webnovel

Seandainya Kania Kembali ke Masa lalu

Genta mengakhiri kegiatan panas mereka dengan sebuah kecupan pada pelipis isterinya itu. Hal yang Genta suka lakukan. Ia kemudian menarik Kania dalam pelukannya sambil menunggu deru nafas mereka yang kembali teratur. Kania membentuk pola abstrak melalui jarinya di dada Genta.

"Aku pikir kita akan melakukannya di dalam gedung bioskop." Kania bersuara memecah keheningan.

"Saya tidak tahu bagaimana cara orang lain melakukannya, tapi saya tidak bisa melakukannya di tempat umum seperti itu." Genta bersuara sambil mengusap pelan lengan isterinya. "Makanya, tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita selama pacaran walaupun kita sangat sering menonton berdua."

"Oh ya?" tanya Kania tidak percaya.

Genta menganggukkan kepalanya. "Aku serius, Ka'. Yeah, walaupun kamu menguji saya lebih berat dari ini."

Kania menaikkan alisnya. "Menguji Om lebih berat dari ini maksudnya?" tanya Kania tidak mengerti.

"Kamu sengaja meletakkan tangan kamu di paha saya, beberapa kali kamu mengajak saya ke bioskop privat yang ada fasilitas premium dengan kursi berbentuk ranjang. Pokoknya saya harus banyak menarik nafas menghadapi kamu." Genta mendetail tingkah Kania yang dia tahu.

"Ish, bohong. Aku enggak mungkin seperti itu, Om. Pasti Om hanya menambahkan beberapa scene yang berlebihan. Bisa aja aku enggak bermaksud menggoda om tapi Om malah berfikir kayak gitu. Secara Omkan kayak gitu selama ini." Kania membela diri dari tuduhan.

Sementara Genta menyipitkan matanya berfikir. "Mungkin."

Kania tiba-tiba memainkan bibirnya dengan mimik penuh makna. "gimana caranya ya Om aku kembali ke masa lalu? gimana kalau aku tidak menemukan kotak musik itu sama sekali?" tanya Kania.

"Kamu masih belum menemukannya?" Kania menggelengkan kepalanya.

"Aku sudah cari ke seluruh isi rumah. Bahkan gudang. Om tahu itukan? Aksiku malah membuat panik semua orang." Kania memutar bola matanya mengingat bagaimana Genta, Tara dan Bibi melihatnya yang seperti orang gila untuk menemukan sebuah kotak musik.

Genta memainkan jarinya sebentar. Sejenak laki-laki itu berfikir sebelum akhirnya bersuara, "sayang, kalau kamu menemukan kotak musik itu apa kamu akan kembali?"

Kania menganggukkan kepalanya. "Tentu saja."

Selanjutnya Genta diam yang membuat Kania mendongak memastikan ekspresi pria yang usianya melebihi umur Kania itu. "Om menakutkan sesuatu?"

Genta menggelengkan kepalanya. "Bukan apa-apa," jawab laki-laki itu.

Kania duduk masih mencari tahu apa yang pria itu pikirkan. Genta akan menyimpan masalahnya sendiri, kalimat itu terngiang dalam kepala Kania. "Om takut aku kembali ke masa lalu dan merubah semuanya?" tanya Kania menyipit.

"Memangnya kamu tidak akan melakukannya?" Genta bertanya balik.

Kania memainkan bibirnya. "Tentu saja. tapi Om tenang aja. aku akan carikan tante terbaik yang sesuai selera Om. Walaupun dia tidak lebih cantik dari aku tapi aku pastikan bahwa perempuan itu sangat baik. perempuan yang jauh lebih bisa menjadi seperti isteri buat Om dan ibu buat aku. tapi anaknya belum tentu selucu Mika. Tapi aku enggak masalah kok kalau Om tetap ngasih nama itu nantinya dengan sebutan Mikaela."

Genta tersenyum sendu mendengar perkataan isterinya. Ia menyembunyikan perih yang bersemayam dihatinya. Dia tidak menginginkan perempuan lain. dia hanya menginginkan Kania. Entah unggulnya perempuan itu atau buruknya perempuan itu.

"Apa saya boleh menyembunyikan kotak musik itu sebelum kamu mencintai saya? Siapa tahu kamu nanti berubah pikiran setelah kita bersama." Genta bersuara meskipun separuh dirinya tidak percaya Kania melakukan perjalanan waktu.

"Om!" delik Kania.

