kita sebagai klub biologi, punya kebun, kan?" Takeshi tersenyum.
"Jadi aku harap, jikalau kalian memang tidak ada rencana liburan, tolonglah kita rawat kebun kita, agar ketika kita masuk kembali, tanamannya tidak mati."
"Siapakah yang bersedia datang ke sini untuk merawat tanamannya?"
Delapan orang sisanya yang tidak memiliki rencana liburan kali ini, tidaklah ada dari mereka yang mengangkat tangannya.
"Siapapun?"
"Tenang saja, aku pun juga tidak ada rencana tahun ini mau berlibur kemana, jadi aku ada di rumah dan sesekali, mungkin juga setiap pagi aku ke sini lalu pulang dan sorenya aku kembali lagi lalu pulang."
"Yah kalian tahu kan, tanamannya banyak juga kita ada ikan disini yang harus diberi makan. Yah tidak harus setiap pagi dan sore juga sih."
Di ruangan klub ini, di laboratorium biologi, kami menempatkan sebuah akuarium berukuran sembilan puluh sentimeter kali empat puluh sentimeter kali lima puluh lima sentimeter, yang berisi beragam ikan-ikan air tawar.
Walaupun ketua sudah mengajukan dirinya terang-terangan agar bisa datang ke sekolah selama sebulan ini, namun dari mereka tidak ada yang mengajukan diri mereka, namun jangan berharap padaku, seorang yang hanya menumpang nama saja.
Hingga ada seorang siswa mengangkat tangan dan berkata, "aku mau deh ketua, tapi selang-seling harinya, aku hanya mau ke sekolah tanggal genap saja."
"Ha...???! Kenapa begitu??!"
"Tapi ya sudahlah tidak masalah, yang penting kamu sudah mau membantuku."
Sebelumnya, aku diminta secara langsung oleh ketua untuk datang, karena dia berkata ada pembahasan penting pada pertemuan kali ini. Yah memang menurutnya penting jika jabatannya sebagai ketua di klub biologi.
Sekolah ini, memiliki sebuah lahan tanah yang ditanami beberapa bunga-bunga dan juga beberapa tanaman seperti cabai, tomat dan beberapa sayuran serta buah-buahan yang ditanam dan dipelihara oleh klub biologi.
Hampir jam lima sore, Takeshi, kakak kelasku, sudah mengumpulkan orang-orang yang mau rela hati mengajukan dirinya datang ke sekolah selama liburan nanti.
Selain ketua dan seorang laki-laki lainnya, terdapat juga tiga perempuan lainnya yang juga rela untuk datang ke sekolah baik pagi maupun petang untuk menjaga setiap tanaman di sekolah ini, karena tidak adanya tenaga kerja yang bertugas memelihara setiap tanaman dan pohon yang ada.
Setelah itu kami pun membubarkan diri dan pulang masing-masing ke rumahnya. Ketika aku mau keluar dari ruangan tersebut, aku langsung dicegat oleh ketua klub biologi itu.
"Tunggu, Megumi mau berbicara denganmu."
Setelah berdebat cukup lama antara aku dengan Megumi, dia kesal dan marah sekali padaku karena aku ketahuan hanya numpang nama saja pada klub biologi, tidak pernah hadir pertemuan dan juga tidak pernah ikut campur urusan klub.
Megumi berkata, "astaga!! pantas saja semuanya tampak heran tiba-tiba ada kamu hari ini!"
"Maafkan aku, senior!"
"Tidak masalah..."
Lekas dari itu, tidak ada hal lain yang dibicarakan, barulah kami pulang.
"Ketua, memangnya sekolah tetap buka saat liburan nanti?" Tanyaku pada Takeshi.
"Ya tentu saja, beberapa pengurus sekolah tetap datang. Hanya saja kelas-kelas tidak dibuka pintunya." Jawab ketua Takeshi.
Aku lihat pun, Takeshi mengambil sepeda dan juga Megumi berdiri di belakangnya, dia memboncengi Megumi.
Ketika aku dalam perjalanan pulang, aku mencoba menghubungi kakak.
"Halo, ada apa?" Tanya kakak.
"Halo, kakak ada dimana sekarang?"
"Kan sudah aku bilang kalau aku akan ke rumah temanku. Lagipula, ada apa?"
