Jasmine bergidik ngeri, sudah beberapa kali ia terjebak dalam situasi seperti ini. Bersama pria paling mesum di dunia. Beberapa kali pula Jasmine berhasil meloloskan diri. Pertahannya sempat melemah karena semalam Leonardo tidak mengusiknya.
Kini, dalam keadaan seperti ini, bisakah Jasmine kembali lolos?!
"Leon kau brengsek!" umpat Jasmine, ia melotot galak ke arah Leonardo.
Jasmine memeluk Paper bag semakin erat, membuat kertasnya lusuh. Wanita itu menggeram kesal, kesal karena dengan bodohnya ia lengah saat menghadapi Leonardo.
Apa yang harus aku lakukan? Jasmine melirik ke arah pintu keluar yang tertutup.
"Kemari, Baby!!" seru Leonardo, tubuh kekarnya merangsek maju.
Jasmine terdiam sesaat sebelum akhirnya berseru sangat lantang sembari menunjuk ke arah jendela. "LIHAT!! ADA UFO!!"
Leonardo latah, pria itu ikut menoleh ke arah jendala yang ditunjuk oleh jari Jasmine. Jasmine tak menyia-yiakan kesempatan itu. Ia melingsut cepat kilat dan membuka pintu. Leonardo sempat hampir menangkapnya, tapi Jasmine berhasil berkelit ke bawah. Ia berhasil menekan handle pintu. Pintu kayu terbuka. Jasmine menahannya dengan tongkat besi —untuk menarik benda pada lemari paling atas. Menyelipkan tongkat pajang itu dari handle ke kusen pintu.
Cepat-cepat Jasmine mengeluarkan pakaian ganti dari paper bag. Linggerie maroon dengan cd g-string warna senada, ada baju dress tank top midi dengan rok ketat model span berwarna merah menyala. Betapa murkanya Jasmine, baju apa ini?!
"Sialan aku lupa pria itu sangat mesum." Jasmine tetap mengenakan linggerie itu, lebih baik dari pada tidak memakai dalaman apapun.
"Wanita sialan!! Buka!!" Leonardo berteriak dari dalam kamar mandi. Pintunya terganjal besi, ia terus menggedor pintu sambil menariknya, tak peduli rusak atau tidak yang penting bisa segera melepaskan diri.
"Argh ... shit!!" Jasmine cepat-cepat menarik gaun merah itu dan memakainya. Ia menggunakan kemeja putih Leonardo sebagai luaran, untuk menutup pundaknya yang terbuka.
"BUKA!! JASMINE BUKA!!" Leonardo mulai marah, ia menendang pintu kayu itu. Untunglah pintu dikerjakan oleh tukang terbaik, jadi tidak mudah jebol. Jasmine punya waktu sedikit lebih lama.
"MESUM BRENGSEK!! JANGAN COBA-COBA LAGI MENCARIKU!" Jasmine berteriak, ia menyahut tas dan juga botol vitamin.
"BERHENTI WANITA SIALAN!! Kau mau kemana?" Leonardo mulai gemas, ia mundur mencari ancang-ancang untuk menambah tenaga sebelum menendang pintu sekuat mungkin.
Jasmine berlari keluar, memakai sandal kamar. Di tengah lorong ia bertemu dengan Carl, pria tua itu tampak bingung. Apa majikannya kini bermain kucing-kucingan juga dengan wanita mainannya?
"Nona? Anda mau ke mana? Saya bawakan sarapan." Carl mendorong troli nampan.
Mendengar kata sarapan langkah kaki Jasmine langsung berhenti. Perutnya kroncongan, secepat kilat wanita itu mundur, membuka tudung makanan. Ada sendwich berisi ham dan juga keju, lalu susu hangat, beberapa potong jenis buah-buahan segar. Jasmine mencomot satu slice sendwich, lalu memakannya, menenggak susu sembari kembali berlari. Menuruni tangga lengkung yang indah.
"Anda bisa tersedak, Nona!!" teriak Carl.
Jasmine tak peduli, ia tetap berlari sambil mengunyah sendwichnya. Beberapa orang pelayan lain yang sedang membersihkan ruangan terlihat bingung. Siapa dan kenapa ia berlari dengan sangat terburu-buru?!
