Kemarin Lova dan Aeden menghadiri acara pernikahan Oriel dan Beverly. Dan baru beberapa jam lalu mereka kembali dari hotel tempat merayakan pesta pernikahan Beverly dan Oriel. Sangat disayangkan oleh Dealova, salah satu sahabat baik Beverly tak ada disana untuk merayakan hari bahagia Beverly. Tapi, Lova mengerti keadaan Qiandra. Setelah kehilangan ibunya, Qiandra mana mungkin masih bertahan dengan Ezell.
Lova tak sering bertemu Qiandra tapi ia tahu bagaimana hari yang dilalui sahabatnya itu. Ia berpikir memang lebih baik Qiandra pergi.
Sejak beberapa hari lalu, Aeden sering menemani Ezell di club Zavier. Bahkan Oriel yang mempersiapkan pernikahannya juga ikut menemani Ezell atas nama persahabatan. Dari yang Lova tahu, bahwa Ezell mencari Qiandra ke seluruh penjuru negeri. Tapi Lova harus mengasihani Ezell, karena menemukan Qiandra mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun.
"Sayang."
Lamunan Lova buyar. Ia membalik tubuhnya, melangkah menjauh dari jendela kamarnya.
"Sudah mau berangkat meeting?" Tangan Lova merapikan dasi Aeden.
"Hm, sudah waktunya pergi."
"Baiklah. Hati-hati di jalan, dan pulang dengan cepat."
"Ya, Sayang." Aeden mengecup bibir Lova, "Tidak perlu mengantarku. Istirahatlah. Pesta pasti membuatmu lelah."
"Ya, Sayang."
Aeden pergi. Lova tak mengantar Aeden, tapi ia melangkah ke balkon untuk melihat mobil Aeden keluar dari kediaman itu.
Setelah memastikan Aeden pergi, Lova masuk ke dalam kembali. Dan ia memilih untuk berbaring di ranjang. Apa yang Aeden katakan memang benar. Ia lelah karena pesta semalam.
Ring,, ring,, ponsel Lova berdering. Ia segera meraih ponselnya.
"Ya, Sayang. Baru berpisah 10 menit dan kau sudah merindukan aku." Lova menggoda si penelepon.
Suara tawa terdengar dari seberang sana, alasan senyuman Lova terlihat makin mengembang, "Aku selalu merindukanmu meski itu hanya satu menit, Love. Tapi, alasan utamaku menelponmu adalah karena berkasku tertinggal. Bisa aku memintamu mengantarnya ke perusahaan, Love."
"Oh, tentu saja, Sayang. Dimana kau meletakannya?"
"Di dalam laci meja kerjaku."
"Baiklah. Aku akan segera mendapatkannya dan mengantarkannya."
"Sampai jumpa, Love. Hati-hati dijalan."
"Tentu, Sayang."
Panggilan terputus. Lova turun dari ranjang. Ia keluar dari kamarnya dan melangkah ke ruang kerja Aeden.
"Laci meja." Ia masuk ke dalam ruang kerja Aeden dan melangkah ke meja.
"Nah ini dia." Lova mengangkat sebuah berkas. Matanya menyipit ketika ia melihat sesuatu yang ia kenal di dalam laci. Ia meraih sebuah foto. Di bawah foto itu ia menemukan beberapa surat.
"Tidak. Ini tidak mungkin." Lova menolak percaya. Tapi otaknya tidak bisa berhenti berpikir. Jika bukan dia, maka tak mungkin barang-barang ini ada disini. Tidak mungkin. "Tidak mungkin dia yang membunuh Collins. Kenapa harus Aeden? Kenapa?!" Emosi Lova jadi tak terkendali.
Ini tak bisa ia percaya, bagaimana mungkin pria yang ia cintai adalah pembunuh salah satu orang yang ia anggap keluarga. Collins sudah seperti ayah bagi Lova.
"Tidak mungkin. Ini tidak mungkin!" Lova tak pernah menolak kenyataan, tapi kali ini ia menolak kenyataan. Ia mencari orang yang telah membunuh Collins dan ternyata orang itu begitu dekat dengannya. Sangat dekat hingga ia tak menyadari dan tak berharap jika orang itu adalah Aeden.
Ring.. Ring..
Lova tak mendengar suara ponselnya, hingga deringan berikutnya, ia baru mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya.
"Love, sudah kau dapatkan berkasnya?"
"Love."
"Sudah." Nada bicara Lova menjadi dingin.
"Baiklah, hati-hati dijalan, Love."
"Sarah yang akan mengantarkannya."
"Ada apa denganmu, Love? Suaramu bergetar."
"Aku lelah."
Lova memutuskan sambungan itu. Lova butuh waktu, ia tidak bisa bicara dengan Aeden saat ini.
♥♥
Aeden kembali ke kediamannya setelah selesai meeting.
"Love."
Lova tidak tidur, tapi ia tetap menutup matanya.
