"Lo suka Miki?"
Esa sudah memikirkan beberapa pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan Karen mengenai ia dan Miki, salah satunya adalah pertanyaan ini.
Entah bagaimana ia harus menjelaskan hubungannya dengan Miki, karena meski sederhana, ia tidak terlalu suka membahasnya.
"Menurut lo gimana?" tanyanya dengan sedikit tawa.
Gadis itu kini terlihat kesal. Ia sudah memperhatikan bagaimana gerak-gerik Karen saat kesal, yaitu diam dan hanya menatap lurus lawan bicara yang membuatnya kesal.
Karen sudah melakukan itu beberapa kali di hadapan Esa, hanya saja ini kali pertama ia melakukannya pada Esa.
"Its okay. It doesn't matter." kata Karen lalu memalingkan wajahnya.
Hal itu membuat Esa kembali tertawa kecil. "It does," kata Esa.
"Masih mau ke kembang api?" tanya gadis itu.
Ia mengangguk.
"Gue pernah pacaran sama Miki." kata Esa.
Langkah Karen terhenti, ia telihat terlalu terkejut untuk melangkah atau pun menggerakkan tubuhnya.
Esa ikut menghentikan langkahnya dan menunggu respon Karen, meski hal itu baru terjadi sekitar beberapa saat yang terasa sangat lama.
Mungkin memberi tahu seperti ini akan lebih mudah, atau mungkin memperkeruh keadaan. Tapi, penjelasan seperti itu terasa paling sederhana.
"Miki gapernah punya pacar namanya Esa," sergah Karen.
Secara teknis, namanya bukan Esa. Ia baru menggunakan nama panggilan itu beberapa bulan belakangan ini.
Ia kini tertawa. Konyol sekali pembicaraan ini. Pembicaraan ini berkali-kali lipat lebih konyol dari yang ia pikirkan sebelumnya.
"Itu udah lama, Kar. Dua atau tiga tahun lalu, masih SMP," ia menjelaskan.
"Menurut lo lucu?" tanya Karen.
Esa menghentikan tawanya. Karen terlihat marah dengan jawabannya, ia akan kembali diam kalau begitu.
Karen memegangi keningnya dengan satu tangan, ia terlihat benar-benar frustasi saat ini.
"Jadi fakta apa lagi yang menurut lo perlu gue tau?"
Ini bukan pertanyaan yang ia harapkan akan dilontarkan oleh Karen.
"Tergantung lo mau tau apa."
"Okay," jawabnya.
Ia menghela napas lalu memejamkan matanya sesaat ketika Esa bahkan belum memulai penjelasannya.
"Terlalu banyak informasi untuk dicerna, gue kayaknya balik ke tenda aja." katanya.
Esa pikir Karen sangat ingin datang dan menyaksikan pesta kembang api malam ini.
"Kembang apinya udah di depan," kata Esa berusaha mengalihkan perhatian gadis itu.
Tentu saja tidak berakhir seperti yang diharapkan, Karen tidak mendengarkan dan langsung saja berjalan ke arah tendanya sendirian.
Beberapa hal memang lebih baik dipendam, pikir Esa.
Karen berjalan dengan sedikit terburu-buru, jelas terlihat kalut oleh pemikirannya.
Esa berjalan mengikuti di belakangnya, memperhatikan sampai gadis itu sampai di tendanya sudah cukup.
Alasan Karen kesal masih menjadi tanda tanya bagi Esa, ia tidak terlalu mengerti kenapa Karen begitu kesal dengan informasi tersebut.
Ia bahkan belum memberi banyak penjelasan dan hanya memberi benang merah dari kejadian di masa lampau tersebut.
"Holy shit!" pekik Karen.
Gadis malang itu terpeleset kubangan air yang menggenang dangkal. Ia tidak langsung berdiri tetapi tetap duduk di posisi ia terjatuh.
"Hati-hati," kata Esa memberi uluran tangan.
Uluran tangan itu tidak dihiraukan oleh Karen yang berusaha berdiri tanpa menyentuh tanah yang basah, kini pakaian gadis itu penuh dengan air kubangan.
Ia menarik dapas dalam lalu membuangnya, terlihat menenangkan diri sendiri usai bangkit dari kubangan.
Esa masih mengikuti beberapa langkah di belakang Karen, ia pikir gadis itu akan merasa takut berjalan sendirian saat hampir semua orang berada di lapangan utama menyaksikan kembang api.
