webnovel

Part 2

Ryuto Sayhan-lelaki yang terlampau dewasa ini sudah menginjak usia 35 tahun. Meskipun demikian sosoknya masih begitu gagah dan aura semangat anak muda masih terpancar dari dirinya.

Sayhan memutuskan untuk melepaskan masa lajangnya ketika berusia genap 30 tahun. Menikahi seorang gadis muda yang baru saja menginjak usia 20 tahun. Mungkin tidak banyak yang percaya, tetapi dia tidak menyangkal bahwa dirinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Nuhai Fihandinia-perempuan dengan mulut yang ceplas-ceplos.

Tetapi semua sifat cerianya Nuhai berubah saat-

"Eh Om, kalau ngomong yang bener aje. Emangnya saya bocah ape bisa dikibulin." Emosi Nuhai sampai ia berkacak pinggang, dagunya ikut terangkat tanpa rasa gentar.

Sayhan terperangah melihat sikap istrinya yang seperti dulu. Nuhai seperti kembali pada jati dirinya yang sesungguhnya. Namun, kenapa istrinya terus menyebutnya 'Om'? emangnya ia setua itu apa?

"Nuhai, berhenti memanggilku 'Om'," geram Sayhan, ia tersinggung mendengar panggilan seperti itu dari istrinya.

"Idih si Om, menolak tua nih ceritanya?" ejek Nuhai. "Om mungkin emang ganteng sih ...." ralat, yang bener itu ganteng bangeeet, tapi harus stay cool. "Tapi, umur gak bisa bohong, Om. Tua ya tua aja."

Sayhan mengembuskan napas, mengontrol emosi agar tidak meledak. Ia seperti dihadapkan pada bocah perempuan yang tengil. Bagaimanapun dirinya harus bersyukur, rasa frustasinya akhirnya meluap hilang dalam diri Sayhan melihat istrinya sudah mau kembali membuka suaranya, walaupun terasa kini ... menyebalkan.

Inilah Nuhai, walaupun di depannya ada seorang pria kekar dan bisa saja menghajar dirinya kapan saja, tapi ia tidak takut. Rasa takutnya hanya kepada Penguasa Alam Semesta. Buat apa merasa takut pada sesama manusia. Tapi ... Nuhai juga manusia biasa, ia takut juga sih, sedikit tapi.

Mengabaikan Sayhan yang mendadak hanya diam saja. Nuhai menggerakkan kakinya beberapa langkah menjauh dari pria itu sambil matanya kembali memerhatikan kamar tersebut. 'Gila! Gua diculik tapi disekapnya di kamar mewah gini ... curiga, jangan-jangan ....'

Tangan Nuhai reflek meraba-raba tubuhnya sendiri. Ia merasakan sesuatu yang aneh melekat di tubuhnya. Ketika kepalanya menunduk- "AAAAAAAAAKH!!!" jeritnya berteriak.

"Sayang, kenapa?" Sayhan kaget. Segera ia melangkah cepat mendekati istrinya.

Nuhai menatap Sayhan dengan aura penuh permusuhan. Dadanya naik-turun seiring emosinya yang sudah sampai ke atas ubun-ubun kepalanya. "DASAR KURANG AJAR!" teriaknya di depan muka Sayhan. "Berani-beraninya pak tua sepertimu melecehkan diriku! Dasar bajingan!!!" murkanya tidak peduli walau lawannya seorang pria tangguh.

Baju yang dipakai Nuhai saat ini berbeda sekali dengan apa yang ia kenakan sebelumnya. Baju tersebut adalah gaun tidur orang dewasa yang biasa dikenakan oleh perempuan yang telah menikah. Gaun tidur berbahan satin tipis, panjangnya selutut, bertali satu di bahu, dan untungnya lengkap dengan jubah kimononya.

Nuhai mengeratkan kimononya rapat-rapat menutupi dadanya yang agak terekspos. Matanya berkaca-kaca membayangkan dirinya sudah dilecehkan, sudah tidak punya harga diri lagi.

"Kalian para lelaki hidung belang hanya tahu menyakiti perempuan! Kalian hanya memikirkan kesenangan kalian saja! Dasar brengsek!!!" Sekali lagi Nuhai meluapkan segala kemarahannya dan mengabaikan air mata yang sudah menetes di pipinya.

Sayhan semakin terkejut sekaligus heran melihat istrinya marah-marah kepadanya. Kenapa istrinya bertingkah sangat ... aneh.

"Sayang kamu kenapa? Siapa yang melecehkanmu?" Pelan-pelan dengan suara lembut Sayhan mencoba menenangkan istrinya.

