webnovel

Seorang Office Boy

POV : Hana

“Ya sudah, menjauhlah! Aku mau mandi!” ucapku sambil mendorong dadanya dengan jari telunjuk.

Tubuh pria itu perlahan menjauh, mengikuti dorongan jariku. Segera aku beranjak menuju kamar mandi. Ingat wajah ini yang katanya seperti dakocan, membuatku ingin membersihkannya terlebih dahulu. Aku mengurungkan niat menuju ke kamar mandi, lalu memilih berdiri di depan meja rias, memperhatikan wajah sesaat dan membersihkannya. Baru saja tangan terayun hendak membersihkan wajah dengan kapas yang sudah ditetesi toner, tiba-tiba pria itu mengembuskan napas berat. Dia mendekat, lalu mengangkat tubuhku.

“Apa-apaan? Turunin!” teriakku marah.

“Mandi! Nanti kalau sudah mandi bukan hanya muka yang bersih, tapi semuanya.”

“Aku bisa sendiri.”

“Lama!”

Sampailah kami di depan kamar mandi. Dia menurunkan dan mendorongku masuk, setelahnya menutup pintu dan membuatku super kesal.

“Berani sekali memperlakukan aku seperti ini!” teriakku dari dalam kamar mandi.

“Si Prio tuh berani sekali bikin Mas Irwan marah, sampai kayak mau bunuh orang sekampung.”

Aku diam. Tiba-tiba rasa sedih memenuhi rongga dada. Rasa marah yang sempat meluap-luap, hilang seketika. Aku melepas pakaian, dan berdiri di bawah shower. Kusiram kepala sambil mengingat kebersamaan kami sebelum hari H. Meskipun tak banyak memori yang melekat di otak, tapi cukup membuatku terluka. Bayanganku, kami akan menjadi keluarga yang bahagia. Dia juga berjanji memboyongku ke Singapura untuk tinggal bersama kedua orang tuanya.

“Kamu mau mas kawin apa nanti di acara ijab kita?” tanyanya saat itu.

“Aku enggak ingin membebanimu, Mas. Enggak mau yang muluk-muluk. Yang penting bermanfaat, dan kamu ikhlas memberikannya padaku.”

Kemudian kami tersenyum. Selama ini, Mas Prio tak pernah menunjukkan perilaku yang aneh. Pertanyaannya, kenapa dia tiba-tiba meninggalkanku? Aku menunduk, membiarkan tetes demi tetes air mata luruh bersama air yang jatuh dari shower. Kupejamkan mata, mencoba menerima takdir yang Allah gariskan. Puas menangis sambil membersihkan diri, aku mematikan shower, lalu hendak mengambil handuk.Sialnya, aku lupa membawa benda tersebut. Aku kesal, lalu berjongkok karena harus meminta tolong pria itu mengambilkannya untukku. Kenapa aku bisa lupa?

Tok! Tok!Tok!Aku mengetuk pintu kamar mandi.

“Masuk!” teriaknya dari sana.

Dia pikir aku tamu, yang dipersilakan masuk. “Hai, Anda! Tolong ambilkan handuk!”

“Yang sopan kalau minta tolong, yang manis ngomongnya.”

Ah, kenapa aku bicara formal sekali? Aku mengulum bibir sendiri, kesal. Kemudian mencoba mengulang kata-kata.“Iya, maaf. Eh, tolong ambilkan handuk, ya.”

“Apa? Enggak dengar!”

Aku diam, meredam kesal yang kembali menyumpal dada.“Suhada, tolong ambilkan handuk saya.”

“Kurang sopan panggil suami cuma nama saja!”

Kini kupejamkan mata sambil menarik napas yang panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah cukup tenang, aku kembali mencoba bicara, “Mas Suhada, kalau boleh minta tolong, tolong ambilkan handukku yang warna pink.Handuk yang tergantung di belakang pintu.”

“Pintu mana? Yang jelas kalau minta tolong. Pintu dapur, atau pintu depan.”

Aku berlagak ingin memutusnya dari balik pintu kamar ini. Kesal sekali rasanya!Bibir ini diam kembali dengan mata terpejam, berusaha mengontrol rasa kesal yang sudah berdesak-desakan dalam dada. “Di belakang pintu kamar, Mas.”

“Oh, bentar.” Kemudian hening. “Tapi bukan warna pink ini?”

Dahiku mengerut. Kemana handukku? “Iyakah, Mas? Perasaan, handukku warna pink, Mas.”

“Bukan, ini warna merah muda. Bener punyamu?”

Sabar Hana, sabar ... sabar .... Aku mengelus dada. “Ya Allah, kok bisa lupa, ya? Bener Mas yang itu punyaku hehehe.”

