Setiap manusia punya pola hidup, punya kebiasaan, punya posisi tetap, kadang hal sesederhana itu luput dari perhatian. Manusia cenderung menikmati apa yang mereka sebut zona nyaman. Misal, bangun tidur pukul 5 pagi, minum kopi sebelum beraktifitas, biasa naik bis pukul 7, duduk di deret kursi tepat di belakang sopir, makan sambil berjalan ke kantor, dan lain sebagainya. Tanpa kita sadari manusia memang membentuk pola, bagian yang terus diulang-ulang setiap hari, setiap waktu.
Jam berapa kita makan, dengan tangan mana kita makan. Bahkan sampai jam berapa kita buang air, semua itu adalah kebiasaan. Hal sederhana itulah yang sedang dipelajarai Rafael saat ini, mengamati korban, mempelajari pola kehidupannya. Juga bagaimana kebiasaan-kebiasaan bocah itu dan pengawalnya selama ini. Sama separti Rafael tahu, bahwa wakil walikota selalu duduk pada sebelah kiri, bukannya di belakang sopir.
King, mantan ketua Tim Omega adalah seorang pengintai yang handal. Rafael mempelajari teknik pengintai kebiasaan dan pola hidup manusia dari King.
"Hidupkan ponsel pintarmu, El. Aku mengirimkan file." Albert berbicara dari ponsel jadul lawas, mereka selalu menggunakan ponsel lama karena lebih sulit terlacak dibanding ponsel pintar masa kini.
Hasil penelusuran orang bernama 'Wijaya' down loading ....
Rafael menghidupkan ponsel pintarnya. Albert memberikan hasil pencarian pada orang-orang bernama Wijaya yang mungkin saja dikenal olehnya. Rafael mengentikan pengamatannya pada target, mencoba fokus dengan nama-nama itu. Ia merasa tak pernah mengusik siapa pun, apalagi orang dengan nama Wijaya.
"Ada ratusan nama Wijaya, El. Namun menurutku yang bisa menggerakkan anggota mafia hanya 5 orang saja." Albert mempersempit ratusan nama-nama itu.
"Alexandro Wijaya, CEO grup Wijaya. Berumur 72 tahun." Albert memunculkan wajah pria tua itu, Rafael mengeryitkan alis, merasa tidak mengenal pria itu.
"Next, Lexandro Wijaya. Anak pertama Alexandro. Ia pemilik dari Grup Wijaya yang berbasis pada bisnis property." Albert menayangan sebuah foto. Lagi-lagi, Rafael merasa tidak mengenalnya.
"Next, Alexiana Wijaya, anak ke dua. Wanita yang cantik, apa kau menggodanya? Dia pemilik rumah sakit dan pengelola yayasan amal grup Wijaya." Albert mengirimkan foto seorang wanita cantik berusia 33 tahun.
"Tidak, aku tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun selain Jasmine," jawab Rafael.
"Hei!! Aku wanita!" tiba-tiba Regina bergabung dalam pembicaraan mereka.
"Kau tidak masuk hitungan ular! Kau bukan wanita." kikih Albert.
"Oh, ya?! Lalu siapa yang menikmati percintaan sampai berteriak-teriak 'Fuck me harder, Baby!! Fuck me!!' Huh?!" ledek Regina. (Sepertinya terbalik, biasanya wanita yang menjerit seperti itu, tapi memang Regina lebih manly dibanding Albert.)
"Jangan ungkit dosa masa laluku! Aku khilaf saat itu." Albert menepis ledekkan Regina.
"Khilaf apa yang terjadi ratusan kali?!"
"NEXT!" seru Rafael, ia mulai pusing saat kedua temannya beradu mulut.
