Meskipun begitu, Ginnan sebenarnya sangat suka dengan dongeng-dongeng (mungkin karena Bunda sering membacakannya sebelum tidur) dia jadi sering bermimpi begitu sudah terlelap. Haha—jangan tertawa, oke? Tapi Ginnan memang beberapa kali menjadi raja di dalam mimpi-mimpi heroiknya. Atau ksatria. Atau pahlawan. Bahkan pernah menjelma sebagai penyihir terhebat sepanjang masa. Seorang penyihir, yang dengan merapal satu mantra saja bisa menghancurkan gunung dan samudera.
Tak ada yang sanggup mengalahkan.
Villain jenis apapun takhluk di bawah kakinya. Ginnan juga ingat, dia selalu ditemani oleh seorang lelaki bermata tajam selama berperang. Lelaki itu sangat tampan, berbadan tangguh, dan punya tujuh pedang beda ketajaman. Ah! Kalau mengingat-ingat soal itu, Ginnan jadi penasaran kenapa yang selalu di sisinya adalah lelaki? Sebab cerita raja atau protagonis hebat umumnya kan selalu dikaitkan dengan puteri cantik?
Seperti memenangkan sayembara lalu menikahinya? Pffft—hahahaha… apakah dirinya memang ditakdirkan menjadi gay sejak lahir bahkan dalam alam bawah sadar? Yang pasti lelaki itu selalu ada untuk menolongnya dalam situasi apapun. Suatu hari Ginnan menggambar tokoh-tokoh dalam mimpinya di buku sketsa dengan outline kasar. Dengan sepenuh hati, dia memikirkan alur komik macam apa yang cukup menggugah minat para pembaca. Namun lomba debutnya justru berakhir dengan skandal plagiarisme salah paham.
"Aku penasaran apa orang itu sebenarnya adalah kau, Ren?" tanya Ginnan. Dia bergumam sendirian, sementara Renji sudah lelap dalam tidurnya yang tak tenang. Akhir-akhir ini pria itu sering mengigau tak jelas, padahal biasanya tak begini. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Apa hal tadi benar-benar merasuk dalam dadanya sampai membuat kegelisahan sehebat ini? Ginnan pun meneguk ludah dan meraih pipi Renji yang dihiasi titik-titik keringat. Dia memulasnya dengan ibu jari yang terasa kaku. Lidah Ginnan kaku, lalu dia menyatukan kening mereka dengan segenap perasaan yang terkumpul—
"Maaf, Ren. Untuk yang tadi kukatakan padamu,"] kata Ginnan dalam hati. "Bisa tunggu aku sedikit lagi? Mungkin tanggal 5 Januari kita pulang. Haha… harusnya tahun baru tidak buruk untuk memulai sesuatu, kan. Semisal kekacauan fans loyalmu di Jepang?"
Helaan nafas Renji terdengar seperti hipnotis. Suaranya naik turun teratur, dan Ginnan sangat nyaman menaruh telinganya di dada bidang pria ituu hingga dia menyusul tertidur.
.
.
.
Ginnan tidak ingat apa-apa. Segalanya gelap. Tahu-tahu jam beker yang dipasang Renji sudah berdering pada pukul 7, dan pria itu sudah tak ada di sisinya. "Ren?" Mendadak ada sepasang lengan yang mengangkatnya ke udara hingga wajahnya menabrak dada bidang seseorang—
DEG
"R-Renji?" bingung Ginnan.
"Hm?"
Pria itu memindah tubuhnya ke sisi ranjang yang sudah rapi, menyelimutinya lagi hingga sebatas dada, dan bahkan mematikan AC agar tidak membuat kulitnya semakin beku—tunggu… kan mereka harus merayakan hari natal bersama Nana dan Ryouta? Lalu kenapa malah jadi begini? "R-Ren aku mau—" tanya Ginnan panik. Dia langsung membuka mata lebar-lebar—namun seketika terpejam lagi karena keningnya dikecup pelan. "Hei, kita harus bangun kan? Mama, Ayah—"
"Ssshhh… tidur saja," sela Renji dengan menepuk-nepuk dadanya. "Demammu bisa naik lagi kalau tetap keras kepala."
DEG
Apa?
Demam?
"Aku demam?" Ginnan menyentuh keningnya yang panas dan basah. "Ahh… sejak kapan?"
Renji menatapnya dalam. "Kemarin. Aku sudah tahu kesahatanmu menurun setelah cuci-cuci piring di dapur," kata pria itu.
"Lalu, perayaannya?"
"Hanya aku, Ibu, dan Ayah yang merayakan kemarin."
DEG
"M-Memangnya aku tidur berapa lama?"
Ginnan ingin duduk, tapi dia didorong lagi hingga terebah kembali.