Terdengar dia tertawa kecil, padahal aku disini dongkol luar biasa. Tidak berapa lama,pria itu mengetuk pintu dan aku membukanya sedikit, lalu tanganku menyembul keluar. Segera dia meletakkan handuk ke telapak tanganku.

“Makasih,” katanya, setelah aku menutup pintu.

Aku diam saja. Karena aku lupa juga membawa baju ganti dan dia pasti akan bertele-tele mengambilkan jika aku meminta tolong, maka kuputuskan tetap memakai pakaian sebelumnya. Selesai, aku keluar. Dia yang sedang duduk di sisi ranjang memperhatikanku dengan saksama. Jadi agak canggung, karena pandangannya tak lepas dari sosokku.

Aku membuka lemari, ekor matanya masih mengikuti. Aku berjongkok mencari dalaman, wajahnya ikut menunduk memperhatikan. Aku berdiri lagi mencari baju tidur, kepalanya ikut mendongak tetap fokus padaku. Dengan gerakan yang cepat, aku jongkok serta berdiri berulang kali. Kepala itu masih mengikuti. Ah, maksudnya apa, sih? Akhirnya aku berhenti, kemudian menghadap ke arahnya. “Maksudnya apa seperti itu?”

“Seperti itu bagaimana?”

“Ya seperti itu, ngelihatin terus!”

“Enggak boleh? Masa lihatin istri sendiri enggak boleh, sih?”

“Enggak boleh!” kataku dengan mata melotot.

“Soalnya ... kamu cantik.”

Aku terdiam, kemudian mengalihkan pandangan. “Apa?”

“Iya, kamu cantik. Tadi, kan kamu tahu sendiri wajahmu seperti dakocan. Setelah mandi dan bersih, kamu cantik.”

Rasa hangat menjalari pipi. Aku tidak jadi marah. Dengan segera aku mengambil pakaian, dan sedikit berlari menuju ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi kututup pintunya rapat-rapat, dan menelangkupkan telapak tangan di kedua pipi. Aku tersenyum sendiri.Maksudnya apa, sih, bilang begitu? Dia pikir aku suka? Tapi ... memang aku suka, sih.

Selesai berganti pakaian, aku keluar lagi. Ternyata dia tak ada di kamar. Aku keluar, dan mendapati pria itu sedang bicara dengan Mas Irwan. Ada Ibu menyiapkan secangkir kopi panas untuk keduanya. Aku pura-pura duduk di dekat mereka dan memainkan gawai. Padahal, aslinya cuma kepo dengan apa yang akan mereka bicarakan.

“Jadi, kamu mau membawa Hana ke rumahmu malam ini juga?” tanya Mas Irwan.

“Iya, Mas. Soalnya Ibu sendirian, saya minta tolong saudara menjaganya. Minggu depan, insyaallah saya ajak Ibu main ke sini. Dia pasti senang mendengar saya sudah menikah.”

“Benar-benar enggak ada yang menyangka, kalau Hana akan menikah denganmu, Nak. Terimakasih banyak, kamu sudah membantu kami.”

“Sama-sama, Bu. Kebetulan, dari dulu Ibu selalu memaksa saya menikah. Saya bingung harus menikah dengan siapa, karena tidak punya teman dekat wanita. Karena itu, saat Mas Irwan menawarkan, dengan keteguhan hati saya maju.”

Mas Irwan menepuk-nepuk pundaknya. “Kamu kerja apa?”

“Saya hanya seorang office boy di sebuah universitas. Di sana saya kerja sambil kuliah. Maaf kalau pekerjaan saya hanya itu. Tapi saya berjanji, akan mencari pekerjaan lain setelah menikah.”

“Oh iya,enggak apa-apa. Yang penting halal. Saya percaya kamu pria yang bertanggung jawab. Di universitas mana kalau boleh tahu?”

Dia menyebutkan nama sebuah universitas, yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Ya Allah, di sana juga aku kuliah saat ini. Bagaimana ini? Mati!

“Ambil jurusan apa dan semester berapa, Nak?” tanya Ibu.

Laki-laki itu tersenyum simpul, lalu menjawab.

“Saya ambil jurusan manajemen dan semester tujuh, Bu.”

“Bentar lagi kelar, ya? Semoga lancar semuanya.”

“Aamiin. Makasih, Bu.”

Rasanya aku mau pingsan. Kami kuliah di universitas yang sama. Jurusan yang sama, kemungkinan hanya beda kelas saja. Astagfirullahalazim!Bagaimana kalau teman-temanku tahu soal ini? Mereka semua pasti tak ada yang kenal dengan pria ini kemarin. Bagaimana kalau suatu saat, mereka menyadari ternyata aku menikah dengan seorang OB di kampus?

Oh May God!!