Lisa Pov :
Claire, wanita paruh baya yang dipanggil 'Mom' oleh Dave. Dia terus menatapku penuh bahagia sejak tadi. Usianya sekitar 40 tahunan, namun masih terlihat sangat cantik dan anggun. Dave mewarisi mata hitam dan bibirnya.
Tangannya mengelus tanganku dengan lembut, seolah memegang harta karun yang sangat berharga.
Ini sama sekali diluar dugaanku. Dari semua tempat di segala sudut kota, aku bertemu dengan Dave, laki-laki iblis itu lagi di restoran ini.
Jessy mengirim pesan akan memperkenalkan calon suaminya kepadaku. Itu adalah pertemuan antar dua keluarga, dan aku satu-satunya keluarganya. Suatu hari jika ada hari dimana aku harus menikah juga, Jessy adalah satu-satunya keluargaku.
Calon suaminya bernama Dalen Wilson, seorang Manajer Hotel. Keluarga mereka ramah, tidak banyak bertanya kenapa hanya aku anggota keluarga yang datang, kemungkinan Dalen sudah menjelaskan sebelumnya.
Satu jam lebih berlalu, aku keluar, mencari udara segar.
Namun, bukan udara segar, aku bertemu laki-laki bajingan dari masa lalu yang tengah berciuman di dalam lift. Dia dan wanita di dalam pelukannya melihatku saat aku ragu-ragu masuk ke dalam lift bersama mereka. Dia melihatku dari atas kepala sampai kaki, kemudian tersenyum meremehkan.
"Kutebak kau masih belum bisa melupakanku. Setelah putus, dahulu kau bahkan menulis kata-kata menyedihkan di bukumu, astaga aku hampir saja menyesal meninggalkanmu, tapi lihatlah, kau masih tidak bisa memakai riasan. Kau bahkan selalu menolak aku menciummu. Membosankan!" Setelah mengenaliku, pria itu tanpa aba-aba memulai sikap menyebalkannya.
Aku melihatnya sekilas. Dua tahun lalu aku memang gadis gila yang menyukai pria bajingan didepanku ini. Gadis disampingnya menciumnya lagi, meminta pria itu mengabaikanku saja.
"Aku punya. Seorang kekasih!"
TING!
Pintu lift terbuka.
Aku mengangkat kepalaku. Seorang pria tampan dengan setelan jas hitamnya berdiri disana, diluar pintu lift, tepat di depanku. Aku mengingatnya, Davier William. Tanpa berpikir panjang, aku mendekatinya. Menciumnya, kemudian menariknya pergi menjauh dari lift.
Dan disinilah kami, tertangkap dalam posisi yang tidak bisa dijelaskan kepada Claire.
"Lisa, kapan kalian berencana menikah?" Claire sedikit menarik tanganku, terlihat jelas dia dalam kondisi amat senang. Jika melompat dalam usianya adalah tanda senang, mungkin dia juga akan melompat bersemangat.
Aku tersenyum kikuk, bingung bagaimana harus bersikap. Claire terlihat seperti seorang ibu yang ramah, lebih sulit dihadapi dibandingkan dengan wanita yang mengumpat atau kasar.
Dave memegang bahu Claire, dia juga terlihat bingung.
"Mom, Lisa belum siap menikah, kita harus menghormati keputusannya bukan?" Dave berkata lembut kepada Claire.
"Apa itu benar Lisa?" Claire menatapku penuh harap, rautnya terlihat sedih. Aku melihat Dave, meminta solusi. Dia hanya mengangguk memberi isyarat. Berbohong sedikit seharusnya bukan masalah.
"Maafkan aku Claire," aku mengelus tangannya pelan, memasang ekspresi menyesal. Sepertinya Claire sangat ingin melihat Dave menikah, terlihat dari percakapan mereka tentang banyak perjodohan yang semua ditolak oleh Dave.
Jika berdasarkan drama-drama yang kutonton, mungkinkah keluarga kaya raya seperti mereka menikah hanya untuk mendapat ahli waris selanjutnya? Jika iya, maka dunia orang kaya memang sungguh rumit.
"Mom, kau harus kembali, Dad akan kebingungan mencarimu jika kau menghilang begitu lama, oke?" Dave membujuk Claire. Matanya mengisyaratkan agar aku ikut melakukan hal yang sama.
Claire menghembuskan napasnya pelan, ragu-ragu, melihatku dan Dave bergantian.
"Baiklah. Aku akan kembali, tetapi kau harus berjanji agar membawanya pulang Dave!" Claire masih tidak melepaskan tanganku, meminta jaminan kepada Dave sebelum pergi.
Dave terlihat sedikit bingung. Faktanya kami bukan sepasang kekasih, dan membawaku ke rumahnya juga tidak mungkin. Dave menatapku lembut, meminta persetujuan.
Aku menunduk canggung, juga tidak tahu harus meresponnya seperti apa. Aku bukan gadis yang akan mencari keuntungan dengan mengaku sebagai kekasih dari pria tampan kaya raya yang diinginkan banyak gadis diluar sana. Biasanya aku menyukai sikap acuh tak acuhku, mengabaikan semua orang. Tetapi saat ini aku bahkan bersikap sopan dan canggung di hadapan Dave dan Claire. Aku mengutuk diri di dalam hati.
