webnovel

Usaha

Andre menatap Celine dengan penuh rasa iba. Dia ingin membantu lebih banyak tetapi belum mampu. Sebagai atasan, lelaki itu hanya bisa mengupayakan yang terbaik sebisanya.

"Ini bisa saya ajukan lewat koperasi. Tapi mungkin prosesnya lama dan belum tentu disetujui."

"Gak apa-apa, Pak. Saya sabar menunggu," jawab Celine.

"Jumlahnya mungiin gak banyak. Maksimal hanya tiga juta. Itu juga nanti gaji kamu dipotong setiap bulan. Kamu mau?" jelas Andre pelan.

Celine adalah karyawan yang sangat kritis jika menyangkut soal keuangan. Jumlah bonus dan luang lembur saja dia hafal jumlahnya. Itu juga tidak boleh kurang, kalau bisa lebih.

Andre mengerti. Gaji sejumlah itu dipakai untuk menghidupi dan memberi makan banyak mulut. Jika dia menjadi Celine, lelaki itu pasti akan stres setiap hari memikirkan bagaimana mengelolanya.

Penghasilannya yang cukup lumayan saja masih terasa kekurangan jika menuruti kehendak istri di rumah. Entah bagaimana caranya hingga Celine bisa bertahan hidup. Dia tak habis pikirndan juga salut dengan keberanian bawahannya yang satu itu.

"Tapi, Elin butuh cepat, Pak. Apa ada pinjaman lain untuk karyawan?" Setengah memohon dia berkata. Wanita itu bingung hendak ke mana mencari biayanya.

"Gak ada, Lin. Hanya itu pinjaman koperasi. Kita ini cuma toko, bukan bank." Andre kembali menjelaskan.

"Yaudah, Pak. Elin tetap ajukan saja. Mudahan lolos. Bantuin Elin ya."

Celine terlihat tak bersemangat. Wajah cantik itu seketika menjadi lesu. Jika sudah begini, hati siapa yang yang tidak luluh melihatnya. Ditambah dengan kehidupan yang berat, semua orang yang mengetahui pasti dengan ringan tangan akan membantu.

"Pasti. Kamu salah satu tim terbaik saya. Apalagi saat ini kamu sedang ada musibah, saya pasti bantu. Tapi, saya tidak bisa janji cepat. Mungkin sekitar dua atau tiga bulan. Semoga bisa lebih cepat. Saya usahakan."

"Terima kasih, Pak."

* * *

"Elin, ayo masuk! Tumben datang ke sini. Ada apa. Kangen sama mas, ya?"

Broto menyambut kedatangan gadis pujaannya di depan pintu. Wajahnya begitu sembringah, berseri-seri saat si cantik itu muncul. Dalam hati lelaki paruh baya itu berkata, mimpi apa dia semalam.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tidak usah dicari malah datang sendiri. Broto menyambut Celine dengan tangan terbuka. Pikirnya, kalau bisa langsung ditangkap, kenapa tidak?

Celine berjalan masuk. Berat hati, tapi akhirnya dia melangkah juga ke rumah Broto. Tangannya berkeringat dingin. Datang ke sini sama saja dengan masuk ke kandang harimau dan menyerahkan diri sebagai umpan. Siap atau tidak kemungkinan hanyalah satu, menjadi santapannya.

"Elin datang ke sini, soalnya ada yang mau dimintain tolong sama Bapak."

Mereka duduk bersebelahan. Broto memang sengaja mengambil posisi yang nyaman agar bisa berdekatan dengan gadis itu. Kesempatan tidak datang dua kali, kan?

"Oh, ya? Ada apa, Sayang?"

Broto terbelalak, tak menyangka jika Celine akan berkata seperti itu.

"Apa yang bisa mas bantu untuk kamu?"

Seketika perut Celine menjadi mual mendengar perkataan Broto tadi. Mungki dia tiba-tiba terserang asam lambung. Mas? Ini orang ingat umur apa tidak, ya.