"Jaketnya dibuka, tutupin celananya." kata Esa.
Ia merasa risih melihat Karen berjalan dengan celana kotor, di tambah gadis itu menggunakan celana panjang berwarna putih gading yang menampakkan setiap kotoran yang menempel.
"Gada yang liat," kata Karen tanpa menoleh.
"Gue liat," jawab Esa.
"Ini bukan kali pertama lo liat bagian belakang manusia lain 'kan?" tanyanya dengan suara jengkel.
Gadis ini benar-benar kesal dan berusaha menyuarakan pikirannya dengan membalas perkataan Esa.
"Kenapa lo marah?" tanya Esa.
"Menurut lo?"
Menurut Esa, Karen marah karena Esa pernah berpacaran dengan Miki karena Miki sahabatnya. Tapi itu hanya asumsi.
"Karena gue pernah sama Miki?"
"Salah. Karena gue gatau dan untuk itu gue ngerasa malu sampe mau balik ke tenda pun gue malu karena harus berhadapan sama Miki,"
Ia mengatakan itu tanpa menghentikan langkahnya dan terus berjalan, seolah tidak peduli.
Tapi begitu Esa sadar dengan ucapan Karen yang mengatakan ia malu untuk kembali ke tenda, ia khawatir. Jika bukan menuju tendanya, kemana gadis itu akan pergi?
Gadis itu memilih untuk belok ke arah kanan yaitu kawasan tenda laki-laki, ia melangkahkan kakinya dengan mantap lalu berhenti di depan tenda Esa.
"Ngapain?"
Karen tidak menghiraukannya lalu lebih memilih memainkan ponsel dan menghubungi Reza.
Dari percakapan singkat tersebut Karen terdengar menanyakan posisi laki-laki itu lalu meminta izin masuk tenda untuk meminjam celana.
Terdengar pelan suara Reza yang tidak jelas berbicara apa, namun segera dibalas Karen ia tidak apa-apa dan akan tinggal beberapa lama di tenda.
"Gue yang cariin," kata Esa.
Ia tidak ingin Karen membuka tas laki-laki dan menemukan barang atau hal yang tidak seharusnya ia lihat. Lagi pula kenapa juga ia malah meminjam milik Reza.
"Okay," jawabnya tidak peduli.
Tidak membutuhkan waktu lama sampai Esa menemukan celana yang dimaksud oleh Karen. Gadis itu masuk ke tenda dan berganti celana sementara Esa menunggu di luar, berjaga-jaga jika ada yang melihat.
Sembari menunggu Karen, ia mendidihkan air untuk membuat susu coklat yang akan diberikannya pada Karen.
Beberapa orang tidak menyaksikan kembang api, hanya sedikit tapi masih ada orang yang terlihat hanya duduk-duduk di depan tenda tak jauh dari tempatnya.
"Gue buatin susu coklat, kalau udah selesai keluar." seru Esa.
Ia sudah menggenggam dua cangkir berisi coklat panas, menunggu Karen membuka tenda.
Terdengar suara pintu tenda dibuka dan di sana lah Karen duduk dengan celana berwarna biru milik Reza yang terlihat kebesaran.
"Thank you," katanya ketika meminum susu coklat itu.
Karen tetap berada di dalam tenda ketika meminum susu coklat, tidak terlihat ingin pergi ke mana pun.
"Tidur aja, gue di luar." kata Esa setelah beberapa saat.
Esa juga sudah memberikan selimut miliknya bersamaan dengan celana yang dicari Karen.
Karen menutup pintu tenda setelah menghabiskan susu coklatnya, sebelum pintu tertutup sempurna gadis itu terlihat meraih selimut yang diberikan Esa.
Ia akan membangunkan Karen saat acara kembang api selesai nanti, itu waktu yang cukup untuk membuatnya istirahat dan menenangkan diri, pikir Esa.
Pesta kembang api sudah dimulai, terlihat percikan berwarna itu menghias langit malam yang cukup terang.
Meski tidak merasakan riuh sorai pesta kembang api di lapangan utama, menyaksikannya seperti ini terasa lebih tenang.
"Lo masih suka Miki?" terdengar suara Karen dari celah tenda.
Esa berbalik untuk melihat bayangan yang terukir di pintu tenda, bayangan Karen.
"Ngga," jawabnya yakin.
Esa kemudian kembali memunggungi tenda.
"Kenapa putus?"
