webnovel

Hasrat yang Terpendam

“Baru Mas mau bilang sama kamu. Kalau itu kaya suara temen-temen kamu."

“Duh, jadi, bagaimana ini, Mas? Mati aku kalau sampe ketahuan!”

"Mati kenapa?" tanyaku bingung.

"Pokoknya aku belum siap, Mas mereka tahu soal kita!"

Aku mencoba berpikir, lalu cepat mencari tempat bersembunyi ketika langkah mereka semakin ke sini. Aku berjongkok di bawah meja, lalu menarik tangan Hana untuk bersembunyi bersama. Tidak berapa lama terdengar langkah kaki, lalu terlihat kaki-kaki sahabatnya memasuki area kantin. Hana memejamkan matanya kuat-kuat karena sangat takut ketahuan. Jujur, sebenarnya aku bingung dengan sikap Hana, mengapa ia sangat takut hubungan ini diketahui oleh teman-temannya. Apa begitu memalukannya memiliki suami sepertiku?

“Hana! Duh, di mana, sih, itu anak?” Seseorang duduk di ujung sana.

“Apa sudah pulang duluan, ya?” lanjut teman yang lainnya.

“Coba telepon!” perintah wanita berambut ikal.

Mata Hana langsung membulat, dia segera merogoh tas dan menonaktifkan gawai miliknya. Tampak salah satu temannya terus menghubungi, tapi tidak tersambung.

"Hana, kok nggak aktif sih teleponnya!" kata temannya kesal.

"Kok tumben?" sambung yang lainnya.

"Apa mungkin abis batrai?"

Jelas saja karena Hana mematikan ponselnya. Tiba-tiba saja ada seekor kecoa berjalan cepat dan seperti bermain di dekat kami. Sontak Hana langsung kaget bukan kepalang dan terlihat ketakutan, dia hampir saja berteriak, tapi segera kututup mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya melingkari leher wanita ini. Ah, aku sudah seperti penjahat yang sedang menyekap wanita cantik.

“Sttt. Tenang,” bisikku sambil berusaha menyelentik hewan itu hingga akhirnya kena dan kecoa itu terpental jauh.

Kini aku baru menyadari, kalau jarak kami saat ini sangat dekat, bahkan ujung hidung kami nyaris bersentuhan. Pandangan mata kami beradu, manik mataku menatap wajah ayu Hana lekat. Pahatan Allah pada makhluk di hadapanku ini mashaAllah sangatlah indah. Aku terpesona, lalu lebih mendekat, dan kini aku bisa merasakan hangat embusan napasnya. Aku merasa, seolah ada magnet yang menarik untuk lebih mendekat pada wajah cantik itu. Kuamati wajah Hana lebih mendalam, menelisik setiap sudut wajah ayunya. Matanya yang indah, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lentik, lalu bibirnya yang ... sexy. Aku terdiam, kemudian kembali fokus menatap ke dalam bola matanya, lalu tanpa kusadari tangan ini terangkat untuk merapikan anak-anak rambutnya yang sedikit keluar dari hijab yang menutupi kepalanya.

Teriakan beberapa teman Hana tak lagi kami hiraukan. Kami sibuk dengan perasaan dan pikiran kami masing-masing. Hingga keheningan itu hadir. Semua teman istriku menyerah. Mereka pergi, karena tak kunjung menemukan Hana di sini. Aku sudah berusaha menahan, sialnya aku tergoda, dan akhirnya memilih untuk lebih mendekatkan wajah ke wajahnya. Hana terlihat tegang saat aku akan menciumnya. Aku memejamkan mata, lalu saat kiss itu hampir landing dengan sempurna, Hana mengalihkan pandangan. Dia mendekatkan bibirnya di samping telingaku. Aku tertunduk, menyandarkan keningku di sebelah bahunya.

'Akh, gagal!' batinku kesal.

“Sudah malam, Mas. Aku mau pulang,” bisiknya lirih tepat di samping telinga.

Aku mengangkat wajah, lalu tersenyum kecil seraya menatapnya. Tak ada yang bisa kulakukan, akhirnya aku melepaskan rangkulan tangan di lehernya dan Hana keluar dari persembunyian. Aku ikut keluar dari bawah meja, setelahnya, hanya bisa menatap kepergian Hana dari sini. Ia berlari kecil meninggalkanku menuju ke depan sana. Sementara aku terduduk di salah satu kursi kantin. Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuh Hana? Sementara hasratku menggebu setiap kali ada di dekatnya. Gontai aku melangkah menuju parkiran, dan pulang setelah Hana dan temannya pergi. Sepanjang perjalanan pulang aku terus tersenyum kecil membayangkan kedekatan kami tadi.

