webnovel

Bik Onah

Celine merebahkan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat.

"Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" tanya Onah saat duduk dan mendekatinya.

Celine sedang asyik menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Dia selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah mereka saja yang mengetahuinya.

"Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."

Onah terdiam dengan raut wajah yang terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan mereka tidak dapat tempat baru, entah bagaimana nasib mereka ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Hanya Celine yang menjadi satu-satunya harapan tempat bernaung.

Sejak awal memilih bersama mereka, Onah sudah menyerahkan hidup untuk panti. Celine telah berjanji akan merawatnya di sisa usia dan menemaninya hingga senja. Gadis itu sudah menganggapnya sebagai orang tua sendiri.

Celine kembali menghitung satu per satu uang itu. Matanya segar melihat berlembar-lembar uang merah. Dunia serasa hidup kembali. Paling tidak, ada biaya untuk mereka bertahan hidup beberapa waktu ke depan.

"Tadi Neng mampir ke sana, gitu?"

"Iya, dipanggil Ummi. Ditelepon pas di toko. Lin pikir ada apa. Ternyata mau dikasih uang segepok."

Celine tersenyum senang. Diberikan uang sebanyak ini, siapa juga yang bisa menolak.

"Jadi rumah ini udah dijual ya, Neng? Terus nanti kita mau tinggal di mana?"

Onah terlihat kecewa. Itu tampak dari dari raut wajah tuanya. Celine menghela napas dan menatapnya lekat.

"Belum tau, Bik. Elin belum ada uang buat bayar kontrakan baru. Sekarang harga rumah mahal."

Celine mencoba menjelaskan secara perlahan. Memberikan pengertian.kepada orang tua tidaklah sama dengan berbicara kepada anak-anak. Kecenderungan lansia yang paling jelas terlihat adalah rasa ketakutan yang berlebihan. Lumrah, semua lansia mengalaminya. Bik Onah termasuk salah satunya. Dia sampai tidak bisa tidur berhari-hari sejak panti dinyatakan akan dijual.

Celine berusaha untuk tidak panik dan bersikap setenang mungkin agak suasana tetap kondusif. Anak-anak tidak tahu apa-apa. Mereka hanya menghabiskan waktu dengan makan dan bermain. Selama masih bisa bermain sampai puas, hati mereka senang dan tidak mengkhawatirkan apa pun.

"Terus anak-anak gimana. Mau dilepas ke jalanan? Kasian mereka, Neng. Bibik engga tega."

Onah berbicara sembari menatap uang yang sedang Celine hitung. Dalam hati gadis itu berucap bahwa nanti dia akan menyelipkan selembar untuknya, sebagai tanda terima kasih dan simpanan jika ada kebutuhan.

"Gak. Bibik tenang aja. Tadi Elin udah ketemu sama pembeli rumah ini. Kita masih dikasih tambahan waktu satu bulan lagi. Tapi setelah itu--"

Celine menggantung ucapannya. Lembar terakhir selesai dia hitung. Jumlahnya pas, lima puluh lembar uang seratus ribuan. Untuk operasional ini cukup banyak. Namun, untuk membayar kontrakan baru jelaslah kurang.

Celine berpikir ke mana dia akan mencari sisanya. Gadis itu lupa bahwa telah diatur oleh Tuhan. Mereka tak boleh meragukan Sang Maha Pemberi.

"Alhamdulillah," ucap Celine penuh syukur dalam hati.

"Yang beli rumah ini baik ya, Neng. Kalau orang lain kita udah diusir kali."

"Iya, Bik. Ternyata dia kakak kelas Elin dulu waktu masih kuliah."

Celine sedikit bercerita. Selama ini memang Onah tempatnya mengadu. Dia yang selalu ada menemani, seperti ibu kandung sendiri.

Begitupun sebaliknya, Onah menganggap Celine seperti putri kandung, juga anak-anak asuh seperti cucunya sendiri.

"Ooo, sudah sukses dia?"

Onah tampak penasaran. Heran karena masih ada orang sebaik itu di dunia ini. Biasanya juga main usir saja, tidak perduli si pengontrak mau tinggal dimana setelahnya.