Jari telunjuk Nuhai terangkat ke wajah Sayhan. "Kau! Kau yang telah melecehkanku! Dasar biadab!"

"Aku tidak melecehkanmu," sanggahnya. "Kenapa kau berfikir seperti itu?"

Nuhai menangis sesenggukkan, dirinya masih muda, jalan hidupnya masih panjang, kenapa nasib sial bisa menimpa dirinya. "Bajuku ... siapa yang menggantinya?"

Mata Sayhan memandang pakaian tidur istrinya dengan kerutan di dahi. Dirinya benar-benar tidak mengerti. "Tidak ada yang menggantinya, sayang. Kamu lupa dari semalem pakai baju itu?"

Nuhai menggelengkan kepala kuat-kuat. "Aku ingat apa yang aku kenakan sebelum ti-" Tunggu sebentar. Tiba-tiba saja tangisannya berhenti dan matanya menerawang kejadian sebelumnya.

Aneh, pikir Nuhai. Jelas-jelas ia tertidur di kamarnya, lalu kenapa bangun-bangun bisa di tempat lain?

Nuhai berpikir keras. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi saat ini? "Akh!" Ia menyentuh kepalanya sambil merintih kesakitan seperti ada yang menusuk-nusuk kepalanya dengan ribuan jarum. Rasa sakitnya sangat tak tertahankan sehingga membuat Nuhai akhirnya jatuh pingsan.

"Nuhai!"

__________________

Dua bocah balita yang sama-sama memiliki paras yang serupa, hanya dari baju saja yang mereka kenakan tampak berbeda. Pipi bulat berisi dan wajah yang amat menggemaskan merupakan ciri khas dari seorang anak kecil. Mereka berdua sedang duduk di ruang makan saling berdampingan di atas kursi khusus untuk anak seusia mereka.

Bibir mungil kedua balita tersebut manyun ke depan sambil mata bulat nan jernih mereka melirik ke arah pintu ruang makan. "Iiih, Ayah mana sih?" gerutu salah satunya kesal karena bosan menunggu.

"Iya, bangunin Bunda lama banget," ucap yang satunya lagi tampak jenuh.

Kedua balita tersebut mulai hilang kesabaran menunggu seseorang yang akan sarapan bersama pagi hari ini.

Pintu ruang makan akhirnya bergerak terbuka dari luar menandakan ada yang datang. Kedua balita itu sontak langsung tersenyum ceria menantikan sosok di balik pintu. Tetapi, sayangnya yang muncul bukanlah orang yang mereka harapkan.

Seorang wanita paruh baya berseragam pelayan berjalan mendekati dua balita yang menatapnya dengan sorot kekecewaan bercampur tanda tanya. "Selamat pagi Tuan Muda Saidan dan Tuan Muda Saidar," sapa wanita tersebut menampilkan senyum penuh keibuan.

"Bibi Dasa? Ngapain kesini?" Saidan lah yang bertanya dengan suara cemprengnya.

Bibi Dasa tersenyum menanggapi pertanyaan anak dari majikannya. "Kata Tuan Sayhan, kalian bisa sarapan terlebih dahulu tidak perlu menunggu Ayah kalian."

"Loh? Ayah memangnya kemana?" Kali ini Saidar yang bertanya.

Bibi Dasa ragu-ragu menjawab. Meskipun di hadapannya saat ini adalah dua orang balita yang belum mengerti apa-apa karena masih berusia empat tahun, tapi otak keduanya sangat cerdas mudah memahami situasi. Wajah Saidan dan Saidar menunjukkan bahwa mereka tahu ada sesuatu yang tidak beres. Bibi Dasa jadi bingung harus berkata apa biar anak majikannya percaya. "Tuan muda, kita sarapan dulu ya? Nanti kalau kalian sakit, Bibi bisa disalahkan sama Ayah kalian," pintanya memohon agar kedua balita ini tidak bertanya lebih lanjut.

Saidan dan Saidar saling memandang singkat satu sama lain. Mereka seperti memiliki pemikiran yang sama, tapi karena melihat Bibi Dasa yang memasang tampang muka memelas, mereka jadi tidak tega. Bibi Dasa sudah dianggap orang tua sendiri yang tulus menyayangi Saidan dan Saidar.

"Baik, Bi!" jawab Saidan-Saidar kompak bersama.

Balita yang lahir secara kembar tersebut akhirnya mulai menyantap sarapan mereka dibantu oleh Bibi Dasa yang setia dan sabar menemani keduanya.