webnovel

Teman Tertawa Pertama

“Kau terlihat lebih menyukai jika dia berhasil,” ceplos Soa mengandung penyelidikan.

Tanpa disangka lelaki itu malah mendengus dengan senyuman sinis. “Kenapa memang? Dengan begitu dia tidak perlu meninggalkanku, bukan?”

“Itu terdengar jahat, Arandra.”

Arandra masih tak mau kalah. “Bukankah dalam cinta, kebaikan dan keburukan berjarak sangat tipis?”

Soa menarik nafasnya kuat-kuat tidak mau tenggelam berdebat. “Baiklah-baiklah. Jika dia buruk dimatamu, lantas kenapa kau terlihat masih mencintainya?”

Arandra terjeda, merasa tersentil dengan pertanyaan itu. “Apa aku begitu mencolok?”

Soa mengangguk cepat. “Aku bisa mengetahuinya dari ucapanmu.”

Lelaki bermata biru itu menyilangkan tangan, lantas mengusap-usap dagunya dengan pikiran yang sibuk menimbang-nimbang. “Hmm, sepertinya kau benar. Kenapa aku masih mencintainya?” ia memberi jawaban sangsi. “Oh! Mungkin karena kami sama-sama bodoh!” timpalnya kembali enteng, membuat Soa kali ini tertawa lebih keras.

Gelapnya langit hitam yang mengatapi batin gadis itu perlahan tersingkir oleh semburat mentari yang dibawa oleh Arandra. Lelaki itu pun lagi-lagi ikut tenggelam dalam tawa gadis di depannya, wajahnya berseri-seri, senyumannya pun melengkapi.

“Lihatlah, aku sudah dua kali berhasil membuatmu tertawa,” sela Arandra penuh percaya diri.

Dalam hati Soa pun sangat menyetujui, tapi ia agak malas memuji. “Yeaaah,” sahut Soa setengah hati. Pengakuan yang sedikit namun begitu berarti bagi Arandra, memunculkan lagi sebuah senyum efek merasa tersanjung.

“Lain kali jika kau ingin berbagi cerita, kau harus ingat! Aku adalah orang pertama yang harus kau temui,” tegas Arandra pada Soa. Bersikap seolah ia sudah sangat dekat dengan gadis itu. Kalimat yang diutarakannya pun begitu indah diterima kalbu perempuan di hadapannya. Ada rasa di hati Soa yang melambung tinggi menjumpai kebebasan. Melayang tanpa gundah, terbang tanpa luka.

Namun di tengah kenikmatan merasakan gembira di hati. Penasaran masih enggan untuk pergi, memantek tanya di dalam hati.

“Siapa kau sebenarnya Arandra? Kau datang menemuiku begitu tiba-tiba dan bersedia untuk menjadi tempat suka duka. Apa tujuanmu sebenarnya kepadaku? Kalau kau adalah bagian dari masa laluku. Lantas kenapa di dalam mimpiku aku tidak pernah melihatmu?”

Soa merasa amat buta, tetapi ia juga masih bimbang jika menceritakan tentang mimpinya kepada Arandra. Sulit baginya menjelaskan. Mendengar bahwa dirinya mengalami reinkarnasi dan harus menebus dosanya saja sudah membuat otaknya linglung. Apa lagi kalau ia harus bertanya-tanya pada orang yang belum lama ia kenal. Itu masih mustahil buat Soa.

Soa juga dirundung takut, kalau-kalau apa yang dia ceritakan hanya menjadi obrolan kosong yang di penghujungnya melahirkan tawa dari Arandra yang tak percaya.

“Kenapa kau diam lagi?” tanya Arandra didekap cemas. “Kau tidak suka dengan ucapanku?”

Perlahan gadis itu menggeleng. Pandangannya mengawang dan bibirnya kelepasan menjawab. “Tidak. Aku hanya penasaran.”

“Penasaran? Penasaran soal apa?”

Soa baru tersadar dengan ucapannya. Ia mendelik bingung, mencari-cari kalimat untuk melengkapi jawaban sebelumnya.

“A–aku... hanya penasaran, apa yang kau lakukan setelah kau kehilangannya? Ya, he-he-he itu yang aku pikirkan.”

Ah! Wajah lelaki itu langsung kembali berubah. Kemurungan yang pertama terlihat kembali datang. Tatapannya hampa menembus keluar dinding kaca, lagi-lagi menggelitik rasa penasaran lawan bicara.

Sesaat kemudian Arandra membalas, terdengar pelan tapi tertangkap jelas.

“Aku... Menunggunya terlahir kembali.”

“Jantung Soa langsung berdegup cepat. Pertanyaan yang ia anggap tak berarti diberikan telah membuat teka teki menari di kepalanya tanpa bisa dikendalikan. Keingintahuan sudah seperti balon mengembang yang semakin lama semakin besar dan malah hampir meledak.