"Lupa, kalau ga salah karena gue jarang balas chat Miki." kenang Esa tersenyum.
Itu sudah beberapa tahun lalu, mungkin empat tahun. Ia tidak ingat pasti, namun kejadian itu sudah cukup lama dan mereka masih anak-anak.
"Its something she would do," kata Karen.
"Maaf,"
"Untuk apa?"
"Karena bohong." jawab Esa dengan sedikit tawa.
Karen tidak menjawab kali ini, hanya terdengar helaan napasnya di balik pintu tenda.
Cangkir milik Esa sudah tak hangat lagi sedangkan isi dari cangkir tersebut masih tersisa beberapa teguk.
"Lo bohong ya soal pacaran sama Miki?" tanya Karen yang sudah membuka pintu tenda.
Kini ia terlihat dua kali lipat lebih kesal dari sebelumnya, wajahnya memerah entah karena udara terlalu dingin untuknya atau memerah karena marah.
Esa tertawa kecil lagi sambil memperhatikan wajah kesal Karen. Gadis ini benar-benar harus belajar untuk tidak mudah ditipu, pikir Esa.
"Sepupu," jawabnya disela-sela tawa.
Karen memberi ekspresi tidak mengerti dan aneh dalam satu waktu, ekspresi ini juga menggemaskan.
"I've heard this before and turns out gada hubungan darah alias bohong." katanya.
Esa merogoh ponsel disaku celananya, membuka gallery dan mencoba mencari potret keluarga besar.
"Tunggu gue punya foto acara keluarga," balasnya.
Ia terus mencari hingga jarinya lelah sampai akhirnya menemukan potret yang dicari, itu acara ulang tahun kakek Miki.
Diberikannya ponsel itu untuk dilihat Karen dan ekspresi gadis itu kembali menjadi aneh.
"Okay? Terus kenapa gue marah?" tanyanya heran.
"Karena lo mudah ditipu." kata Esa.
Tak habis pikir dengan gadis ini. Begitu mudah percaya dengan perkataan yang belum diberi penjelasan.
"Ah kalau gitu harusnya sekarang gue lagi lihat kembang api!" marah Karen.
Esa menunjuk langit yang masih dihiasi percikan kembang api. "Udah dari tadi," katanya.
"Terlambat," balasnya.
Esa memperhatikan Karen yang duduk di belakangnya, gadis itu masih ada di dalam tenda ditemani selimut dengan wajah menengadah ke atas melihat langit yang kini berwarna-warni.
Gadis itu mengatakan kata terlambat, namun ia masih memandanginya dengan wajah senang.
Terlambat. Kata itu memang menjengkelkan untuk didengar. Terlalu banyak hal gagal hanya karena terlambat. Kata orang lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, kenyataannya beberapa hal harus tepat waktu.
Kini perhatian Esa fokus pada wajah Karen, pasti menyenangkan bisa menyentuh wajahnya atau sekadar menempelkan jarinya di pipi yang tipis itu.
Wah, mulai aneh, pikir Esa dalam hati. Ia baru saja menghajar Adrian karena akan melecehkan Karen dan kini ia berpikir untuk melakukan hal yang aneh dengan Karen.
"Kenapa?" tanya Karen membuyarkan pikirannya.
"Kenapa apanya?" tanya Esa.
Karen terlihat heran. "Lo liatin gue hampir satu abad dan masih mau nanya kenapa?"
"Engga."
Kini gadis itu tersenyum licik. "Yakin?"
"Iya." jawabnya penuh keyakinan.
"Ayo cepat ngaku sebelum terlambat," desak Karen.
"Kalau belum terlambat, boleh ga gue cium lo?" tanya Esa.
Gadis itu terdiam, mungkin terkejut dan mengalami trauma. Kini Esa yang tersenyum licik.
"Gasuka kan didesak?" tanya Esa lagi.
Karen tersenyum. "Mau." balasnya. Lalu saat Esa belum sempat memproses perkataannya, Karen sudah meraih tengkuk Esa dan menariknya mendekat.
Esa mendekat dan meraih jemari Karen dan mencium gadis itu dengan selembut mungkin.
Ia benar-benar tidak terlambat kali ini.
"Say the magic word," kata Karen saat menjauhkan bibirnya dari Esa.
Esa tersenyum. "I love you." katanya. Karen tersenyum dan menundukkan kepalanya.
"I know," katanya.
tbc