"Eng... Rio mengajakku keluar malam ini." Padahal aku tidak tahu apa yang direncanakan Rio, dia hanya meminta untuk menghubunginya.
"Rio..?? Ah oke! Tapi kamu harus pulang sebelum jam dua belas yah!"
"Sudah dulu yah, temanku memanggil." Lalu dia mematikan panggilan itu.
Selepas dari itu, sampailah aku di rumahku ini. Aku lihat pula perempuan yang hendak menjemur pakaiannya pagi tadi, sekarang sedang mengangkat jemurannya itu yang sudah kering.
Dengan kunci duplikat, aku membuka kamar.
"Aku pulang!"
Baru saja menutup pintu dan membuka sepatu, bel kamarku berbunyi.
"Hah....?!" Aku pun berbalik lalu membuka pintu.
Perempuan itu yang sudah selesai mengambil pakaiannya yang sudah kering, dialah yang berdiri di depan pintu dan juga dialah yang menekan bel itu.
"Tadi ada seorang perempuan yang mencari kakakmu, Ruri. Kebetulan pula aku baru kembali dari minimarket sekitar jam satu siang tadi."
Langsung terlintas dipikiran yakni teman kakak yang hendak menjemput kakak tetapi aku keliru karena kakak bilang jam sepuluh temannya mau menjemputnya.
Sambungnya, "katanya sih, dia sudah cukup lama menunggu."
"Yah untungnya pula, sebelum Ruri pergi, dia menitipkan pesan untukku agar aku yang menjadi penanggung jawab sementara kos-kosan ini."
"Siapa dia?" Dalam hatiku.
"Yah aku kasih tahu dia saja kalau Ruri sedang keluar. Lalu setelah itu barulah dia pamit pulang. Aku lihat sih, dia memegang sebuah tas bingkisan."
"Siapa namanya?" Tanyaku.
"Aku tidak tahu. Kalau begitu, permisi dulu.". Lalu dia berjalan dan menaiki tangga.
Lalu aku menutup pintu dengar perlahan.
"Kalau bukan teman kakak, lantas siapa perempuan itu? Kan tidak mungkin perempuan yang waktu itu."
Namun otakku terus saja memikirkan perempuan itu, ketika kami berteduh sampai dia makan malam bersama. Aku terus menerus memikirkannya, karena aku menduga kalau yang datang itu dia.
"Aduuhhh!!!" Aku menggaruk kepala dengan keras, karena aku kesal dengan pikiranku sendiri yang memikirkan perempuan itu terus.
Berkali-kali aku coba menghubungi kakak, tetapi tidak dijawab.
"Yah sudahlah, mungkin setelah mandi kakak akan menelepon balik."
Tetapi tidak juga kunjung datang panggilan dari kakak.
Setelah mandi, malahan Rio yang menelepon aku. Dia berkata akan datang menjemput aku.
Kataku, "tapi sebelum jam dua belas malam, aku sudah harus pulang."
Jawab Rio, "Tenang saja, jam sembilan juga sudah pulang. Pakai pakaian yang rapih. Aku sedang di jalan."
Lalu dia mematikan panggilan itu.
Sekitar jam enam, setengah jam sejak terakhir panggilan Rio. Akhirnya dia datang dengan mengendarai sebuah motor bebek yang terparkir di pinggir jalan, di luar area kos-kosan.
Rio berkata, "ayo kita sudah ditunggu, yang lain."
Aku sedang memakai sepatu, "yang lain? siapa?"
Setelah itu, aku dibonceng oleh Rio, ke tempat temannya yang lainnya, yang sudah ada beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal, lagipula mereka semua tidak ada yang satu sekolah denganku dan Rio.
Rio berkata kepada mereka, "kenalkan ini teman sekolahku."
Aku pun menyalami mereka satu persatu. Ada satu laki-laki dan dua perempuan juga.
Selepas dari berkenalan dengan mereka, salah seorang perempuan memesan taksi online dan barulah kami belima menuju tempat yang akan kami tuju.
Salah seorang perempuan, yang namanya Jesika, bertanya kepada Rio, "ih kamu malah mengajak laki-laki, kamu tidak ada teman perempuan kah?"
Jawab Rio, "ada tapi aku lebih pilih mengajak temanku yang satu ini."