Sekelebat kenangan pun menyusul tiba-tiba dalam benak Soa. Ia baru ingat, ketika pertama kali bertemu Arandra. Lelaki itu pernah memuji dirinya bahwa ia masih secantik dulu. Arandra bersikap seperti orang yang telah lama mengenalnya. Ditambah lagi, Arandra pernah menyebut nama Molek.

“Jangan-jangan Arandra tahu kalau aku adalah reinkarnasi Molek?”

Soa merasa tak mampu lagi menahan penasarannya. Ia ingin terus menggali, menggali lebih dalam hingga ia temukan apa yang seharusnya ia ketahui.

“Apa dia... sudah terlahir kembali?” Soa bertanya dengan sangat hati-hati.

Arandra terdiam tenang. Dipandanginya wajah gadis di depannya lekat, raut muka tampannya tak bisa ditebak.

Di tengah penantian menunggu jawaban Soa berharap-harap, kepingan puzzel selanjutnya akan bisa ia temukan, menjadi petunjuk ke mana lagi ia harus berjalan. Dengan begitu ia akan semakin dekat pada tujuan.

Akan tetapi... belum sempat Arandra merespons, tiba-tiba saja seseorang datang menyolek punggung Soa. Soa sangat terkejut dan langsung memutar kursinya.

Seorang wanita yang terlihat berusia 30an ternyata sudah berdiri di balik punggungnya. Senyum hangat wanita itu terpampang, disusul oleh sebuah pemberitahuan seraya menunjuk ke arah lantai.

“Nona, sarung tanganmu terjatuh.”

“Oh, ya ampun!” seru Soa setelah matanya turut mendapati hal itu. Segera ia bangkit mengambil sarung tangan yang sempat terlepas dari kantongnya. Tak lupa gadis itu segera mengulum senyum dan berterima kasih pada wanita yang telah membantu sebelum mereka akhirnya berpisah.

Seraya memasukkan sarung tangan itu ke kantong jaket, Soa pun kembali tertuju kepada Arandra. Akan tetapi ...

”Sampai di mana–“ belum sempat kalimat Soa selesai, anehnya lelaki itu sudah tak terlihat lagi di tempat duduknya. “Ke mana dia pergi?” Soa bergumam sambil celingak-celinguk mencari.

Hingga kemudian Soa sadar, bahwa tak ada jejak Arandra sama sekali yang bisa ia dapati. Gadis itu pun jadi merasa gusar ditinggal begitu saja, dan menggerutu seorang diri.

“Padahal aku baru saja ingin menanyakan soal Molek padanya. Ugh! Kenapa dia selalu pergi tanpa pamit?! Dia tidak jauh berbeda dengan Andel!” kesalnya. Lalu menengadah masih dengan sambil berdiri, memandang langit yang jauh tinggi di sana dari dalam dinding kaca. “Apa interaksi sosial di langit tidak ada tata krama?! Selalu saja mereka datang dan pergi tanpa suara!”

‘PUKK!’

Lagi-lagi Soa terlonjak kaget. Seseorang telah menepuk lagi bahunya. “Ya ampun! Apa kau juga makhluk langit!” omel Soa tak tertahankan.

Zoe yang baru datang jadi ikutan terkejut menerima omongan lantang Soa.

“Kenapa kau ini? Aku hanya ingin menyapamu,” sahut Zoe terheran-heran.

“Kau membuatku kaget!” Soa segera mengatur nafas.

“Kau saja yang terlalu serius melihat langit,” balas Zoe tak mau disalahkan. Lalu kemudian ikutan menengok ke atas. “Apa yang sedang kau cari di sana? Apa kau sedang menunggu hujan uang?”

Soa menggaruk-garuk kepalanya, bingung bagaimana menceritakannya pada Zoe. “Jangan ngaco! Mana mungkin aku begitu.”

Zoe berdecak-decak. “Padahal aku baru saja ingin bergabung. Kukira kau tahu mantranya.”

“Dasar gila! Mana ada yang seperti itu!”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sihir bisa mengubah energi menjadi materi yang diinginkan.”

Soa geleng-geleng kepala mendengar perkataan Zoe. Baginya pembahasan itu tidak akan ada habisnya, ia yang hanya mengandalkan cara berpikir logis dalam memahami yang terjadi di hidupnya tentu tidak akan menyambung jika membicarakan apa yang orang sebut dengan sihir kepada Zoe yang memang menyukai hal-hal berbau mistis. Meski belakangan, Soa juga mulai sedikit ragu dengan pemahaman logisnya, karena malaikat telah datang dan bertegur sapa kepadanya.