"Next, Melani Wijaya, istri Alexandro Wijaya. Tante kaya raya yang hobi bermain mahyong. Tak ada yang istimewa darinya selain suka menghamburkan uang. Apa kau pernah mengusiknya? Tak ada salahnya menjadi sugar baby-nya, El. Uanganya banyak, kau bahkan bisa berhenti berburu manusia dan hidup mewah." Albert terbahak, membayangkan Rafael menjadi peliharaan seorang tante girang.
"Jangan-jangan kau yang terobsesi jadi sugar baby?" Rafael membalas Albert, kini giliran Regina yang terbahak lantang.
"Sialan!"
"Siapa yang terakhir?" tanya Rafael.
"Leonardo Wijaya, anak ke tiga dari Alexandro Wijaya. Dia pemilik Wijaya Grup yang berbasis pada treading, sekuritas, dan hiburan. Semua anak perusahaan Wijaya dikelola olehnya. Lulusan terbaik jurusan bisnis dan ahli bela diri Muang Thai. Menurutku dia yang paling dekat dengan dunia hitam bila ditilik dari bisnisnya." Albert mengirimkan foto Leonardo.
"Daebak!! Dia tampan sekali," sahut Regina.
"Kau mengenalnya, El?"
Rafael mengamati foto Leonardo beberapa saat. Sekali lagi, Rafael tak pernah menemui pria ini apalagi sampai berurusan dengannya. Lagi pula apa yang pria kaya ini inginkan dari pengangguran seperti dirinya? Rafael tak pernah tahu, kalau ternyata pria ini begitu menginginkan miliknya yang berharga, siapa lagi kalau bukan Jasmine. Dengan kuasa dan kekayaannya ia akan mendapatkan Jasmine bagaimana pun caranya.
"Tidak, aku tak mengenalnya."
Triiing ....
JASMINE IS CALLING ....
Rafael hampir saja melemparkan ponsel pintarnya sangking kagetnya dengan bunyi panggilan masuk.
"Aku matikan dulu Guys, Jasmine meneleponku." Rafael menutup ponsel jadul berbentuk flip.
Setelah mengambil napas panjang, Rafael mengangkat panggilan Jasmine.
"Hallo, Jas."
"Kau di mana?"
"Aku di toko buku, sedang mencari cet akrilik." Rafael berbohong, dia ada di lantai 4 parkir mobil sebuah Mall. Mengamati targetnya yang sedang bermain di playground.
"Kau sudah makan siang? Bagaimana kabarmu?" tanya Jasmine.
"Sudah, baik, kau?"
"El, apa kau mencintaiku?" tanya Jasmine tiba-tiba, ia tak menjawab pertanyaan Rafael.
"Kenapa tiba-tiba bertanya hal yang sudah pasti?!" Rafael mengusap dahinya, ia duduk berjongkok sambil bersandar pada pilar.
"Aku hanya ingin tahu, hanya ingin mendengarnya." Suara Jasmine melemah, ia sedang berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak turun.
"Jas ... kau kenapa?"
"Ayo kita punya anak, El. Ayo kita punya anak. Apa kau mau?" Jasmine menguji Rafael.
"Bukankah selama ini kita tidak menggunakan pengaman, Jas. Mungkin Tuhan lah yang belum memberikan berkat untuk kita, bukan aku yang tidak mau." Rafael mendadak gusar, tak biasanya Jasmine rewel seperti ini. Apa yang sedang terjadi?
"Kau benar, Tuhan yang belum memberi berkat, El."
"Ada apa denganmu hari ini, Jas? Apa kau sakit? Lelah? Kenapa kau merancau tentang anak?" tanya Rafael.
"Aku seratus persen sadar dengan apa yang aku ucapkan, El. Aku tidak merancau!!" Jasmine mulai terisak.
"Lalu apa maumu, Jas!"
"Aku ingin tahu, apakah kau mencintaiku? Atau hanya aku yang mencintaimu?" Jasmine tersenyum sumbang sembari menghapus air matanya.
Rafael terdiam, apa dia mencintai Jasmine?
