webnovel

Mengejar Cinta Guru Tampan

Amaira adalah seorang gadis yang sangat bandel. Dia seringkali membuat masalah di sekolah hingga dikeluarkan dari sekolah. Kenakalan Amaira memang disengaja, karena dia hanya semata-mata ingin menarik perhatian kedua orangtua. Tapi semua kenakalan yang dilakukan Amaira hanyalah sia-sia. Bukannya mendapat perhatian dari orangtua, tapi dia malah dipindah orangtuanya ke desa. Di desa Amaira sangatlah senang, karena dia berfikir bahwa akan lebih bebas bertindak apapun yang dia inginkan saat jauh dari orangtua. Di desa Amaira bertemu dengan lelaki tampan yang ternyata adalah guru Amaira di sekolah yang baru. Amaira sangat mengagumi sosok guru tampan tersebut. Tapi sayang, guru tampan tersebut mempunyai pribadi yang sangat dingin dan cuek. Akankah Amaira bisa meluluhkan hati guru tampan itu? Atau malah frustasi karena cintanya ditolak? Baca kisah selengkapnya dinovel berjudul "MENGEJAR CINTA GURU TAMPAN"

Halima_Zahro · Adolescente
Classificações insuficientes
376 Chs

Di rumahsakit

Arkan kembali duduk dengan ragu. Aku tau apa yang Arkan rasakan. Tapi saat ini aku hanya ingin ditemani oleh Arkan. Karena aku yakin Papa nggak akan peduli denganku, sudah tau aku sakit begini aja Papa malah lebih memilih ngobrol dengan Zain daripada nemenin aku.

Nyebelin memang

Tapi dari tadi aku nggak lihat Mama, apa Mama nggak ikut kesini?

Aku melihat kearah pintu ruang yang terbuka, Papa masuk dan berjalan kearahku yang diikuti Zain dibelakangnya.

"Mama nggak ikut, Pa?" Tanyaku pada Papa yang duduk disebelahku.

"Mama lagi sibuk." Jawab Papa.

"Tumben Papa nggak sibuk.?" Tanyaku lagi.

"Papa izin satu hari karena ingin menengok keadaanmu." Jawab Papa sambil mengelus pucuk kepalaku.

Tumben Papa bersikap lembut pasti ada maunya.

"Amaira." Panggil Papa pelan.

Sebenarnya aku ingin memejamkan mata untuk tidur, tapi takut ditinggal Arkan pulang. Ini aja aku terus pegang jari telunjuknya agar dia nggak pergi.

"Ada apa?" Tanyaku datar.

"Sebenarnya Papa kesini ada sesuatu hal yang penting. Ini menyangkut kamu juga Zainal." Ucap Papa sambil menatapku setelah itu menatap Zain bergantian.

"Amaira tau, Pa. Papa nggak akan nemuin Amaira kesini kalau nggak ada hal yang penting." Ucapku sambil menyunggingkan senyum sinis.

Aku tau banget sifat asli Papa. Papa nggak mungkin izin nggak masuk kerja kalau nggak ada yang lebih penting dari pekerjaan. Apalagi diriki, yang sama sekali nggak penting menurut Papa.

"Setelah sembuh nanti Papa ingin mengajakmu menemui Om Ramlan. Kamu mau kan, Sayang?" Tanya Papa pelan.

"Kalaupun Amaira nggak mau juga Papa pasti bakalan maksa Amaira untuk ikut. Lantas, Buat apa Papa bertanya?" Ucapku yang membuat Papa terdiam. "Papa nggak pulang? Mama kan dirumah sendirian. Nanti kalau Amaira sudah sembuh, Amaira akan telfon Papa. Karena Amaira tau kalau hal yang sedang Papa rencanakan itu sangat penting buat Papa. Sebab hal itu bisa membuat Papa meninggalkan kantor." Ucapku panjang lebar.

Papa keluar tanpa permisi ataupun pamit denganku.

"Amaira, kamu sangat keterlaluan. Kamu mengusir Papa kamu sendiri?" Bentak Zain dengan rahang mengeras.

Kucopot infus ditanganku dan bangkit dari tempatku berbaring. Arkan berusaha menahanku, tapi aku nggak peduli. Yang lebih penting saat ini adalah menghadapi Zain. Tau apa dia soal hidupku? Dia nggak tau apa-apa, tapi sok tau.

Aku berusaha menjajarkan tubuhku dengan Zain, tapi sayang aku masih kalah tinggi.

"Apa urusanmu?" Tanyaku tak kalah sengit.

"Dia itu Papa kamu, Amaira. Harusnya kamu bersikap yang sopan sama Papa kamu." Ucap Zain dengan nada sesikit rendah.

"kamu nggak tau apa-apa soal hidupku. Jadi lebih baik kamu Diam." Kutekankan kata diam diakhir kata.

"Kata siapa aku nggak tau tentang hidup kamu? Aku tau Amaira, aku tau semuanya. Bahkan akupun tau siapa kamu sebenarnya." Ucap Zain dengan menyunggingkan sebelah bibirnya.

"Apa maksudmu?" Tanyaku masih menahan amarah.