"Sayang." Aeden memanggilnya lagi.
"Aku lelah. Biarkan aku tidur." Lova memunggungi Aeden.
"Baiklah. Istirahatlah." Aeden mengecup puncak kepala Lova. Ia pergi dari kamar itu karena tak ingin mengganggu istirahat Lova. Tidak, Aeden tahu, ia tahu Lova menghindarinya.
Aeden sampai ke ruang kerjanya, ia membuka lacinya. Mengeluarkan foto Collins dan surat-surat tulisan Lova. "FZT, D02, ternyata itu kau, Love." Aeden tahu apa yang Lova ketahui. Di ruang kerjanya terdapat kamera pengintai dan penyadap suara. Aeden bukan tipe orang yang percaya pada orangnya sendiri, karena inilah ia meletakan kamera pengintai di sisi yang tak terlihat oleh orang lain.
D02, Aeden mengetahui tentang agen ini sejak dua minggu lalu. Seorang kenala Aeden yang cukup mengetahui tentang rahasia agen, memberitahunya tentang kode itu. Mencari siapa D02 sudah Aeden lakukan tapi ia tak menemukan jalan.
Suara bergetar Lova membuat Aeden cemas. Ia memeriksa rekaman kamera pengintai dari ponselnya. Dan ia menemukan sesuatu yang membuat hatinya nyeri. Dealovanya adalah orang terdekat Collins. Orang yang telah membunuh seseorang yang memerintahkan untuk mengamankan Collins. Untuk pembalasan kematian, tentu hubungan mereka tak hanya sebatas rekan kerja.
"Maafkan aku, Love." Aeden menyesal. Jika ia tahu Collins adalah orang yang Lova sayangi maka jelas ia tak akan membunuh pria itu. Aeden bisa membunuh orang yang menggunakan jasanya jika itu untuk Lova.
"Maaf." Aeden terlalu pengecut untuk meminta maaf secara langsung pada Lova. Ia tak bisa menghadapi kemarahan Lova, lebih tepatnya ia tak ingin memancing. Ia takut Lova akan meninggalkannya. Ia takut tak akan bisa mencegah Lova karena rasa cintanya pada Lova. Selama Lova tak membahas ini maka Aeden akan terus berpura ia tak tahu tentang siapa FZT. Dan jika Lova sudah membahasnya, ia akan meminta maaf dan tak segan untuk memohon agar Lova tak meninggalkannya.
Dari sikap Lova tadi, Aeden tak bisa mengartikan apapun. Ia tak bisa menebak Lova karena pada kenyataannya Lova bukan orang yang mudah ditebak. Lova bukan seseorang yang keluar dari pelatihan, tapi dia salah satu orang terbaik di Badan Intelijen Nasional.
♥♥
Malam ini Lova tidur memunggungi Aeden. Otaknya tak bisa berpikir normal. Cinta dan balas dendam berteriak di dalam otak dan hatinya. Mereka bertengkar untuk menjadi pemenang.
"Love, kau sudah tidur?" Aeden bersuara pelan.
Ia turun dari ranjang. Melangkah memutari ranjang. Ia berlutut tepat di sebelah Lova. Aeden tak bisa tidur dipunggungi Lova. Ia tak bisa meski ia tahu bahwa ia memang pantas diperlakukan seperti ini.
"Aku tahu ini sulit untukmu, Love. Tapi, sesulit apapun itu, aku berharap bahwa kau tak akan pernah meninggalkan aku. Aku tak bisa tanpamu, aku tahu ini egois. Aku melenyapkan orang yang kau sayangi tapi aku memintamu tetap di sisiku. Aku tak bisa apa-apa, Love. Aku tak bisa melepasmu."
"Aku sangat mencintaimu, Love. Maafkan aku." Aeden benar-benar menyesal. Ia tak pernah menyesali apapun dalam hidupnya, tapi kali ini ia menyesali tindakannya.
♥♥
Ketika Aeden terlelap, Lova yang terjaga. Tidak, sejujurnya ia tidak tidur sejak tadi. Lova tak bisa tidur jika tak ada tangan kokoh yang memeluknya.
"Aku tetap diam karena aku juga tak bisa apa-apa, Aeden. Aku berjanji akan membunuh siapapun yang membunuh Collins, tapi membunuhmu sama saja dengan membunuh diriku sendiri. Karena itu kau, aku tak berdaya, Aeden. Aku tak bisa berteriak memakimu. Aku tak bisa melukaimu meski hanya seujung kuku. Dan sekarang, setelah semua hal yang tak membuatku bernafas dengan baik, aku masih ingin berada dalam pelukanmu." Lova kesulitan berpikir dan bernafas. Ia mendiamkan Aeden tapi pada akhirnya dia sendiri yang menginginkan Aeden.
Maaf, Collins. Dosa yang ia buat padamu tak bisa menyurutkan satu titik saja cintaku untuknya. Kau pantas menyumpahiku karena ini. Maafkan aku.
tbc