webnovel

Tiga

Semua orang di dalam gedung sibuk. Lukisan lukisan mulai digantung, makanan kecil ditata, dan lampu lampu mulai dinyalakan. Deno sedari tadi berjalan bolak balik memeriksa semua lukisannya. Memeriksa apakah lukisannya udah di tempat yang tepat atau belum. Sesekali ia bertanya pada lelaki di sampingnya tentang warna ruangan dan lukisan.

"Sudah oke?" Tanya Deon melihat ke arah lukisannya.

"Cahayanya terlalu kuning kayaknya mas." Deon mengangguk paham.

"Urus aja deh, gua mau siap siap. Lima belas menit lagi kita buka." Lelaki tadi mengguk dan berlalu pergi.

Ini adalah pameran ke 2 milik Deon. Pameran pertamanya digelar 2 tahun yang lalu dan sukses menarik perhatian banyak orang bahkan media. Dari sanalah orang orang banyak mengenalnya. Dari sana juga ia mulai menghasilkan uang.

Orang penting banyak yang menawar lukisannya hingga puluhan juta. Lukisannya bahkan pernah ditawar oleh seniman dari negara lain. Deno tak paham kenapa orang orang menyukai lukisannya. Karena ia hanya melihat keheningan yang luar biasa dari lukisannya sendiri. Lalu kenapa banyak orang membelinya?

Deno melihat lukisan terbarunya yang ia lukis di Anyer sambil memegang sebotol air putih. Pakaian Deno hari ini sama seperti biasanya, santai

dan gelap.

"Deno!" Panggil seorang lelaki paruh baya dari kejauhan. Lelaki paruh baya itu datang dengan beberapa pengawal di belakangnya. Bajunya nampak biasa saja. Kaos polo berwarna biru dengan celana bahan abu abu. Jalannya membungkuk dan tertatih, rambutnya pun telah memutih.

Deno tersenyum dan segera menyambutnya dengan ramah.

"Selamat datang Pak Handoko."

Pak Handoko tersenyum lalu menjabat tangan Deno. "Apa kabar kamu?"

Deno tersenyum dan mengangguk. "Baik."

"Lukisan yang di depan."

Deno langsung menengok. "Saya tau itu gak dijual. Kan ada tulisannya." Pak Handoko terkekeh.

"Sudah dua tahun saya nawar itu gak pernah berhasil. Jadi saya mau coba lagi."

"Gimana? Udah bisa belum kalau sekarang?" Deno berpikir.

"Gimana kalo gini. Saya beli lukisan kamu yang di depan itu. Tapi, kamu anggap aja kalo kamu itu cuma nitip ke saya. Jadi kayak mindahin tempat aja gitu."

Deno menghela nafasnya dan kembali menggeleng sambil tersenyum menyesal.

Pak Handoko tertawa setelah menggoda Deno. "Okelah kalau gitu, saya mau ambil yang di ruang tengah aja. Yang gambar gunung."

"Semua aman?" Lanjut Pak Handoko.

Deno mengangguk.

"Kalau butuh dana bilang sama saya, jangan diam saja." Lahi lagi Deno hanya mengangguk.

Pak Handoko menatap Deno serius. "Bulan depan ada acara kumpul di panti. Kamu bisa datang?"

"Walaupun kamu kabur berkali kali dari panti tapi kamu tetap keluarga panti Deno."

Ingatan ingatan selama dia hidup di panti asuhan kini berlalu lalang di kepalanya. Ibu panti yang memberikannya makan, teman teman panti yang mengajaknya bermain, serta Pak Handoko yang mengajarkannya melukis.

"Aku punya pertanyaan." Pak Ahndoko mengangguk mempersilahkan Deno untuk bertanya.

"Kali terakhir aku kabur, kenapa Bapak gak cari aku seperti sebelum sebelumnya."

"Kali terakhir kamu kabur itu adalah percobaan yang ke sepuluh. Kalau kamu ditangkap dan dikembalikan lagi ke panti ga ada yang bisa menjamin kamu akan tetap di panti dan tidak kabur lagi. Keinginan kamu untuk pergi dari panti dan mencari orang tua kamu itu sudah terlalu besar. Semakin bertambah umurmu semakin bertambah niatmu. Saya memantau kamu dari jauh sejak hari itu, dan kamu tau itu."

Deno memejamkan matanya menyesal. Ia rasa ia telah salah berbicara. Kini Deno seperti kacang yang lupa dengan kulitnya.

