Sudah sejam sejak Renji keluar meninggalkannya. Ginnan tak mampu memejamkan mata dengan tenang. Dia selalu mengubah posisi baring. Miring kanan, miring kiri, lalu mengecek ponsel kembali.
"Nomor Yuki-chan sungguh tidak bisa dihubungi," gumam Ginnan. Dalam selimutnya, dia mematikan ponsel kembali. Sedikit banyak, benda itu membuat kecemasannya makin meninggi.
"Hahhhh..."
Tatapan Ginnan kembali ke langit-langit. Dia ingin bangun, tapi rasanya lelah sekali. Melirik jam, dia justru emosi kenapa waktu berjalan lambat. Ini bahkan baru pukul 8 malam. Dia kira lewat angka 12 sejak tadi. Ahh...
"Renji, kau ini sebenarnya dimana?" batin Ginnan. Dia sangat-sangat bosan sekarang. "Sudah benar kau minta maaf padaku tadi," Kini matanya bergulir ke jemari yang berhias cincin. Satu diantaranya mengikat hubungan mereka. Satunya lagi dari Nana yang katanya mengandung jimat keberuntungan. Wanita itu tidak salah, sungguh. Kini hidup Ginnan penuh dengan hal hebat sejak bersama Renji. Hanya saja... Rasanya memang agak asing.
CKLEK!
DEG
"Eh?"
Ginnan pun menoleh ke pintu. Dengan jantung terus berdebar, kini raut syok-nya menular ke para pelayan yang berbaris lurus di ambang. Mungkin, mereka pikir Ginnan sudah tidur sejak tadi. Namun, Ginnan tak berkomentar saat yang terdepan bersuara segan.
"Selamat malam, Tuan Ginnan," sapanya dengan senyuman tenang. "Boleh kami masuk?" tanyanya.
Ginnan pun memandang nampan yang dibawanya. Di sana ada air putih, teh hangat, madu, dan dua kotak biskuit.
Tak perlu menebak lagi, semua itu pasti perintah Renji.
"Iya, silahkan," kata Ginnan. Dia mencoba duduk meski pantatnya masih pegal sekali. "Apa itu untukku?" tanyanya.
"Iya, Tuan," kata si pelayan. Dia meletakkan nampannya ke atas nakas. "Maaf menganggu, tadi kami pikir bisa menata barang waktu Anda sudah terlelap."
"Tak apa kok," kata Ginnan. Lantas menoleh pada yang lain. "Tapi, barang apa ya?"
"Itu..." Si pelayan lantas menyuruh rekan terdepannya masuk. "Semua milik Anda yang tadi masih di Penthouse. Tuan Renji memberi instruksi agar kami memindahkanmya kemari. Beliau bilang bagus bila dilakukan saat Anda tidur."
"Oh..." desah Ginnan. Bola matanya langsung melebar saat si boneka teddy kesayangan dibawa masuk. "NUSHEN!" serunya. Lalu memeluk benda berbulu itu.
Meski sedikit, kini rasa berat di dada Ginnan pun jadi berkurang. Para pelayan sampai turut menyunggingkan senyum karena tingkahnya.
"Kami sudah mengganti pita bordirnya, Tuan," kata si pelayan tadi. Dia tampak bangga ketika Ginnan mengelus pita berinisial RG di leher Nushen, lalu menunjukkan beberapa kotak yang dibawa dua rekannya. "Ditambah yang ada di sana. Isinya berbagai macam warna. Anda bisa menggantinya kalau bosan yang sekarang."
"Wah... Terima kasih," kata Ginnan, meski agak janggal setelah mengatakannya. "Umn, m-maksudku, kalian sudah bekerja keras. Apa ini dibordir dengan cara manual?" tanyanya.
"Iya, Tuan."
Ginnan jadi merasa bodoh setelah dulu hampir menangisi kerusakan pita Nushen. Kesannya konyol. Namun dia lega apalagi si teddy raksasa ikut menyusul.
"Itu..."
Pipi Ginnan sampai merah karena menertawakan dua butler yang susah payah menggendongnya ke sofa.
"Itu versi monsternya," kata si pelayan tadi dengan raut antusias. Diam-diam dia gemas ketika Ginnan ingin turun lari memeluk si Teddy gigantis. Dia tahu, lelaki itu batal melakukannya karena alasan yang tak perlu ditebak.
"Iya, aku membelinya waktu di Milan," Ginnan menggigit bibir pelan. Salah tingkah. "Atau lebih tepatnya dibelikan," batinnya lalu berdehem pelan. "Sama ini."
"Anda suka diletakkan di sana?"
"Iya, boleh."
"Kalau yang ini, Tuan?" tanya salah seorang butler.
