webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang · LGBT+
Classificações insuficientes
61 Chs

BAB 1 Bagian 5

"Oh…" Sejujurnya Ginnan merasa desain benda itu tidak kalah menarik dari cincin lamaran yang diberikan Renji padanya. Hanya saja benda lawas memang lebih kusam daripada benda baru. Itu wajar, dan membuat kedua matanya berbinar lembut saat memandanginya. "Ukurannya, pas? Tapi kenapa bisa?"

Nana mengendikkan bahu. "Tidak tahu? Mungkin kau memang jodoh puteraku?"

DEG

Ginnan pura-pura tak terbawa perasaan mendengarnya. Dia mengerjap dan mengangumi cincin wanita di jarinya. Tapi desain feminin itu tidak membuatnya aneh samasekali.

"Terima kasih, Ma," kata Ginnan. "Aku akan terus memakainya."

"Bagus," kata Nana. Lalu berbisik di telinganya. "Kalau kau belum tahu, benda ini ada jimatnya. Jadi pasti melindungimu dimana pun kau berada."

"Hahaha…" tawa Ginnan rendah. Dia tak tahu kalau Ryouta memandangi wajah cerahnya saat itu, begitu pun Renji yang baru kembali dari ruang tamu dengan membawa dua kado di tangan. Mereka memalingkan mata begitu Ginnan beralih fokus. "Ayah, hanya saja aku tidak punya benda apapun untuk diberikan," katanya sungkan. "Ibu juga…" Tengkuknya diusap-usap perlahan.

"Nanti aku yang mewakili," kata Renji. Dia meletakkan dua kado di kursi kosong dan duduk di sebelah sang kekasih.

"Eh? Tapi itu namanya darimu," kata Ginnan.

"Baik, memang kau mau berikan apa ke Ayah dan Ibu?"

Ginnan tampak ingin membantah lagi, namun mulutnya terkunci dengan sebal karena memang tak punya apapun. Uang saja tidak. "Kau—"

Nana pun tertawa melihat tingkah mereka berdua. "Sudah, sudah…" katanya. Renji dan Ginnan menoleh kepada wanita itu bersamaan. "Natal tahun ini cukup istimewa karena kalian datang. Jadi anggap itu hadiah meskipun awalnya kurang bagus. Kau setuju denganku kan, Sayang?"

"Hmm…" gumam Ryouta, lalu memandang Ginnan lurus-lurus. "Tapi aku tak menolak kalau tetap dimasakkan menu baru darimu."

"Ah…" Ginnan langsung garuk-garuk pipi. "Iya, Ayah. Haha… kalau begitu makan malam nanti aku yang membuatnya."

"Hm," sahut Ryouta lagi. Siapa pun di meja itu menyadari Ryouta sudah lebih santai menghadapi dua anak lelakinya sejak pulang kembali. Dia tak terlihat geli atau bagaimana menatap mereka. Dan meskipun Ginnan penasaran, dia hanya bisa memerah ketika pria itu mengizinkan Renji sekamar dengannya mulai hari ini.

Ryouta juga tak menolak bercengkerama dengannya saat berkumpul di ruang tengah. Mereka menghias pohon natal bersama, memasang bola-bola lampu, sementara Renji naik kursi untuk menaruh bintang terbesar di pucuk pohon.

Nana?

Wanita itu hanya sibuk membuat momen dengan kamera DSLR lawasnya, tertawa-tawa, dan menyuruh ini itu bagai bos sehari diantara tiga lelaki di sana.

"Baiklah, kalau Nan-kun sudah mau masak makan malam, maka aku yang akan membuat kue perayaannya," kata Nana. Pukul 9 setelah Ginnan mandi bersih nan wangi, wanita itu justru langsung menggandengnya ke dapur untuk bereksperimen dengan berbagai bahan makanan.

"Mama, tapi kan ini buat makan malam?" kata Ginnan. "Kenapa aku harus masak sekarang? Nanti kalau dingin, bagaimana?"

"Siapa yang bilang kau akan masak jam segini," kata Nana. "Aku kan ingin mengajakmu membuat kue bersama?"

"Oh…"

Ginnan semula ingin tersenyum, tapi dia langsung salah tingkah karena Nana ternyata sudah pasang kamera lagi di sebelah wastafel. Pasti momen mereka berdua akan direkam lagi.

"Kenapa? Tidak mau? Ayah dan Renji kan sudah kuberi tugas menghias seluruh rumah?" kata Nana.

Ginnan langsung gelagapan. "T-Tidak, bukan tidak mau. Tapi, umn… boleh aku memilih apron yang lain?"

