webnovel

Pindah Rumah

Aku menoleh, dengan dada bergemuruh mendengar kenyataan ini. Aku gagal menikah dengan Mas Prio yang jabatannya sudah tinggi di sebuah perusahaan, dan kini malah menikah dengan pria ini? Pria yang hanya seorang petugas bersih-bersih di mana aku mengemban ilmu saat ini?

‘Ya Tuhan ... ‘

Bahuku langsung lemas, dan tenagaku seolah melayang. Aku berdiri dan kembali ke kamar. Sampai di kamar, terdengar gawai berdering nyaring. Aku langsung melihatnya, ternyata panggilan dari Kiki, teman sekampusku. Aku menggeser tombol hijau di layar untuk mengangkatnya, lalu menempelkan benda pipih ini ke telinga. “Ya?”

“Hay, Hana!” katanya bersemangat. “Maaf, nelepon di malam pengantin malem-malem seperti ini. Hehe. Eh, aku ganggu enggak sih?”

Dengan malas aku menjawab. “Enggak, ada apa sih, Ki?”

“Uhh tayang-tayang, suaranya lemes banget. Pasti belum disemangatin sama ayang ya? Hehehe"

"Cepet, mau ngomong apaan, Ky? Aku capek dan ngantuk banget nih!"

"Iya, iya. Aku ngomong sekarang. Eh tapi ngomong-ngomong, suami kamu cakep juga loh. Nggak kalah keren dari Mas Prio si pembohong itu."

"Makasih ... masih lama nggak nih ngomongnya?"

"Bener nggak marah, kan?"

"Ya ampun nggak, Kiii!"

"Kirain mau marah gara-gara ada yang ganggu di malam pertama." Terdengar suara Kiki tertawa. "Jadi, aku tuh cuma mau bilang sesuatu yang nggak bisa kutunda sama kamu.”

“Soal apaan?”

“Soal suami kamu.”

“Su ... suami, aku? Kenapa memangnya?”

“ Tapi kamu jangan marah ya, Han. Aku udah bilang ke anak-anak saat aku datang ke acara nikahan kamu tadi, jujur, aku kayak pernah lihat lelaki yang maju untuk menggantikan Mas Prio tadi. Aku merasa, suami kamu kayaknya pernah aku lihat di kampus. Apa dia teman kuliah kita, ya?”

Deg!

Apa yang harus kukatakan? Mendadak aku gemetar. Aku berusaha bersikap biasa saja. Aku bahkan diam beberapa saat, sampai Kiki memanggilku berulang.

“Han, Hana ... kok diem sih?”

“Oh, maaf. Tadi lagi ada orang. Emang iya? Mirip siapa? Salah lihat kali kamu ... “

“Iya. Masa kamu enggak ingat, Han?”

“Aku ... aku benar-benar lupa.”

“Nanti, deh, kalau kamu sudah masuk, kita coba cari dia, ya! Mirip banget, Han.”

“Oh.” Hanya itu jawabanku.

“Ya sudah, deh. Selamat bermalam Minggu, pengantin baru.”

“Makasih.” Kemudian telepon mati.

Kreak! Pintu terbuka. Pria itu tersenyum kecil seraya masuk ke kamar. “Sudah siap?”

“Kemana?”

“Kita ke rumahku.”

Aku mengalihkan pandangan. Tak menjawab sepatah katapun.

“Kenapa? Ada masalah? Kok, diam?” tanyanya duduk agak jauh dariku.

“Selain masa lalu, kamu juga sering memperhatikanku, kan di kampus?”

Dia diam, menatap sayu wajahku. Setelah lama diam, dia menjawab,“Ya.”

"Apa kamu sengaja menikahiku untuk membuatku malu? Bagaimana bisa aku mendapatkan seorang pria yang hanya seorang office boy sepertimu?”

Kami bertatapan lama hingga tanpa kusangka,dia mendekat dan begitu saja mencium bibirku.Aku mendorong dadanya,saat rasa lembut baru saja mendarat di bibir. Kutatap pria dengan tatapan tajam. Niatnya supaya dia takut, tapi malah ....

“Lancang sekali!” kataku sedikit bergumam, karena mulut tertutup tangan.

“Itu balasannya kalau kamu marah-marah. Kamu dengar aku bicara di depan tadi, kan? Kamu pasti malu punya suami office boy seperti aku. Tenang saja, aku enggak akan mengatakan pada siapa-siapa mengenai status hubungan kita di kampus. Aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku suamimu, setelah punya pekerjaan yang jauh lebih baik nanti.”

“Pegang janji!”

“Iya.”

“Enggak boleh cium-cium asal lagi.”

“Kalau yang itu insyaallah.”

“Hey!”

