webnovel

Namamu ....

"Ilona! Apa yang kau lakukan?"

Dalam sekejap, Jeanne langsung menarik tubuh Ilona mendekat padanya. Mengunci pergerakan adik tirinya dengan cepat, kemudian menatap ke arah Ramos dengan kecanggungan.

Senyum langsung merekah malu-malu dan berusaha untuk tetap kuat. Menghadapi sebuah pesona dari Ramos Frederick, yang benar adanya.

"M–maaf, maaf, T–tuan? Adik saya tidak berniat untuk mengganggu," ucap Jeanne terbata-bata. Perempuan itu menundukkan kepalanya berkali-kali, dan membawa Ilona pergi. Bahkan sebelum Ramos ingin berusaha menghentikan.

Tangan Ramos terulur, seolah ingin menghentikan. Tapi, ternyata mereka sudah benar-benar pergi dari balkon ini— menuju ke ballroom.

Ilona memutar kedua bola matanya. Ia benar-benar kesal, sungguh kesal. Bagaimana bisa, Jeanne menghancurkan semua rencananya.

"Ilona, apa kau benar-benar sudah gila? Beliau adalah putra dari Duke Frederick." Suara itu memang kecil, tetapi Jeanne mengatakannya dengan nada geram.

"Aku belum gila, Kakak. Dan … aku tahu bahwa dia Ramos." Ilona menjawab malas.

"Ramos? Kau memanggilnya tak sopan seperti itu, Ilona? Bagaimana jika bangsawan-bangsawan lain mendengar? Panggil beliau, Duke Frederick." Kali ini Jeanne mendekatkan badannya. Berbisik dengan perasaan mengebu-ngebu.

"Tapi, kau memanggilnya 'Tuan', tadi."

"Mungkin aku sedang gugup," kilah Jeanne.

Ilona menghela napasnya pelan. "Lagipula, Ramos bahkan belum dijadikan sebagai Duke dari keluarga Frederick."

"Ilona–"

"Ya, ya, aku tahu." Ilona menghentikan Jeanne yang hampir saja, ingin kembali berbicara panjang lebar padanya.

Jeanne memilih diam. Tak baik bila dirinya memarahi Ilona di tempat ramai bangsawan seperti ini.

Tapi, Jeanne masih merasa sedikit aneh. Ilona sama sekali tidak memanggilnya dengan sebutan 'Kak' ataupun 'Kak Jeanne'. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ternyata ini bukanlah saat yang tepat.

Karena dari depan sana, sebuah acara kembali dimulai. Kemudian, Ilona dan ketiga saudari tirinya yang hanya seorang bangsawan kelas rendah, hanya bisa melihat dari jauh.

Bagaimana Ivona Iloka terlihat senang didampingi oleh Ramos.

"Terima kasih banyak, kepada semuanya yang telah datang ke acara ulang tahun saya. Saya sangat senang dan saya harap, semua orang dapat menikmatinya dengan bahagia. Saya ucapkan terima kasih kepada Count Iloka, ayah saya. Meski beliau sedang memiliki pekerjaan di Kerajaan. Tapi, ayah menyempatkan waktu untuk memberi saya ucapan pagi-pagi sekali. Begitu juga kakak saya, Kak Deigon. Terima kasih atas kasih sayangnya."

Pidato itu diakhiri oleh senyum ceria Ivona. Kemudian, suara tepukan tangan dan beberapa mulut bangsawan yang takjub pun, menjadi pemandangan.

Yang paling menarik adalah, Ramos berada di depan bersama Ivona. Tapi, pria itu hanya tersenyum tipis. Benar-benar, keluarga Frederick yang terkenal oleh pahlawan Kerajaan.

"Saya juga … merasa senang karena Putra Duke Frederick datang ke acara spesial ini. Terima kasih banyak." Ivona menundukkan kepalanya, kemudian mengangkat kembali. Menatap ke arah Ramos yang jauh lebih tinggi darinya— dengan pandangan berusaha ramah.

Ramos menganggukkan kepala. "Ya. Saya juga berterima kasih atas undangannya."

Saat itulah, Deigon langsung menghela napas dengan senang. Sebagai kakak laki-laki yang sayang adiknya, ia akan merasa senang begitu melihat Ivona senang.

Kemudian, Ilona hanya menjadi penonton drama kolosal ini. Perempuan itu bertepuk tangan malas, bersamaan dengan kepalanya yang beberapa kali mengangguk.

[Berikan saja putri manja itu napas.]

Beberapa saat berlalu. Dan pada suatu waktu, Ilona bertanya sekali lagi pada Jeanne.

"Apakah ini benar-benar sudah selesai?" tanya Ilona. Melihat Jeanne, Shilla, juga Sherly yang perlahan mulai membalikkan badan dan berjalan keluar dari ballroom ini.