Nana melihat apron bunga-bunga di tangan Ginnan yang baru dia berikan. Hanya sedetik, dia merebutnya lagi karena ingin memakaikannya kepada si calon menantu. Tak peduli, padahal Ginnan tampak menahan risih saat diperlakukan seperti boneka cantik. "Tidak boleh. Lagipula yang lain motifnya jelek. Kau mau pakai buah-buahan?"

Ugh. Ya ampun.

Tentu saja mau! Bagaimana pun buah lebih mending daripada bunga-bunga! Tapi Ginnan hanya diam dengan telinga memerah begitu apron ada di tubuhnya.

"O-Oke," kata Ginnan. "Baiklah, umn… ini juga tidak buruk."

Nana pun tertawa puas. Dia pasti sengaja. Ah... tolong. Ginnan tidak nyaman begini. Namun dia tidak di posisi beruntung yang bisa menolak perlakuan wanita itu. Kemarin Ginnan hampir tak bisa diterima di tempat ini. Jadi, ketika sudah berhasil... bagaimana bisa dia menyia-nyiakannya?

Ginnan menurut saja dimintai tolong ini itu. Padahal berat, apalagi Nana juga menyoroti wajahnya dengan kamera selama memasak mondar-mandir.

"Ah! Mama, jangan—"

"Ayolah, Sayang… Kalau kau dibawa pulang puteraku ke Jepang, video ini bisa kutonton kembali kalau merindukan kalian berdua—"

"Mama, w-wajahku… aku sangat berkeringat—"

"—Wah, bagus! Sekarang Nan-kun sedang memberikan topping kue dengan cokelat!" seru Nana riang. Dia mengabaikan semua protesan Ginnan. "Hohoho… fokusnya di dia saja, ya? Lihat calon menantuku akan membuat sebuah kue Natal lezat—"

Oh, ternyata. Ginnan juga dibohongi soal membuat makan malam saja. Hmmph…

Jujur, Ginnan sungguh lelah, namun dia tak boleh mengeluh. Terutama sampai sore, persiapan perayaan besar-besaran itu baru selesai. Nana yang hanya menenteng kamera kemana-mana seperti tak kehilangan energi. Dia tetap ceria. Tak tahu Ginnan menahan diri saat sudah menata semua piring di meja makan.

"Ibu, Veer tidak pulang hari ini?" tanya Renji.

Ginnan masih memakai apron saat Renji datang. Ya Tuhan...! Rasanya ingin segera pergi dari sana saja! Bagaimana tidak? Ginnan sungguh-sungguh yakin pria itu menatapnya dengan selidik sekarang.

"Iya, tadi Veer chat Mama kalau masih bersama Fei Long," kata Nana. "Dia mau merayakan Natal tahun ini berdua saja dengan pacarnya."

Ryouta yang tak kalah lusuh dari Renji muncul dari belakang dengan semua perkakas hiasan Natal. "Oh, jadi dia sudah punya pacar baru…" katanya. Pura-pura tidak tahu kalau Fei Long adalah lelaki juga. Mungkin karena pria itu sudah kebal dengan hubungan Renji dan Ginnan, maka jika Veer kini menjalin romantisme bersama pria, dia tak akan kaget lagi.

"Iya, Yah," kata Nana. Lalu memberikan nampan yang sudah kosong ke Ginnan. "Ini, Sayang. Bawa ke wastafel dapur, ya. Nanti kita cuci sama-sama kalau sudah kotor semua."

"Baik."

Ini kesempatan! Ini kesempatan!

Ginnan pun langsung pergi dari sana, melipir kabur dari tatapan mata Renji, lalu menyibukkan diri untuk beres-beres dapur. Ck… ck… semoga pria itu tidak punya fetish aneh dengan apron!

"Kau baik-baik saja?"

DEG

Suara Renji.

Ginnan yang sedang membilasi panci-panci dari sabun pun berdebar keras. Kenapa Renji mengikutinya sih?

"Ugh..." keluh Ginnan. Dia langsung menoleh ke belakang saat merasakan dua tangan kokoh memijit pelan bahunya yang pegal—oh shit! Sejak kapan dia datang? Ginnan belum sempat melepas benda penuh bunga-bunga ini!

"Iya, b-baik kok," kata Ginnan. Lalu mencoba menyingkirkan tangan Renji. "Ah! Sakit, Bodoh. Jangan lakukan itu sembarangan."

Renji tetap memijitnya, tapi kali ini dengan cara lebih lembut. "Kau terlalu memaksa diri," katanya. "Kalau tidak mau disuruh ini atau itu sama Ibu, bilang saja tidak bisa. Ibu pasti tidak akan lagi menyuruhmu."

Ginnan pun berdebar lebih keras ketika disun pipi dari belakang. "Ugh, menyingkir—kau hanya menggangguku di sini."