"Suatu saat nanti kamu juga bakalan tau siapa kamu sebenarnya." Ucap Zain ingin melangkah keluar, tapi kutahan lengannya.

"Ayo ngomong, apa maksud dari ucapanmu barusan?" Kunaikkan nada bicaraku beberapa oktaf.

Aku sangat marah saat ini. Semenjak Zain datang, hidupku semakin kacau. Banyak rahasia-rahasia yang nggak aku ketahui. Awalnya Arkan, sekarang Papa. Sebebarnya Zain itu siapa? Kenapa dia bisa tau semuanya tentang hidupku. Bahkan waktu aku diajak mampir kerumahnya juga aku nggak kenal sama Mamanya Zain. Zain begitu misterius.

Lagi-lagi Zain hanya diam tanpa menjawab ucapanku.

Aku maju selangkah ingin menampar Zain, tapi Arkan segera mencekal tanganku dan mununtunku untuk duduk dibrangkar.

Ingin sekali aku mencabik-cabik wajah Zain.

Kenapa harus ada seorang Zain dalam hidupku??

"Kamu marah denganku, Amaira?" Tanyanya yang tak kupedulikan. Aku masih menahan gejolak amarah dalam dada.

"Nggakpapa jika sekarang kamu marah denganku, Amaira. Tapi ingat, aku pastikan jika kamu tau semuanya tentang Arkan, kamu akan bisa lebih marah dari sekarang dan bahkan kamu nggak akan bisa memaafkannya." Ucapa Zain dengan cepat melangkah pergi.

Aku melihat raut wajah Arkan yang seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Sebenarnya apa yang nggak aku ketahui tentangmu, Arkan?" Tanyaku yang membuat Arkan menatapku dalam.

"Aku kan sudah bilang, apa yang dikatakan Zain nggak perlu dimasukkan dalam hati. Kamu juga nggak tau kan siapa Zain sebenarnya? Jadi, apapin yang Zain bilang nggak perlu difikirkan. Zain itu hanya tersulut emosi karena kamu lebih memilihku dari pada Papamu, makanya dia bicara ngawur." Jelas Arkan panjang lebar.

Aku hanya mengangguk, tapi aku nggak akan tinggal diam. Aku akan terus mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.

Yang dibilang Zain juga masih terngiang-ngiang ditelingaku.

Siapa aku sebenarnya? Memangnya siapa aku? Bukannya aku anak Papa Amran dan Mama Salma? Lantas, yang dikatakan Zain maksudnya apa?

Sebelum aku mencari tau tentang Arkan, Papa dan diri aku sendiri, aku akan lebih dulu mencari tau soal Zain. Siapa Zain sebenarnya, kenapa dia bisa mengenal semua keluargaku.

Tapi, cara satu-satunya buat cari tau tentang Zain adalah dengan mendekatinya. Sedangkan Arkan bagaimana? Dia akan cemburu jika tau aku akan dekat-dekat dengan Zain.

Aku juga nggak mungkin ngasih tau Arkan tentang rencanaku, karena Arkan juga lerlibat didalamnya.

"Arkan, bisa tolong telefon Nenek suruh kesini nggak?" Pintaku pada Arkan yang medapat anggukan dari Arkan.

Arkan menelfon Nenek dan meminta Nenek untuk datang kesini.

Tak berapa lama Nenek pun datang bersama dengan Dini.

"Arkan, kamu pulang aja dulu, istirahat. Biar Amaira Nenek yang jaga." Pinta Nenek.

Setelah itu Arkan pun pamit untuk pulang dan berjanji akan datang kembali nanti malam.

"Nek, boleh Amaira tanya sesuatu?"

Nenek mengangguk ragu. Kalau nggak ada sesuatu yang Nenek sembunyiin dariku, kenapa harus ragu. Aku menatap lekat manik mata Nenek, Nenek seperti menyimpan sebuah rahasia besar. Aku bisa melihat itu.

"Siapa Amaira sebenarnya, Nek?" Tanyaku pada Nenek.

Nenek seperti kaget mendengar pertanyaanku. Kenapa Nenek harus kaget?

"Kamu ini bicara apa sih, Amaira. Kamu ya sudah paati cucu Nenek lah." Jawab Nenek dengan sedikit gerogi. Aku tau Nenek berbohong.

"Nek, selama ini yang Amaira tau Nenek itu nggak suka kebohongan. Kenapa untuk pertanyaan ini Nenek harus berbohong." Ucapku.

"Maksud kamu Nenek bohong tentang apa, Sayang?" Tanya Nenek balik.

"Amaira tau sesuatu, Nek. Tapi belum sepenuhnya Amaira ketahui. Amaira bakalan cari tau sendiri, siapa Amaira yang sebenarnya, sama seperti apa yang tadi dibilang Zain." Ucapku yang membuat Nenek melototkan matanya tak percaya.

"Zain?" Tanya Nenek. Aku hanya mengangguk.

"Anak itu." Lirih Nenek sambil menggerutukkan giginya seperti menahan sebuah amarah.

Apa yang sebenarnya disembunyikan sama Nenek.