"Lagipula kalau aku ajak perempuan, nanti kamu malah cemburu."
"Ish!!"
"Tapi tidak apalah, temanmu oke juga tampilannya."
Aku yang duduk di kursi depan, di sebelah pengemudi, lalu di kursi tengah kedua perempuan dan yang paling belakang Rio dengan temannya itu.
Ya itu karena aku memakai kemeja berpola kotak berwarna cokelat dan juga celana jeans serta memakai sepatu dan pula aku memakai minyak rambut, ya karena Rio yang memintaku untuk rapih.
Tibalah mobil yang kami tumpangi itu berhenti di depan sebuah tempat makan.
Setelah Rio perempuan itu yang memesan taksi tersebut, membayar seluruh ongkosnya aku merasa tidak enak karena tidak pernah aku dibayari sebelumnya oleh orang yang tidak aku kenal.
Kataku, "aku akan membayar punyaku sendiri."
Tetapi jawab Jesika, "nanti saja, sekalian pulangnya."
Setelah itu kami masuk ke sebuah tempat makan yang cukup mewah.
Rio berkata kepada seorang pelayan, "meja atas nama Mario."
Setelah itu pelayan tempat makan itu membawa kami menuju salah satu sudut tempat makan itu.
Rumah makan itu, sedang ramai dengan pengunjung, hampir setiap meja sudah terisi oleh para pengunjung.
Ada sebuah meja panjang yang sudah duduk sebelas orang dan mereka terlihat sudah dewasa, tujuh pria dan empat wanita.
Ketika kami sampai, berdirilah seorang pria dan berkata, "Rio.... duduk-duduk."
"Kalian temannya Rio yah?"
Kami pun mengangguk dan Rio berkata, "iya mereka temanku. Mereka bertiga teman les-ku sedangkan yang ini, teman sekolahku." Rio menepuk pundak kananku.
Kata pria itu, yang aku rasa namanya Mario, "oh begitu, okelah!! Duduk, lalu pesanlah makanan sesuka kalian."
Aku pun duduk diantara Jesika di kiriku dan Rio di kananku, di depanku laki-laki itu dan juga perempuan yang satunya lagi.
Aku berbisik pada Rio, "ini acara apaan?"
"Abangku, yang tadi namanya Mario. Hari ini dia merayakan keberhasilannya untuk usaha yang sedang dia bangun itu dan yang lainnya itu karyawannya."
"Lalu kenapa kamu ajak aku?"
Katanya, "dia mengambil paket untuk enam belas orang, tetapi dia hanya sebelas orang saja. Makanya dia meminta aku untuk mencari empat orang yang lain, karena itu aku ajak kamu dan temanku yang lain."
Setelah itu aku membuka buku menu dan memesan makanan, demikian pula yang lainnya juga memesan makanan.
Selagi Mario dan yang lainnya merayakan keberhasilan mereka, kami berlima hanya makan saja, menghabiskan segala sesuatu yang kami pesan.
Sekitar jam delapan lewat lima belas, piring-piring yang sudah kosong sudah diangkut oleh petugas kebersihan.
Rio berkata kepada Clarissa, teman perempuan yang lain itu, "terimakasih sudah menyempatkan diri untuk bisa datang."
Jawab Clarissa, "yah tidak masalah, lagipula kapan lagi kan aku bisa diajak makan gratis seperti ini?"
Rio hanya tertawa.
"Habis ini kita mau kemana lagi?"
Jesika berkata, "pulang."
Yah memang benar, ketika kami selesai makan, rombongan Mario pun juga sudah bersiap untuk pulang.
Kembali Jesika memesan taksi online dan kami pun kembali pada rumah awal kami bertemu, itu rumahnya Clarissa, yang ternyata tidak terlalu jauh.
Hanya lima belas menit dari kos-kosan ke rumah Clarissa dengan motor.
Sesampainya kami di rumah Clarissa, Jesika berkata kepadaku, "simpan saja uangmu, biarkan nanti kita bisa bertemu lagi."
Rio pun mengambil motornya lalu mengantarkan aku pulang. Tetapi dia tidak benar-benar mengantarkan pulang, melainkan kami menuju rumahnya.
Rio berkata, "ayo main dulu dua puluh poin."