"Begini, Pak. Eh, Mas." Celine dengan lancar menceritakan semua secara detail tentang kecelakaan yang dialami Putri.

Broto hanya mengangguk dan mendengarkan saat Celine berbicara. Sesekali senyuman terukir di wajahnya. Tanpa dijelaskan panjang lebar pun, dia sudah tau apa maksud gadis itu datang ke rumahnya.

"Elin butuh biaya buat bayar sisanya, Mas."

Celine mengucapkan itu sembari menelan ludah. Berat rasanya untuk memanggil pak tua itu dengan sebutan 'mas'. Dia tahu resikonya apa jika berhubungan dengan lelaki itu. Namun, tidak ada jalan lain untuk biaya kesembuhan Putri.

"Sepuluh juta itu banyak. Sama dengan uang sepuluh pintu kontrakan saya sebulan."

Broto memilin kumis dan sesekali mengusap jenggotnya. Lelaki itu menimbang, apakah akan memberikan uangnya secara percuma atau meminta imbalan atas bantuannya.

Celine terdiam. Dia tahu jika Broto pasti mempunyai uang sejumlah itu, bahkan mungkin lebih. Tanahnya saja masih banyak. Belum ternak sapi dan kambing. Dia termasuk salah satu juragan yang cukup disegani di daerah sini.

Jelas saja, asetnya berlimpah. Banyak wanita yang ingin menjadi istrinya. Hanya saja Broto sudah terlanjur cinta mati kepada Celine. Selama gadis pujaannya itu belum menikah, dia akan terus mengejar. Bahkan jandanya pun akan ditunggu.

"Iya, tolong bantuin Elin ya, Mas. Elin gak tau lagi harus minta tolong ke siapa," lirih Celine. Semoga kali ini dia bersedia membantu.

"Bisa saja sebenarnya. Tapi, jumlah segitu tidak sedikit. Mas juga muter-muterin uang buat usaha. Lagi pula kamu pinjamnya lama. Belum tentu bisa balik cepat. Ya, kan?"

Nada suara Broto terdengar memojokkan. Sebenarnya apa yang lelaki itu ucapkan memang benar. Celine juga tidak akan mampu membayar dalam waktu yang cepat.

"Iya, Elin tau. Tapi, tolong ya, Mas. Sekali ini aja. Mas gak usah jadi donatur lagi tiap bulan. Anggap saja ini di depe."

Celine begitu berharap. Begitu saja lebih baik. Dia ambil diawal semua uangnya untuk sepuluh bulan ke depan.

"Hem ... Mas bisa saja pinjamkan sekarang. Tapi paling tidak ada jaminan begitu. Bukannya mas gak percaya sama kamu."

Broto tersenyum licik. Sepertinya dia merencanakan sesuatu.

Celine terdiam. Menarik napas panjang.

"Mas kan tau kami gak punya apa-apa. Rumah saja ngontrak. Apa yang Elin bisa jaminkan?"

Matanya menatap Broto lekat. Tak bisakah dia berbaik hati? Sulitnya meminta tolong kepada orang lain di saat kita kesulitan.

Broto mulai mendekat sembsri mengusap kedua telapak tangannya.

"Gini, Elin kan tau kalau mas sayang sama kamu." Tangannya mulai meremas jemari gadis itu.

Celine bergidik ngeri. Dia segera menepiskan karena tak rela disentuh.

"Eh, itu--"

Celine perlahan mulai menghindar, menggeser duduk agar sedikit berjauhan. Broto sendiri malah semakin merapat.

"Mas kesepian, Lin. Bertahun-tahun sejak kepergian istri. Mas mendambakan kamu," bisiknya.

Celine ketakutan dengan tubuh gemetaran. Peringatan keras sudah berbunyi sedari tadi di kepalanya. Hanya wanita itu tidak mengindahkan dan masih saja bertahan di sini. Berharap mendapatkan bantuan, yang justeru mengancam kehormatan.