Dia tertawa. Pria itu berdiri, dan memintaku membereskan pakaian karena akan mengajakku ke rumahnya. Sedangkan aku masih mematung. Apa benar dia pria dekil itu, kenapa dia berbeda? Kenapa dia sekarang ... jauh lebih tampan?

***

Kami mengendarai sepeda motor Supra X 125 hitam menuju RT sebelah. Di jalan, kami hanya diam. Kemarin kami belum kenal. Eh, sudah tapi hanya dia yang mengenalku, aku tidak begitu kenal. Kini kami diikatkan dalam tali perkawinan. Rencana Allah benar-benar ajaib.

“Mau beli makanan duluenggak?” teriaknya dari depan sana.

"Makanan apa?”

“Kamu penginnya apa?”

“Enggak, deh!” sahutku singkat.

Aku paham dia sulit cari uang. Menyapu kampus sebesar itu setiap hari bukanlah pekerjaan yang mudah.

“Kita beli martabak, ya!”

“Enggak usah!”

“Iya!”

“Aku bilang enggak usah!”

“Aku juga bilang iya.”

“Terserah!” sahutku kesal, dan dia hanya tersenyum kecil.

Sepeda motor berhenti di sebuah gerobak martabak di pinggir jalan. Aku enggan mendekat, jadi hanya menunggu di samping motor saja. Pria itu mengobrol sangat akrab dengan si penjual martabak. Apa dia bersikap seperti itu pada semua orang? Tiba-tiba pria itu menoleh, saat aku sedang mengamatinya.Mendadak aku pura-pura memeriksa kuku tangan. Tidak berapa lama,dia datang, menenteng kantong di tangan.“Kita pulang.”

Tanpa menjawab, aku langsung naik ke sepeda motor. Lagi, sepeda motor berjalan santai melewati beberapa perumahan dan gang. Sesekali pria yang bernama Suhada ini menunduk sambil mengurai senyuman untuk semua orang. Hingga tibalah kami di depan rumah yang cukup kecil dan sederhana. Rumah berwarna hijau, tapi catnya sudah banyak mengelupas. Aku turun dari sepeda motor dan memperhatikan rumah ini.

“Yuk, masuk!”

“Kita ... tinggal di sini?”

“Iya. Kenapa?”

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum samar.

Mas Suhada menenteng tas berisi pakaianku, lalu mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum, Ibu.”

“Wa’alaikumsalam.”

Tidak berapa lama, wanita paruh baya membukakan pintu. Dia tersenyum pada anaknya, dan Mas Suhada langsung mengambil punggung tangan sang ibu. “Kenapa pulang malam, Nak?”

“Nanti aku ceritakan. Mana Bik Rahmi?”

“Baru saja pulang.”

Kemudian pria itu menuntun ibunya masuk dan duduk di kursi kayu di ruang depan. Mas Suhada memandang ibunya lama, lalu merapikan rambut beliau. “Bu, aku ada kabar bagus.”

“Apa, Nak?”

“Aku sudah pulang bersama wanita. Dia istri sah Hada, Bu.”

“Oh, ya? Mana dia? Mana?”

Aku heran. Sejak tadi aku ada di sampingnya, kenapa Ibu tak melihatku?

Mas Suhada mengarahkan tangan Ibu ke mukaku, lalu Ibu merabanya dengan mata berkaca-kaca. “Ya ampun! Ini pasti wanita yang sangat cantik. Namamu siapa, Nak?”

Aku menatap Mas Suhada, dia memberi isyarat kalau ternyata Ibu tidak bisa melihat. Seketika, rasa sedih menyeruak di hati. Aku memegang tangan keriputnya dan mencoba tersenyum tipis. “Hana, Bu.”

“Ya Allah, suaranya merdu sekali.” Ibu mendekat dan memeluk, sedangkan mataku tak lepas memperhatikan pria itu.

“Makasih, Bu,” sahutku membalas pelukannya.

Puas bercerita banyak hal dan kejadian yang sesungguhnya, Mas Suhada mengantar Ibu istirahat di kamar. Setelahnya, kembali mendekatiku.

“Mas, sejak kapan Ibu seperti itu?”

“Sejak lahir. Sudah dari tahun kemarin Ibu terus saja mengatakan ingin aku menikah. Aku bingung, aku belum punya tabungan. Bagaimana aku mau melamar seorang wanita? Hingga saat undangan itu datang, akhirnya aku ke sana. Tanpa kusangka ada kejadian tak terduga. Sejak SMP aku menyukaimu, bahkan kita kuliah di kampus yang sama. Saat Mas Irwan mengatakan itu, aku langsung berdiri dan memberanikan diri untuk menikahimu.”

“Siapa yang mengundangmu?”

“Prio."

Reflek aku langsung menatapnya dengan pandangan heran.

"Apa? Jadi, yang ngundang dia?"

Mas Hada mengangguk. "Sebenarnya dia adalah ... sahabatku.”

“Hah?”