Ginnan pun menoleh, hingga tanpa sadar kehilangan rasa gelisahnya. "P-Pen display-ku, ya..." gumamnya. Lalu mengangguk kala pria itu memasangnya di sisi meja lampu tidur. "Bagus. Di situ juga memudahkan. Aku bisa menggambar sambil tiduran kalau ingin."
"Kami tunggu karya-karya Anda," kata pelayan tadi menyahut. Ginnan pun tertegun menatapnya ketika yang lain menata barang berikutnya. "Kami dengar Anda ini sangat berbakat. Jadi, ganbatte! Anda pasti berhasil kolaborasi dengan Tuan Renji."
Tunggu dulu... Tunggu dulu... Tunggu dulu...
Sejauh mana 'orang-orang' Renji tahu tentangnya? Ginnan pun meremas bulu-bulu Nushen tanpa sadar. Dia hanya mengangguk malu, bahkan terlambat bereaksi saat 2 lemari kaca didorong masuk.
Satunya berisi penuh lingrie yang digantung. Satunya lagi beberapa gaun pesta gemerlapan. Jantung pun Ginnan terasa meledak karenanya. Dia tak tahu bila Renji serius dengan percakapan mereka dulu soal fantasy di ranjang.
Ginnan pikir, sepertinya dia harus mulai ekstra hati-hati kala bicara dengan sang kekasih.
"Tuan?"
DEG
"Eh?"
Sadar-sadar ada telapak tangan yang melambai di depan wajahnya beberapa kali. "Anda tidak mendengar saya barusan?" tanyanya.
"Ah... Umn..." Ginnan pun mengusap tengkuk, sementara si pelayan justru menoleh ke dua lemari kaca barusan.
"Oh... Itu semua saya yang memilih," katanya. Tampak segan namun juga percaya diri. "Apa Anda kurang suka dengan model-model yang tadi dipasang?"
Ugh... Demi apa...
"Kalau tidak, Anda boleh beritahu saya. Kapan-kapan saya pasti ganti dengan yang lebih sesuai."
"..."
Ginnan pun memandang gadis di depannya seolah ingin teriak.
"S-Sebelum itu... Maaf..." gumam Ginnan. "Jadi, kalian sudah tahu kalau aku dan Renji..."
Kini pipi pelayan itu ikutan memerah. "Tentu saja, he he..." cengirnya. "Meskipun kami baru dipekerjakan, sebelum setuju dengan kontraknya, tentu saja kami diberitahu seperti apa majikan kami," jelasnya.
"Ah, begitu," kata Ginnan. "K-Kupikir tadi..."
"Tidak-tidak," kata si pelayan cepat. Dari gerak-geriknya sedari tadi, kini Ginnan paham dialah pemimpin semua rekan-rekannya. "Anda bisa melakukan hal apapun senyaman Anda. Lagipula, Anda baik. Juga lembut hati seperti di dalam data. Karena itu, percayalah. Kami senang melayani kebutuhan Anda."
"Lembut hati—brengsek. Siapa yang menulisnya seperti itu?" batin Ginnan. Namun dia tak sadar bila pipinya makin memerah. "Kalau begitu, terima kasih. Sudah cukup kok—"
Cklek...
Mendadak pintu kamar terbuka lagi. Si pelayan bahkan ikut menoleh karena yakin benda tadi yang terakhir, namun dia segera mundur ketika tahu Renji yang datang. "Selamat datang, Tuan," Yang lain ternyata sudah membuka jalan sebelum dia.
"Renji..." desah Ginnan. Lelaki itu berkedip ketika dikecup pelan.
"Belum tidur?"
Renji duduk di sisinya.
"Tidak bisa," kata Ginnan. "Aku mungkin belum terbiasa di sini, Ren." rajuknya.
Renji justru terkekeh pelan. "Benci kutinggal sebentar?"
Ginnan refleks memalingkan muka. "Aku tidak bilang begitu," katanya jengkel. Pelukan di Nushen bahkan mengerat seolah benda itu bisa melindunginya.
Tolonglah! Renji benar-benar tidak malu di depan pelayan baru di sini?
Renji mengusap pipinya dengan jemari. "Mau berkeliling sekarang?" tawarnya.
"..."
"Kugendong jika belum bisa jalan, hm?"
Simpang empat langsung memenuhi pelipis Ginnan. Dia geram, serius. Tapi daripada makin parah, dia memilih menyingkirkan Nushen dan menyambut pelukan Renji. Pria itu segera mengangkat pantatnya ke gendongan. Rengkuhannya aman, dan Ginnan bisa menghirup aroma parfumnya yang sudah berganti lagi.