Jeanne menganggukkan kepala. Lalu melanjutkan langkahnya tanpa berbalik.

Saat itulah, Ilona juga berusaha mengerti untuk tidak kembali berbicara. Ia hanya mengikuti bagaimana ketiga saudari tirinya berjalan. Sampai akhirnya mereka telah benar-benar keluar dari kediaman Duke Iloka yang bangunannya— lebih dari satu.

"Ilona, naiklah." Jeanne mengatakannya selembut mungkin. Mengingat bahwa masih ada kusir, yang bisa-bisa menjadi penghalangnya.

Ilona ragu. Dirinya sudah meluangkan waktu untuk ke sini, dan hanya bisa memastikan mengenai Axel saja? Jika begini, lebih baik tadi Ilona tetap berada di kediaman Berenice. Di mana Count Berenice dan ibu tiri belum datang.

"Kak, sebentar. Tapi–"

"Ilona." Suara Jeanne semakin mencegah.

Ilona kalah. Perempuan itu menganggukkan kepala tanpa berniat menatap ke arah Shilla ataupun Sherly. Kedua adik tiri yang terlihat kesal.

Begitu salah satu kaki Ilona naik ke panjatan kereta kuda, saat itulah ia terhenti. Mendengar adanya seseorang dengan suara bariton, yang mencegah.

"Tunggu!"

Ilona menolehkan kepalanya. Lalu salah satu kaki yang semulanya hendak naik, ia urungkan. Kembali menginjakkan keduanya di tanah.

Tidak ada raut wajah terkejut yang Ilona tunjukkan. Sangat berbeda sekali dengan ketiga saudari tiri, yang bahkan perlu menggunakan tangan untuk menutup mulut yang ternganga.

Ramos. Pria dengan pakaian bangsawan ungu pekatnya datang kembali pada Ilona. Berdiri di depan perempuan itu, dengan raut wajah serius. Dia tadi berlari, tetapi Ramos bahkan tidak kehabisan napas. Ramos benar-benar pria yang kuat.

Ia berusaha untuk tak membuat suasana menjadi canggung.

"Namamu. Siapa namamu?"

"Nama saya Ilona Berenice. Putri dari Count Berenice." Ilona menjawabnya. Diiringi oleh senyuman lugu.

Setelahnya, Ilona kembali menghadap ke kereta kuda. Naik dan masuk ke dalam kendaraan para bangsawan di era seperti ini.

Benar-benar meninggalkan ketiga saudari tirinya yang tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan, Ramos yang juga menjadi tambah canggung dengan situasinya.

[Di ibu kota, sikap ini dinamakan 'jual mahal'.]

Ilona tersenyum puas di dalam kereta. Duduk pada sebuah bangku yang lumayan nyaman.

Tak lama setelahnya, tiga saudari tiri itu juga telah masuk ke dalam kereta kuda. Ilona duduk bersebelahan dengan Sherly. Sementara di hadapannya, Jeanne dan Shilla.

Ketiganya hanya meng-kode beberapa kali, tanpa berniat untuk membalas. Kereta kuda. Tak nyaman membicarakan semuanya di sini.

Seperti dugaan. Begitu Ilona sampai di kediaman Berenice, ia sudah ditodongkan banyak sekali pertanyaan. Yah, setidaknya mereka bertanya di ruang utama. Bukan di depan rumah.

"Ilona, kau harus menjelaskan semuanya." Jeanne menyimpulkan dan meringkas dari banyaknya pertanyaan yang tadi Shilla serta Sherly tunjukkan.

Ilona mengangkat kecil kedua bahunya. Hal yang biasanya dilakukan orang-orang masa depan; ketika mereka tidak tahu atau tidak mau tahu.

"Menjelaskan dari mana, Kak? Apa ada yang perlu dijelaskan lagi?"

"Tentu saja. Ada banyak. Bagaimana bisa Putra Duke Frederick datang dan menanyakan namamu? Termasuk, dengan perubahan sifatmu itu." Shilla mengatakannya dengan nada kesal.

[Kau tahu, Shilla? Aku jauh lebih kesal darimu.]

"Memang salah bila dua bangsawan saling menanyakan nama? Bukankah itu yang dinamakan sosialisasi?"

"Tapi, beliau adalah–"

"Sherly, apa bedanya? Lalu, sifat seseorang berubah itu normal. Kenapa kalian membesar-besarkannya?"

Ilona membalikkan badan. Kembali berjalan ke arah sebuah lorong, yang nanti akan mempertemukan dengan kamarnya.

Langkah Ilona berhenti. Menatap pada seorang dayang.

"Count belum pulang?"

Dayang itu menggelengkan kepalanya. "Belum. Tuan Count dan Nyonya Count akan pulang sebelum makan malam."