"Katakan kau mencintaiku, El!! Katakan!!" renggekkan Jasmine membuat semua orang di cafe menatap ke arahnya, mereka menganggap pertengkaran pasangan yang wajar dan kembali berkutat pada kopi masing-masing.
"Jas!! Kenapa kau rewel sekali hari ini?!"
"Aku hanya minta kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Apa susahnya?!" jerit Jasmine sambil terisak.
Aku bahkan bisa memaafkanmu bila kau mengatakannya, El. pikir Jasmine, hatinya terasa semakin sesak dan berat. Jasmine begitu mencintai Rafael. Tiap kenangan yang mereka habiskan bersama terasa begitu indah bagi Jasmine. Sekarang, bahkan Jasmine merasa tak mengenali siapa suaminya?!
"Aku harus bekerja, beristirahatlah. Aku akan segera pulang." Rafael menutup panggilannya.
Ponsel pintar melorot dari telinganya. Benda pipih itu terjatuh saat tangan Jasmine melemas. Wanita itu menarik tas dan berjalan lemas meninggalkan cafe. Di luar hujan masih menghujam bumi. Jasmine berjalan menembus dinding air itu. Menikmati guyuran air hujan membasahi tubuhnya. Berharap butirannya bisa membasuh segala kesesakkan ini.
Jasmine selalu melakukan hal ini saat ia bersedih. Pola hidup, kebiasaan Jasmine saat merasa sesak. Hujan, benar, hujan adalah teman yang baik saat kesedihan itu muncul. Membantu menyembunyikan air mata, membantu menyembunyikan teriakan kesedihan, membantu mendinginkan kepala. Memeluk tubuh dengan rinainya yang lembut.
Apakah benar, Rafael tak pernah mencintainya?
Rafael tak menginginkan seorang anak? Apa alasannya? Keuangan? Kalau memang mau menunda momongan kenapa ia tak pernah berdiskusi pada Jasmine?! Kenapa memutuskannya secara sepihak.
Apa sebenarnya yang ada dalam benak Rafael selama ini? Apa dia menerima Jasmine hanya karena lelah dengan sikap Jasmine yang kekanakkan?
Kenapa? Banyak sekali pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Jasmine.
Jasmine berjalan sepanjang terotoar, tak peduli dengan pandangan manusia lainnya. Pandangan penuh keheranan karena wanita itu berjalan di tengah hujan sambil melamun.
TIN!! Klakson mobil meraung.
Jasmine tanpa sadar menyebrang jalan padahal lampu merah menyala bagi pejalan kaki. Sebuah mobil hampir menabrak Jasmine. Beruntung saja sebuah tangan kokoh menarik sikut lengannya. Jasmine selamat, pengemudi mobil mengumpat marah.
Jasmine tertarik masuk dalam pelukkannya. Aroma parfume mahal yang maskulin menggelitik hidung Jasmine. Jasmine hapal betul dengan baunya. Semalam ia tidur dengan bau yang sama menempel pada tubuh pria itu. Dalam dinginnya hujan dekapan pria itu mampu membuatnya merasa hangat. Apa otak Jasmine sudah rusak? Kenapa ia justru mempererat pelukkannya.
"Leon."
"Dasar!! Wanita bodoh dan menyebalkan!! Tapi kenapa aku begitu menginginkanmu!" Leonardo memeluk Jasmine.
"Karena kau sama bodohnya denganku." Isak Jasmine dalam pelukan Leonardo.
"Kau benar! Ni iru hejmen! (Ayo kita pulang!)" Leonardo menggendong Jasmine menuju ke arah mobilnya, Jasmine melingkarkan tangannya erat pada leher Leonardo. Menyembunyikan wajahnya yang menghangat pada dada bidang sang singa.
ooooOoooo
Duh, adegan uwu sama micinnya next episode ya Bellecious.
💋💋💋💋
Votenya jangan lupa.