"Sehari semalam, tidak bangun. Tapi jangan khawatir, demamnya sudah agak turun," kata Renji. Pria itu menekan punggung tangan di leher Ginnan. Seketika, Ginnan pun menyadari bahwa alarm barusan belum disetel ulang. Sebab hari beda, tanggal beda, dan dirinya kini pun sudah menggunakan piama lain (Hei, kapan pria ini menggantinya?).
"Astaga… bagaimana dengan Mama dan Ayah? Aku harus minta maaf dulu ke mereka—"
"Sudah tidur saja," kata Renji. "Atau kau makan bubur dulu? Lagipula sudah terlanjur bangun."
"Ah…" Ginnan benar-benar sadar lidahnya pahit setelah menjilat bibirnya sendiri. "Iya, boleh. Tapi aku mau yang manis."
"Hm, kalau begitu tunggu sebentar," kata Renji. Pria itu langsung pergi meninggalkan Ginnan dengan ketertegunan. Dia tatap langit-langit yang mendadak terlihat bergoyang itu. Ah, panas.
Dan kenapa sakitnya baru menyerbu sekarang, ya?
Drrt… Drrt…
Drrt… Drrt…
"Siapa?"
Ginnan pun menoleh ke ponselnya yang berada di atas nakas. Dia mengerjap, berusaha meraih beda itu, namun justru menjatuhkannya ke lantai.
BRAKH!!
"Halo?"
Suara wanita yang sangat Ginnan kenal.
"Y-Yuki-chan?" gumam Ginnan. Dia mencoba bangun, namun samasekali tidak bisa barang duduk sekali pun. Tangannya hanya menggapai udara. Dan dia menyerah hingga Renji kembali dengan nampan bubur.
"Yuki?"
Renji mengambil benda itu dari lantai.
"Iya," Ginnan mengangguk kecil. "Dia tidak pernah menghubungi lagi sejak kutinggal sakit di rusun," katanya. "Tapi, entah. Boleh aku mengangkatnya?"
Renji justru mematikannya, "Tidak. Sampai kau makan malam dulu," katanya. Lalu mengembalikan ponsel itu ke laci yang dikunci. Sial. Ginnan merasakan aura cemburu yang kuat mengambang di udara.
"Ugh, oke," katanya. "Tapi ambilkan lagi ya setelah ini?"
"Hm."
Ginnan pun membuka mulut saat Renji menyodorkan sesuap bubur untuknya. Ah, sebenarnya apa yang ingin dikatakan Yuki? Ginnan benar-benar ingin tahu. Biasanya Ginnan menikmati tiap perhatian Renji. Namun kali ini tidak. Dia hanya melahap bubur-bubur itu dengan pikiran melayang.
Sesekali dia masih merona merah saat pria itu menyeka sudut bibirnya. Namun, kalau memikirkan Yuki lagi... Ah, pasti ada hal penting yang ingin disampaikannya. Bagaimana pun mantan kekasihnya sudah menyadari posisinya sekarang. Jadi, kalau untuk main-main, tentu tak akan senekad ini menghubungi nomornya lagi.
"Sudah, sudah," Ginnan berpaling beberapa kali untuk menolak suapan. Namun Renji tetap memaksanya buka mulut hingga bubur itu habis. "Umn, tapi aku sudah kenyang…"
"Makan yang banyak lalu kubersihkan badanmu."
DEG
"Apa?"
"Nanti kubersihkan badanmu," ulang Renji. "Pakai handuk dan air hangat saja. Jangan mandi dulu saat cuaca begini."
Mata Ginnan mulai berkaca-kaca. "Tapi, ponselku mana," keluhnya. Lalu menyingkirkan sendok itu lagi. "Tolonglah, perasaanku tidak enak, Ren. Aku mau bicara dengan Yuki-chan." Mangkuk berisi sisa bubur itu pun diletakkan di atas nakas.
"Baik, tapi tetap kuseka badanmu meski sambil telefon," kata Renji. "Aku tidak ingin dengar penolakan, dan kau harus cepat-cepat tidur lagi agar sembuh."
Ginnan pun tak bisa menjawab tidak. Dia mengangguk, menerima ponselnya dengan senang, lalu membiarkan Renji melepasi kancing-kancing piamanya selagi nada sambung terdengar. Tuuut… Tuuut… (namun tak ada jawaban samasekali) "Ugh…" desisnya penuh kekalutan.
Renji hanya mengawasi ekspresi wajah Ginnan dari ekor mata. Pria itu duduk di sisinya, diam, dan benar-benar mengusap telaten badannya yang penuh oleh keringat demam. "Tadi, bukankah dia yang menghubungiku?" Ginnan pun memandang layar ponselnya karena kelamaan tak dijawab. "Kenapa sekarang begini? Pikiranku jadi makin macam-macam."