Kota M
Kamar Alrescha
Tut! Tut! Tut!
"Angkat, kumohon angkat-
Klik!
Deg!
[The number you call-]
Tut!
Sialan!
Alrescha mengumpat dengan perasaan kecewa, saat sambungan yang dilakukannya tidak diterima oleh gadis yang ditujunya.
Ia bahkan menghempaskan tubuhnya, kemudian tengkurap dan kembali mengulangi panggilannya kembali. Berharap, jika panggilan kali ini akan diterima oleh yang bersangkutan. Tapi sayang seribu sayang, hingga panggilan ke-tiga ternyata sambungannya belum juga diterima.
Helaan napasnya terhembus begitu saja, belum lagi rasa kecewa yang bercokol di hatinya. Padahal, ia sudah mengumpulkan keberanian untuk memulai panggilan, tapi ternyata keberanian saja tidak cukup.
Huft…
"Ya sudahlah, mungkin dia sedang sibuk," gumamnya kecewa.
Secepat ia kecewa, maka secepat itu pula ia kembali memiliki ide. Kalau panggilan tidak terima, siapa tahu dengan ia mengirim pesan maka gadis itu akan meresponnya.
Jari pun dengan lincah mengetik kata menjadi sebuah kalimat sapaan singkat, kemudian dengan harapan ia pun menekan tombol send pada layar handphonenya.
Centang dua dan artinya hanya menunggu sampai berwarna biru, maka artinya pesan dibaca. Sambil menunggu pesan dibaca, Alrescha memutuskan untuk membersihkan diri dan setelahnya ia pun memasuki ruangan lembab di kamarnya.
Beberapa saat kemudian…
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka, Alrescha keluar dari dalam sana dengan keadaan segar. Ia berjalan seraya mengeringkan rambutnya yang sedikit basah, kemudian bergegas menghampiri handphone yang ia letakan di atas ranjang.
Hatinya sudah tidak sabar untuk menerima pesan balasan. Namun, ia harus kembali merasakan kecewa, saat pesan atau bahkan tanda centang belum berubah warna.
Huft…
Arlrescha baru ini merasakan penasaran dengan seorang gadis dan sekalinya ia ingin mengenal, entah kenapa ia merasa seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka.
"Baiklah, mungkin dia sedang istirahat atau sibuk dengan keluarganya," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Setelahnya, ia kembali meletakan handphone dan memutuskan untuk menemui kakaknya. Ia merasa bersalah, karena sudah mengabaikan sang kakak karena percobaan menelpon yang gagal.
Dengan cepat ia memakai kaos polos abu-abu dan sebuah boxer, kemudian keluar dari kamar menemui sang kakak yang untungnya masih duduk santai di ruang tamu di bawah sana.
Ia bahkan bingung, dari mana ia mendapatkan kecepatan berlari dari bawah ke atas sini dan memasuki kamarnya bagai kesetanan.
Bahunya terangkat dan kemudian menuruni tangga santai, sedangkan sang kakak yang sibuk di sofa sana kini menatapnya bingung.
"Kamu kenapa sih, Al?"
"Tidak apa. Terus, kenapa Kakak memanggilku. Ada apa?" balas Alrescha balik bertanya.
"Oh iya. Coba sini, kamu harus tahu. Ini penting untuk masa depanmu," balas sang kakak seraya mengayunkan tangan seakan meminta sang adik untuk mendekatinya.
Alrescha menurut dan duduk berhadapan dengan sang kakak. Setelahnya, sebuah orbolan antara kakak adik ini mengalir seiring sang kakak banyak menjelaskan sesuatu kepadanya.
***
Mansion Grinson
Di ruang tamu, terlihat keluarga Grinson yang sedang duduk. Di antara mereka, terjadi percakapan yang lagi-lagi membahas masalah sang cucu dari keluarga kaya ini. Sedangkan yang dibicarakan, hanya bisa duduk sambil menatap pembicaraan datar.
Mau melawan percuma, karena perintah sang nenek adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
"Apa kamu dengar Nenek, Gretta?"
Tuguran dari sang nenek—Karina, membuat Gretta yang terdiam menatap datar hanya balas dengan anggukan kecil, sebelum kembali diam layaknya patung.