"Yah, memang dasar orang tuanya kaya, Bik. Dia mau apa saja bisa."

Celine tidak akan menjelaskan semua secara detail. Onah hanya perlu tahu sekadarnya. Biarlah yang lain menjadi rahasianya sendiri.

"Cakep gak, Neng? Kali-kali aja jodoh. Kan udah kenal."

Onah tertawa geli. Kalau soal lelaki, dia memang suka menggoda. Wanita paruh baya itu berharap jika Celine segera mendapatkan jodoh.

Celine menggerutu dalam hati dan bertanya menapa semua orang menginginkan dia segera menikah. Padahal dia sendiri belum memikirkannya. Hanya anak-anak yang menjadi prioritasnya sekarang.

"Udah punya istri, Bik. Udah punya anak juga," jawabnya.

Onah tampak terkejut. Lelaki mapan, tampan nan rupawan dengan status single saat ini sudah langka. Rata-rata sudah beristri dan mempunyai anak.

"Terus kalau udah mepet waktu, tapi kita belum dapat tempat baru gimana?"

"Mungkin Elin bakal nerima tawaran Pak Broto."

Pilihan terakhir Celine hanyalah itu. Biar bandotan juga, Broto cukup kaya raya. Anak-anaka asuhnya tetap akan sejahtera jika bersuamikan dia.

"Ya Alloh, Neng. Jangan!"

Nada suara Onah meninggi karena tidak terima. Dia tidak suka karena tidak tidak pantas. Namun, manusia tidak tau jodoh. Jika memang sudah takdir, mau tak mau Celine harus menerimanya.

"Mau gimana lagi." Aku pasrah saja kalau begini.

"Emang eneng rela perawan eneng dibobol si tua bangka itu? Kalau Bibik sih gak rela," cibir Onah.

Celine tergelak mendengarnya.

"Ya gak tau juga. Nanti Elin coba ngomong lagi sama yang beli rumah. Kali aja kita dapat keringanan lagi," ucapnya berusaha menenangkan.

"Iya, Neng. Kalau dia kaya jadi bini keduanya juga gak apa-apa."

Celine tertegun, tak menyangka jika Onah malah menyarankannya menjadi perebut suami orang.

"Yeeee ... Bibik. Mending jadi istri Pak Broto. Gak ngambil suami orang."

Celine menggeleng. Dia tidak mau jika sampai itu terjadi. Sesama wanita tidak boleh saling menikung.

"Kalau Bibik biar aja sih jadi istri kedua tapi lakinya muda cakep. Neng pan cantik, masa dapet kakek-kakek peyot."

Onah kembali mencibir saat membayangkan wajah Broto yang duduk bersanding dengan Celine di kursi pelaminan.

"Ya Allah, Bik," ucap Celine tergelak.

"Mudah-mudahan ada jalan ya, Neng. Jangan sampai jadi nyonya Broto. Bibik gak sanggup ngeliatnya. Biar aja jomlo dulu. Kali-kali aja nanti ada jodoh selain dia."

Mereka sama-sama tergelak, lalu bertukar cerita.

"Aamiin. Semoga ya, Bik. Semoga dikasih yang terbaik buat kita."

Celine memeluk Onah dengan erat. Rasanya nyaman berada di pelukan wanita itu. Mereka melanjutkan perbincangan sambil rebahan di kasur.

Seperti bisanya setiap malam sebelum tidur, mereka saling bertukar cerita. Celine akan menceritakan kegiatannya selama di toko, sementara Onah menceritakan kejahilan anak-anak di panti.

Onah yang selalu mengeluhkan tingkah anak-anak yang nakal dan membuatnya pusing. Celine hanya mendengarkan itu tanpa menyela karena tahu bahwa dia hanya lelah, tetapi tak pernah meninggalkan kami.

Onah yang super bawel saat memarahi anak-anak, tetapi penuh kasih sayang saat merawat jika ada yang sakit. Hal itu membuat Celine sadar bahwa dia tidak sendirian menghadapi semua ini. Ada mereka bersamanya, menjadi penguat dan pelindung menghadapi semua cobaan yang akan datang.

Maka nikmat mana lagi yang hendak kau dustakan?