"Baiklah, aku akan membawanya pulang kapan-kapan. Sekarang kembalilah dulu, kami masih mempunyai banyak urusan, oke?" Dave memberikan jawabannya.
Claire akhirnya melepas tanganku dengan enggan. Melambai kepadaku sebelum pergi, setelah mendapat janji Dave.
Setelah Claire pergi, suasana kembali berubah. Berbohong kepada Claire bukan sepenuhnya salah Dave. Akulah yang mencium dan menariknya bersamaku. Claire menemukan kami dalam posisi yang salah.
Aish, ada apa denganku? Bagaimana bisa aku juga membalas ciumannya. Wajahku memerah mengingatnya. Aku tidak pernah mencium seorang pria sebelumnya, Dave adalah yang pertama.
Aku tidak menyadari tubuhku yang meresponnya. Dia terlihat seperti pria yang sering melakukannya, bagaimana bisa aku kehilangan kendali hanya karena suara dalamnya di tengaliku dan bibir plump nya yang lembut. Astaga! Apa yang kupikirkan.
"Apa yang kau pikirkan?, wajahmu bahkan memerah heh?"
Dave mendorong tubuhku ke dinding. Mengunci kakiku dengan satu kakinya. Dia memegang daguku, memaksa kami bertatapan. Aku mendongak, tidak bergerak. Mata hitamnya melihatku dalam, terasa seperti dia sedang mengulitinya.
Aku mengamati wajahnya. Alisnya yang rapi, hidung mancung dan bulu mata panjangnya. Setiap bagian wajahnya terlihat seperti lukisan, ditata rapi dan sempurna indah. Kulitnya bersih, tanpa bekas jerawat atau masalah kulit lain. Aroma strawberry dari bibirnya semakin kuat semakin dia mendekat.
"Waah,"
Aku menunduk seketika, menyadari gumaman spontanku. Aish ada apa denganku? Bagaimana bisa aku bergumam seperti itu, semoga dia tidak mendengarnya.
"Sudah puas melihat?" Dave mengangkat daguku lagi, tertawa kecil.
Deg.
Aku baru pertama kali melihatnya tertawa. Lesung pipi kecil di pipi kanannya tidak terlihat sebelumnya, sepertinya akan muncul jika dia tertawa. Matanya sedikit menyipit, gigi rapinya terlihat sebagian. Entah karena jarak kami yang sangat dekat atau karena ciuman pertamaku yang kuberikan kepadanya, aku merasakannya, detak jantungku yang tidak wajar.
"Me-men-menjauhlah!"
Aku mencoba mendorong tubuhnya, tetapi tidak cukup kuat. Kakinya bahkan tidak bergeser, masih mengunciku. Mungkin dia hanya merasa seperti digelitiki. Tawa kecilnya kembali terdengar, memang seperti digelitiki, sepertinya.
Satu tangannya memegang kedua lenganku, mengangkatnya ke atas, menekannya ke dinding. Mengunciku agar tidak ada perlawanan lagi. Wajahnya ditempelkan dengan wajahku. Hidung mancungnya bersentuhan dengan hidungku. Nafasnya terasa dingin menyentuh kulit wajahku.
"Jadi, Nona Lisa, apakah bersedia pulang bersamaku?" Dave berkata pelan, suaranya terdengar berat.
Aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin cepat.
Aku mengingat kembali adegan-adegan seperti ini di dalam drama-drama, jadi beginilah rasanya. Apakah para aktris yang memainkan adegan seperti ini juga merasakan detak jantung mereka yang tidak biasa sepertiku? Oh tuhan ! Aku sangat ingin melarikan diri saat ini.
Aku ingin menjawabnya, tapi kata-kataku tidak bisa keluar.
Dia menatapku, menunggu jawaban, matanya penuh selidik. Satu sisi bibirnya sedikit terangkat, tersenyum nakal. Tangannya menyelipkan rambutku ke belakang telinga, menenggelamkan wajahnya di sisi leherku yang tidak terhalang rambut. Nafasnya terasa dingin disana, berhembus seperti menggelitik.
Aku terdiam, semakin tidak bisa bergerak. Pria ini, sungguh berbahaya bagi jantung. Aku harus segera menjauh darinya, atau dia akan menyadari wajah merah dan jantung tidak normalku.
"Jika kita bertemu lagi untuk yang ketiga kalinya, aku sungguh akan mengikatmu di rumahku, Lisa. Aku bersungguh-sungguh!" Dave kembali berbisik pelan di telingaku, membuatku bergerak kecil. Astaga Lisa, sadarkan dirimu. Aku harus segera menjauh darinya.
Dia menarik kembali wajahnya, membuat mata kami kembali bertatapan. Kakiku mulai lemas, dia terlihat seperti hendak memakanku habis-habisan dengan tatapan dalamnya.
Sebelum mulai mencari cara melarikan diri, dia sudah melepaskan tanganku pelan. Melepas tubuhnya, berhenti mengunciku. Tubuhku bebas. Tanpa berhitung mundur lagi aku langsung berlari, menjauh darinya. Aku tahu wajahku saat ini harusnya sangat merah. Dave William, pria yang harus kujauhi demi keselamatan jantungku.