"Besok kamu kuliah dan sampai kamu menikah nanti, Nenek akan memberikan kamu kebebasan," perintah Karina "Dan jika Tuan Adrean mengajak, kamu harus segera mengiyakan. Paham?" imbuhnya tegas.
Kembali Gretta mengangguk kecil dengan hati menjerit mendengar perintah neneknya yang seenaknya. Bagaimana bisa ia pergi bersama seorang pria yang tua seperti itu, meskipun ia ini calon istrinya.
"Ya sudah. Kamu pergi tidur dan jadilah cucu yang berguna untuk keluarga ini. Semuanya akan menjadi milikmu, jika kamu diam dan menurut," perintah Karina seraya memasang tatapan tajam, menuntut.
Tanpa kata terucap, Gretta beranjak dari duduknya dan berdiri di depan dua wanita yang duduk di hadapanya. Ia pun menunduk singkat dan kemudian meninggalkan ruang tamu tanpa diperintah dua kali.
Gretta juga menaiki anak tangga satu per satu, setelah mengangguk kecil dan memberikan senyum menenangkan saat melihat nanny yang mengurusnya itu menatapnya khawatir.
Sampai di depan pintu kamarnya, Gretta diam menyendarkan keningnya di sana sebelum akhirnya menghembuskan napas dan memasuki kamarnya segera.
Ceklek!
Blam!
Sampai di dalam kamar, Gretta segera menghempaskan tubuhnya di ranjang empuknya. Ia juga segera melesakkan wajahnya di sana dan memejamkan matanya sejenak, sebelum kembali terbuka lalu bergulir memeriksa berniat handphone yang sengaja ditinggalnya.
Tangannya terulur mengambil benda sejuta umat itu, kemudian mengenyit saat mendapati panggilan dari nomor baru dan juga nomor kak Ayana yang turut mengiriminya pesan.
"Huh! Nomor siapa ini?" gumam Gretta bingung dan penasaran.
Ia memutuskan untuk lebih dulu membuka dari nomor yang dikenalnya, kemudian membaca pesan yang tertera dengan netra membulat, kaget.
"Hiee…, Kak Aya kasih nomor aku ke Al? Apa jangan-jangan nomor yang menghubungiku juga dia?" pekiknya tidak percaya.
Maka itu, ia pun membuka pesan dan menemukan sebaris ucapan singkat serta nama di bawah pesan.
Apakah ini benar Gretta?
Ini aku, Alrescha.
"Ternyata benar. Ah! Dia menghubungiku dari dua jam yang lalu ternyata," lirihnya.
Tidak ingin membuat pria yang telah membuatnya tersenyum mengiranya sombong. Gretta pun memutuskan untuk menghubungi balik nomor yang tertera dan menunggu panggilannya diterima.
Ia menunggu hingga akhirnya panggilan dijawab oleh operator dan mendesah kecil, menebak jika pria itu sedang sibuk atau justru sudah istirahat.
"Tidak diterima. Apa aku coba lagi?" tanyanya pada diri sendiri "Ah! Dia bahkan menghubungiku hingga tiga kali. Sebaiknya aku hubungi sesuai dia mencoba menghubungiku," putusnya kemudian.
Maka dari itu, Gretta pun kembali menekan tombol panggil dan hingga nada sambung ke sekian, ia hampir saja memutus sambungan. Namun, sebuah barithone dingin namun terdengar lembut menerima sambungannya.
[Halo. Gretta?]
Senyum tak mampu ditahan oleh Gretta. Padahal, beberapa saat lalu ia baru saja menekuk bibirnya sedih, tapi saat ini ia sudah tersenyum kembali hanya karena pria itu akhirnya menerima panggilan darinya.
"Ya, ini aku," sahut Gretta singkat "Kamu menghubungiku ya? Tadi aku ada kumpul keluarga, maaf," lanjutnya menyesal.
Maaf adalah kata yang paling anti diucapkan Gretta sama seperti terima kasih dan tolong. Namun, entah mengapa ia tidak keberatan jika itu pria di seberang sana.
[Tidak masalah, Gretta. Aku yang minta maaf karena mengganggumu. Aku juga meminta nomormu kepada Kak Ayana.]
"Tidak masalah. Aku tidak keberatan, Al."
[Lalu, sedang apa kamu?]
Bersambung