'Hana, gadis itu, kapan dia bisa membuka hatinya untukku? Meskipun aku tahu, itu akan sulit, tetapi aku akan tetap berusaha jadi laki-laki dan suami yang baik untuknya. Saat ini, aku hanya seperti lelaki bayangan. Lelaki yang hanya ada di dibalik tubuhnya. Tak apa, aku tetap bahagia, selama itu bisa membuatnya nyaman.'

Karena cuaca sepertinya sudah gelap, dan akan turun hujan, akhirnya aku menambah kecepatan sepeda motor ini.

***

Sampai di halaman, kumasukkan sepeda motor ke dapur yang terletak di belakang rumah, lalu menutup pintu dan langsung menuju ke kamar Ibu. Tampak Ibu sedang berbaring, dengan mata yang masih terbuka. Aku mendekat, lalu naik ke ranjang. Duduk di sisi rajang bambu kemudian memijat kaki Ibu secara perlahan. Menyadari kedatanganku ibu tersenyum.

“Suhada,” panggil Ibu yang mengenaliku langsung.

“Kok, tahu ini Hada, Bu?” tanyaku seraya tersenyum.

“Siapa lagi yang suka ngurutin kaki Ibu, kalau bukan kamu, Nak? Kalau Romlah, suka pijat punggung.” Ibu tersenyum.

“Baru pulang, Nak?”

“Iya, Bu.”

“Kamu itu capek. Kok, malah mijetin Ibu to?”

“Kata siapa Hada capek? Nggak kok, Bu. Tadi di tempat kerja, Hada banyak istirahatnya. Maaf, karena Hada enggak punya waktu buat ngurusin Ibu. Rasanya, waktu Hada semakin sedikit saja untuk Ibu. Terimakasih sudah bertahan sejauh ini. Terimkasih selalu mendoakan Hada setiap hari."

“Nak, kamu mencari uang juga untuk menafkahi Ibu, kan? Itu bahkan sudah lebih dari cukup. Ibu yang seharusnya minta maaf sama kamu, karena Ibu cuma bisa nyusahin dan jadi beban buat kamu, Nak.Sudah kewajiban ibu mendoakan kamu, karena kamu itu anak ibu. Dan seharusnya ibu juga yang berterimakasih karena kamu sudah bekerja keras dan memeras keringat demi untuk menghidupi ibu."

Aku menghentikan gerakan tangan, lalu menuntun ibu untuk duduk. Kutatap wajah tuanya, lalu mengusap pelan wajah itu. Rasa sedih tiba-tiba menyeruak di dalam dada. Bukan sekali dua kali ibu mengatakan hal ini, tetapi sudah sangat sering. Aku memegang kedua tangan ibu, lalu menggenggamnya.

“Bu, enggak usah bilang begitu. Ibu itu satu-satunya titipan Allah yang paling berharga buat aku. Apapun pasti Hada pertaruhkan untuk Ibu."

Ibu tersenyum, beliau melepas tanganku, lalu balik menggenggamnya dengan erat. Setelah cukup lama, ibu mengangkat sebelah tangannya, dan mendaratkan tepalak tangan itu ke pipiku. Aku menangkap tangan keriputnya, lalu mencium punggung tangannya.

"Ibu sangat beruntung punya kamu, Nak."

Aku tersenyum. Setelah berbincang banyak hal dengan Ibu, aku pamit untuk ke kamar. Kuketuk pintu beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Kuputar knop pintu, ternyata tidak dikunci. Perlahan aku memasuki kamar, terdengar suara Hana mandi di dalam sana. Ada yang berdesir, membayangkan yang tidak-tidak. Aku memijat kepala, dan berusaha mengalihkan pikiran ke arah yang lainnya. Tidak berapa lama, suara gemercik air di dalam kamar mandi tak terdengar lagi. Pintu terbuka. Aku mendongak, dan mendapati Hana sudah berdiri dengan tubuh yang hanya dibalut handuk saja.

“Aaa! Astaghfirullah!” teriaknya nyaring.

Aku tersadar, menatapnya sesaat, lalu membuang pandangan ke arah lain. Wanita berkulit putih itu langsung kembali masuk ke kamar mandi.

“Mas, kenapa, sih,enggak ketuk pintunya dulu?!”