Disamping rumah Rio, terdapat setengah lapangan basket, yang sengaja dibuat oleh ayah Rio untuk Rio karena dia tahu kalau anaknya gemar akan olahraga basket.
Kami pun bertanding satu lawan satu di sana. Meski sudah malam, namun lampu terang yang dipasang menyorot ke lapangan, membuat lapangan itu seakan siang hari, begitu terang lampunya.
Setelah Rio melempar bola itu lalu masuk dan genaplah skor pertandingannya menjadi dua puluh, sedangkan aku hanya enam belas.
Dia pun duduk di atas bola basket sedangkan aku duduk di atas beton yang menjadi alas lapangan tersebut.
Rio berkata, "ada yang mau aku bicarakan antar sesama laki-laki."
"Ya bicara saja, aku dengarkan."
Rio curhat beberapa hal, tetapi ada satu curhatannya yang paling penting yang aku respon.
"Ada seseorang yang aku suka di sekolah dan aku mau mengutarakan perasaanku kepada perempuan itu." Ujar Rio, "Namanya Miyazaki, aku mau menyatakan cintaku kepadanya."
"Miyazaki? aku tidak pernah tahu." Kataku. "Dia kelas berapa?"
"Kelas dua. Aku sudah cukup lama kenal sama dia dan sekarang aku mau menyatakan perasaanku ini. Aku mau kali ini cintaku diterima, tidak seperti sebelumnya yang selalu ditolak perempuan-perempuan itu."
Di saat Rio menyatakan perasaannya kepada seorang perempuan, dia selalu memberitahu kepadaku, bahkan hasilnya pun juga, meskipun dia ditolak perempuan-perempuan itu, dia tetap memberitahunya.
"Sudah berapa lama kamu dekat dengan perempuan itu?" Tanyaku.
"Yah, sekitar dua bulan lah."
"Uh lama juga. Biasanya juga antara dua minggu kalau tidak yang terakhir, lima hari berkenalan kamu langsung menembaknya." Kataku sembari ketawa-ketawa kecil.
"Nah! Karena sudah dua bulan aku dan kami juga sudah cukup saling mengenal, karena itu aku mau menyatakan cintaku. Tapi menurutmu, cara yang elegan agar cintaku berhasil diterimanya, dengan apa?"
"Kenapa kamu malah bertanya padaku caranya sedangkan aku pun tidak ada teman perempuan."
"Hadeh... Rio, mungkin kamu ajak dia kencan tanpa bilang ke dia itu kencan."
Setelah perbincangan itu, Rio menanyakan aku kencan yang baik seperti apa, ya tentu saja aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Karena hari sudah semakin malam, Rio pun mengantar aku pulang.
Katanya, "terimakasih sudah bermain denganku tadi dan juga mendengar curhatan aku."
"Ya! Aku juga mau terimakasih karena sudah mengajakku makan di tempat tadi. Enak-enak makanannya."
"Iya kapan-kapan kita makan disitu lagi, sama mereka bertiga lagi!"
Sesampainya di depan kos-kosan, Rio tidaklah mampir lagi karena sudah jam setengah sepuluh, dia memilih untuk langsung pulang.
Ketika aku masukkan kunci pintu ke lubangnya, tetapi tidak bisa seakan ada yang mengganjal.
"Mungkin kakak sudah pulang?"
Ketika aku membuka pintu, benar saja, lampu-lampu sudah menyala dan pintu tengah juga terbuka sedikit.
"Aku pulang."
"Selamat datang!!" Suara kakak dari ruang keluarga, kemudian aku lihat bayangannya yang berjalan menuju pintu itu. Dia membukanya dan berjalan ke arahku
Kakak berkata, "Kamu dari mana?"
Aku yang sedang membuka sepatu, berkata, "tadi diajak makan sama Rio. Abangnya Mario memesan tempat."
Aku jelaskan kepada kakak sama seperti Rio jelaskan padaku sebelumnya.
"Ah begitu?"
"Kak, tadi ada teman kakak yang mencari kakak." Kataku. "Tadi siang sekitar jam satu katanya."
"Jam satu? Aku saja sudah pergi jam sebelas."
"Siapa itu? Apa mungkin Miyazaki?"
Aku langsung menoleh ke arah kakak ketika mendengar nama itu.
"Mi-ya-za-ki?"
Kakak langsung menoleh ke arahku.
"Iya."