Genta tertawa kecil sambil mencubit pipi Kania. "Sudah tidak segembul Mikaela lagi tapi kamu masih menggemaskan."

"Apa sebaiknya kita pulang sekarang? Kita sudah terlalu lama meninggalkan Mika," ujar Kania ketika mereka membahas tentang Mikaela.

Genta menganggukkan kepalanya. "Ayo!"

Kania menyipit. "Mentang-mentang sudah mendapatkan apa yang Om mau!" perempuan itu mencibir.

Genta tertawa. Tapi laki-laki itu kemudian berubah menjadi serius lagi. "Hal yang saya mau kamu bahagia bersama saya tanpa beban apapun lagi. Itu yang paling saya inginkan."

"Gombal!" ujar Kania. Perempuan itu akhirnya beranjak juga berjalan menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu dia berbalik. "Om enggak mau bareng?" tawar Kania.

Genta memainkan bibirnya beberapa saat tidak bisa menahan senyumannya. "Sayang kamu benar-benar labil!" ujar Genta mengakui juga kelabilan Kania.

***

"Papa!" Kania berlarian menyambut Tara begitu melihat laki-laki itu menginjakkan kaki di rumah. belum juga Tara masuk pintu, Kania sudah lebih dulu menyambut ayahnya. Tiga hari tanpa kehadiran Tara membuat Kania rindu juga dengan ayahnya itu meskipun mereka sering bertengkar.

"Kania, Kamu bukan anak gadis lagi, nak!" decak Tara sambil mengusap kepala anaknya.

"Ish papa!" ujar Kania sambil memajukan bibirnya manja. Memang bukan gadis lagi karena mentalnya yang tujuh belas tahunpun sudah melakukan itu dengan Genta. "Emang kalau bukan anak gadis enggak boleh peluk-peluk papa?" perempuan itu cemberut.

Tara tertawa kecil. "Tidak juga. Hanya saja setelah kamu punya Genta biasanya papa di nomor duakan," ujar laki-laki itu.

Kania memainkan bibirnya. "Hanya perasaan papa aja," ujar perempuan itu.

"Kamu sendirian di rumah?" tanya Tara.

"Sama Mikaela. Bibi dan Mamang sudah pulang."

Tara reflek melihat jam. Pria itu kemudian menganggukkan kepalanya. Memang sudah sore. "Genta berarti belum pulang?"

"Enggak tahu, mungkin belum pulang." Kania menaikkan bahunya cuek.

Tara menelisik anaknya tersebut. "Kalian baik-baik ajakan selama papa tinggal?"

Kania melirik pada ayahnya. "Sempat marahan. Tapi udah baik lagi." Kania berkata jujur pada ayahnya tersebut. "Aku enggak bentak Om Genta kok walaupun marah hari itu, hanya naikin nada tinggi dikit."

Tara menarik nafasnya. "Kania, usahakan lebih tenang kalau nyelesaiin masalah dengan Genta ke depannya ya. Kamukan bukan anak kecil belasan tahun lagi. Belajar mengendalikan amarah ya?!"

"Memang masih belasan tahu papa! Tapi papa tidak percaya," bisik Kania dalam hati. "Sebenarnya udah aku coba redam emosi, Pa. Tapi Om Genta hari itu agak sedikit keterlaluan jadi aku kelepasan."

"Keterlaluan?"

"Dia ketemu sama aunty Mila. Tapi dia enggak bolehin aku terlalu dekat sama Abi. Ya udah deh! Aku kelepasan mana selama ini aku sudah banyak mengalah sama Om Genta." Kania memutar bola matanya ingat lagi tentang Mila dan Genta yang sempat bertemu.

Tara memperhatikan anaknya tersebut. "Kamu yakin kamu sudah berbaikan dengan Genta?" tanya papanya lagi.

"Yakin. Cuma kalau diingat-ingat jadi kesal lagi."

Tara mengusap wajahnya. Sebenarnya dia tidak ingin banyak ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya. Tapi dia merasa kondisi puterinya tersebut agak salah dalam sebulan belakangan. Dia tidak percaya dengan teori menyusuri waktu seperti yang pernah Kania katakan. Tara seseorang yang logic, dia tidak akan pernah percaya jika dia tidak melihat sendiri bentuk fisiknya.

"Lalu bagaimana solusinya?" tanya Tara.

"Aku dan Om Genta memutuskan untuk belajar lagi. Om Genta juga sudah setuju untuk di kamar Mikaela lagi."