"Bapak mau apa?"

Celine kembali menepis tangan Broto, saat lelaki itu nekat memegangnya.

"Elin maukan jadi pacar Mas? Mas janji bakal nikahin Elin. Nanti kamu mau minta apa aja mas kasih."

Tangan Broto kini beralih memeluk pundak Celine. Sedikit lagi gadis ini akan berada di dalam dekapannya.

"Enggak!"

"Lin mau minta uang berapa? Sepuluh juta itu kecil, Sayang. Mas bisa kasih lebih. Berapa aja yang kamu mau," bisiknya.

"Eh, Pak. Lepasin tangannya. Saya gak suka dipeluk."

"Elin butuh uangnya sekarang, kan? Ayo kita ambil. Tapi, temenin mas dulu di dalam."

Tangan nakal Broto mulai turun ke bawah dan mengusap kakinya.

"Elin gak mau, Pak!"

Celine menolak dengan tegas. Semakin didiamkan, lelaki bangkotan itu semakin menjadi.

"Jangan gitu, Sayang. Mas gak akan nyakitin kamu, kok."

Ucapan Broto kali ini sungguh terdengar menjijikkan.

"Lepasin, Pak!" Celine mendorong tubuh Broto dengan kuat.

"Di sini lagi sepi. Cuaca mendung enak kalau kita kelonan."

Broto nekat memeluk Celine. Mulutnya bahkan sudah mulai menyosor, hendak menyentuh pipi.

"Lin gak mau! Lepasin, Pak. Lepas!"

Celine lagi-lagi meronta, sembari merapal doa dalam hati agar kehormatannya tetap terjaga. Sekalipun sudah memasuki usia senja, tenaga Broto masih kuat juga.

"Ayolah, Lin. Mas udah gak tahan."

Broto mencoba meraih Celine agar semakin merapat. Lalu, terjadilah pertempuran di antara dua orang itu.

"Bapak gilaaaa ...!"

Celine mendorong wajah Broto, tetapi laki-laki itu masih saja terus berusaha menyentuhnya.

Tiba-tiba saja ....

"Bapak! Bapak mau ngapain?"

Sebuah suara mengejutkan mereka.

Celine menatap seraut wajah yang sudah tidak asing baginya. Putra sulung Broto. Syukurlah dia datang. Kehadirannya menyelamatkan dirinya dari terkaman buaya darat nan bangkotan itu.

"Eh kamu kapan datang?"

Broto melepaskan pelukannya dengan gugup. Dia malu karena ketahuan anaknya.

"Kok datang kesini gak ngabarin Bapak?"

Broto berbasa-basi mengalihkan pembicaraan. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Untung saja anak sendiri yang melihatnya. Coba kalau orang lain, bisa jadi bahan gosip semua orang.

"Bapak mau mesum sama Elin?" tanya putranya dengan tatapan penuh amarah.

Broto menggeleng, berusaha mengelak. Percuma, sudah ketahuan juga.

"Ingat umur, Pak. Ingat cucu. Ingat almarhum Ibu. Bapak kalau suka, nikahin baik-baik. Bukan begini caranya," katanya tegas.

Wajah putra Broto menyiratkan kemarahan. Tangannya terlipat di dada. Walau pun begitu nada bicaranya masih sopan karena mengingat itu orang tua sendiri.

"Eh gak. Bapak cuma--"

"Saya permisi pulang!"

Celine memutuskan pembicaraan dan segera pergi.

"Eh, Lin. Tunggu dulu. Mas mau tanya ..." Suara anak Pak Broto terdengar samar-samar.

Celine sendiri sudah tak memerdulikan mereka lagi. Setengah berlari dia menuju motor yang diparkir di samping rumah.

Sekarang Celine harus kembali ke rumah sakit. Putri membutuhkannya. Tadi sebelum datang ke sini, dia menitipkan anak itu kepada perawat jaga.