Jasmine terus berlari, dengan serandal bulunya yang hangat. Serandal kamar, satu-satunya yang bisa ia kenakan sebagai alas kaki. Jasmine menerobos pintu gerbang. Beberapa sekurity rumah Leonardo terperangah, baru saja hendak menyeruput kopi di pagi hari, tiba-tiba saja ada kucing besar lewat. Kopi panas itu muncrat dan melukai mereka.
"TAXI!!!" Jasmine mencegat Taxi yang kebetulan berada di dekat rumah Leonardo.
"Cepat Pak!! Cepat!! Ke mana saja! Cuss!! Pergi dari sini!!" Jasmine menepuk-nepuk bahu supir Taxi.
"Baik, Nona." Taxi melaju.
Yes!! Selamat!! Jasmine menghenyakkan punggungnya pada kursi Taxi, merasa telah lolos dari terkaman hewan buas. Bahunya masih bergerak naik turun, lelah.
Di sudut lain rumah Leonardo, pria itu baru saja menjebol satu pintu dengan tendangannya. Pintu itu roboh setelah tiga kali tendangan.
"JASMINE!!!" jeritnya geram.
Wanita brengsek itu!! Bisa-bisanya dia mempermainkanku!! pikir Leonardo. Di dalam taxi, bulu kuduk Jasmine berdiri.
"Tuan Leon?! Anda kenapa?" Carl memasukki kamar, disusul oleh Kato dan Kesya.
Ketiga pengikut setianya itu begitu kaget mendengar suara gaduh, jadi memutuskan untuk masuk ke kamar Leonardo.
"Di mana wanita itu?"
"Nona Jasmine?" Kesya menatap Kato, Kato menatap Kesya lalu mengangkat bahu. Keduanya ada di ruang kerja dari tadi.
"Dia pergi setelah memakan sarapannya, Tuan." Carl menunjukkan gelas susu yang berkurang separuh dan roti isi yang tinggal selapis.
"Ck, sialan! Dia bahkan sempat makan! Benar-benar wanita unik yang menyebalkan!! Seharusnya aku tak memberinya belas kasihan semalam?!" Decak Leonardo, ia menendang troli sampai jatuh. Bunyi pecahan dan perkakas bergerombyang. Leonardo mengusap rambutnya gusar, satu kali lagi, ia dipermainkan oleh seorang wanita polos yang hobi mengumpat.
ooooOoooo
Jasmine bergegas masuk ke dalam rumahnya, mengunci pintu dan menutup semua gorden. Tak lupa mengecek semua kunci pada jendela-jendela.
"Argh!! Manusia mesum itu membuatku kesal!" seru Jasmine, ia menghabiskan langsung satu gelas air putih tanpa jeda.
Mata Jasmine menangkap surat pemberian Rafael. Tertempel pada pintu lemari pendingin. Jasmine menyahut dan membaca isinya. Hatinya sedikit lega karena ternyata Rafael pergi bekerja, pantas saja dia tak khawatir. Rafael tidak tahu kalau Jasmine tidak pulang semalam. Tapi di lain sisi Jasmine juga sedikit sebal, kenapa Rafael sama sekali tak punya waktu untuk sekedar bertanya kabarnya? Kalau dipikir-pikir, selama ini selalu Jasmine yang mengirimkan text atau menelepon terlebih dahulu. Apa benar, hanya Jasmine yang peduli? Apa benar, hanya Jasmine yang merindu?
"Jangan lupa minum vitaminnya," kata Jasmine menyuarakan isi surat.
Jasmine langsung teringat dengan vitamin pemberian Leonardo, lalu menyahut botol vitamin di atas meja makan. Sama persis, Rafael telah membuka segelnya walaupun baru saja terbeli. Jasmine mengeluarkan beberapa butir milik Rafael dan membandingkannya dengan milik Leonardo. Berbeda, baik bentuk, warna, dan juga baunya. Milik Leonardo lebih menyengat.
"Vitamin apa yang kau berikan padaku, El?" Bahu Jasmine melemas. Apa yang diberikan suaminya selama ini? Satu tahun Jasmine meminum semua tablet itu, setiap hari tanpa jeda. Ia bersyukur karena suaminya begitu perhatian, jadi tanpa ragu, tanpa bertanya Jasmine menenggaknya.
Jasmine bergegas mengganti pakaian, ia harus memastikan sendiri obat apa yang diberikan Rafael kepadanya. Karena terlalu terburu-buru kabur, wanita itu belum melepaskan price tag dari gaun merah pemberian Leonardo.