"Jika kamu berpikir saya dan orang orang di panti tidak peduli kamu salah."

Pak Handoko tersenyum manis pada Deno. "Saya masih ada urusan jadi mau langsung pergi. Nanti anak buah saya yang urus ya Deno."

"Baik Pak. Terima kasih." Deno bediri diam sambil melihat punggung Pak Handoko hingga keluar dari pintu.

"Kalo gue yang beli boleh gak?" Deno membalikkan tubuhnya terkejut saat mendengar suara wanita di telinga kanannya.

Jihan.

Jihan berdiri di sana dengan gaun hitam diatas lutut serta sepatu tinggi hitamnya. Gaun itu membuat kakinya nampak jenjang. Bros yang ia pakai membuat gaun polos itu nampak mewah.

Jihan memutar bola matanya malas. "Lupa ya."

"Pantai Anyer." Deno mengangguk sedikit setelah mengingat Jihan.

"Gak mau nanya apa apa gitu?" Deno menggeleng.

Deno terlihat sama sekali tidak tertarik dan langsung pergi dari hadapan Jihan. Jihan yang ada di belakangnya ingin menyusul. Sayang, sepatu hak tinggi yang digunakannya sedikit mengganggu.

Jihan sedikit meringis merasakan sakit di pergelangan kakinya. Zidan yang berada jauh di belakangnya dengan sigap berlari dan membantu Jihan berdiri.

"Ah sepatu ga jelas!" Jihan menghempaskan tangan Zidan lalu melepas sepatunya. Ia menyusul Deno dengan kaki telanjang.

"Deno!" Teriak Jihan hingga beberapa orang menengok.

Deno memejamkan matanya lalu berbalik. "Berisik." Jihan langsung menutup mulutnya.

Jihan kini berbisik. "Ya makanya lu jangan main pergi aja."

Jihan kini berdiri di depan Deno sambil mengulurkan tangan. "Kita belum kenalan secara resmi."

Deno dengan ragu menjabat tangan Jihan. Keduanya mengucapkan nama masing masing.

"Udahkan? Gue masih ada urusan lain." Tanpa menunggu jawaban Deno langsung meninggalkan Jihan di tengah tengah pameran.

Pameran hari itu diadakan hingga sore. Deno akan terus berbicara pada orang orang penting yang menawar lukisannya. Beberapa agen juga datang sebagai utusan orang lain. Banyak yang membeli dan banyak juga yang hanya bertanya.

Sedangkan Jihan, ia tidak pergi dari tempat itu. Jihan menunggu di luar sambil memakan cemilan cemilan yang dibeli oleh Zidan. Zidan dan teman temannya pun hanya memperhatikan Jihan dari kejauhan.

Jihan mulai bersiap ketika melihat beberapa pegawai mulai keluar dari gedung. Matanya fokus melihat setiap kepala yang keluar dari pintu hingga akhirnya Deno keluar bersama seorang pegawai laki laki yang sejak tadi membantunya. Mereka tertawa bersama saling melemparkan candaan.

Jihan yang melihat Deno keluar mendekat. Sandal jepit warna hijau yang sedikit kebesaran membuatnya sedikit susah untuk berjalan. Tapi setidaknya tidak sesulit tadi.

Deno yang melihat Jihan langsung diam memasang wajah datarnya. Jihan berdiri di depannya dengan tampang dingin sambil membalas tatapan Deno.

"Duluan aja." Kata Deon pada lelaki di sampingnya.

"Lu kenapa sih?" Tanya Deon sambil berkacak pinggang.

Jihan menatap Deon ragu.

"Mau ngomong?" Tanya Deon.

"Iya"

"Ngomong apa?"

"Hmmm."

"Buruan."

"Sabar dong."

"Gue tinggal nih ya."

"Bentar!" Jihan yang biasanya seperti singa betina kini nyalinya entah kemana.

"Zidan sini!" Zidan berlari dari kejauhan.

"Bilangin!"

Zidan mengerutkan dahinya. "Bilang apaan mbak?"

"Itu yang kemarin." Zidan mengangguk lalu menegakkan tubuhnya.

Deno melihat Zidan dan Jihan bergantian.

"Buruan Zidan." Suruh Jihan.

"Ekhem!" Zidan bersuara.

"Mbak Jihan mau ajak mas Deno nikah."