"Sepuluh juta?? Tunggu!! Aku pasti salah lihat." Jasmine mengucek matanya, lalu mulai menghitung angka enol.
"Satu, dua, tiga, ..., tujuh!! Enolnya benar-benar ada 7! Bagaimana mungkin pakaian kurang bahan bisa semahal ini?!" seru Jasmine sambil menggerutu, pasalnya model baju itu memperlihatkan paha dan juga bahunya,
Hanya butuh sedikit bahan untuk membuat gaun itu, lantas kenapa harganya mahal?!
Jasmine berhenti mengeluh, ia masih harus melakukan hal lain yang jauh lebih penting. Jasmine menyelipkan sembarangan gaun merah itu ke dalam lemari lalu bergegas untuk mandi.
Obat apa? Obat apa yang kau berikan padaku, Rafael?! pikir Jasmine di bawah guyuran shower.
Setelah mandi. Cepat-cepat Jasmine berkemas, ia hendak pergi ke apotek terdekat. Tak lupa Jasmine membawa dua botol vitamin yang sama dengan isi berbeda itu. Ia menuju ke apotek yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
"Apa vitamin ini punya varian lainnya?" tanya Jasmine pada petugas apotek.
"Tidak, hanya satu varian saja Nona," jawab sang apoteker.
"Kau yakin?"
"Sangat." Senyumnya.
"Eum ... apa bisa kau selidiki kandungan obat ini?" Jasmine mengeluarkan beberapa butir tablet berwarna putih ke tangan sang apoteker.
"Akan aku coba, tapi butuh waktu."
"Baiklah, tolong kabari aku ya bila sudah keluar." Jasmine memberikan nomor ponselnya.
"Baik, Nona."
Jasmine duduk menikmati secangkir kopi panas sambil menunggu hasil kandungan obat itu keluar. Ia duduk pada cafe di seberang apotek, duduk di depan dinding kaca besar yang langsung memperlihatkan kemacetan jalan dan juga riuhnya hiruk pikuk kehidupan ibu kota.
Breaking news membahas kematian Wakil walikota, dan juga reklamasi teluk menjadi pusat hiburan kelas atas terdengar dari televisi pada cafe. Suaranya terdengar sayup-sayup.
Dengan hati cemas Jasmine menunggu. Masih menaruh harapan besar kalau Rafael tak mungkin memberinya sembarangan obat. Lagi pula apa alasannya? Kenapa harus mengganti obat itu?
Jreeeesss!!!
Hujan? Jasmine terperanjat. Belum lama ia melamun, hujan telah turun dengan deras.
Bunyi petir mulai saling bersahutan, berjuta-juta butiran air turun membasahi bumi. Menimbulkan aroma khas yang menggelitik kenangan. Begitu pula dengan otak Jasmine, ia mulai mengenang kebersamaannya dengan Rafael. Bagaimana senyuman pria itu, bagaimana guratan wajah pria itu, bagaimana dengan tatapan mata dan juga suara napasnya.
Aku merindukanmu, El. Jangan sampai kecurigaanku ini terbukti, pikir Jasmine.
Air mata menetes dari mata bulatnya, berbarengan dengan suara panggilan dari ponsel.
Apotek Selalu Sehat is calling ....
Jasmine mengusap air mata dan bergegas mengangkatnya. Suara dari seberang ponsel terdengar. Air mata Jasmine kembali menetes.
"Itu obat pencegah kehamilan, Nona," jawabnya.
"Apa?" Jasmine menutup mulutnya yang mengangga.
"Dikomsumsi dalam jangka panjang bisa berbahaya bagi rahim. Salah-salah Anda tak akan bisa mengandung lagi. Sebaiknya Anda berhenti mengkomsumsinya tanpa petunjuk dokter," tambahnya.
"Be ... benarkan?" Jasmine meneteskan air mata, lidahnya kelu, tenggorokkannya seakan tercekat sesuatu.
Panggilan telah terputus. Hujan turun semakin deras. Jasmine tertunduk, masih dengan dada yang begitu sesak.
"Kenapa? Kenapa, El?? Kenapa kau setega itu?!" lirih Jasmine, hatinya sakit, hatinya sesak, hatinya terluka.
ooooOoooo
Up up up!!
Vote vote vote!!!
Comment comment!!!
Banyakkan y!!!
💋💋💋