webnovel

4. seripihan

Jika manusia memahami segala apa itu, contohnya masalah yang lalu ketika aku mendapatkan beberapa pengaruh terbesar dalam hidup. Masa kecil serta dorongan X dan Y, maksudku internal dan eksternal. Terlebih lagi saat manusia masih ada di ranah belia atau anak-anak.

Masih sangat rentan untuk mendapatkan beberapa hal doktrinasi seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, begitu banyak hal positif maupun negatif. Sebenarnya tidak semua itu buruk tapi aku juga memiliki masalah lain untuk lingkungan. Kritikan dan bantahan dari segala hal terhadap orang-orang tidak ada habis-habisnya.

Aku menulis dan mencoretnya, semua terjadi apa yang memang ada di depan kepala ku serta terdengar jelas semua kata-kata yang masuk ke dalam pikiran. Mungkin menjadi bodo amat memang bagus, tapi kita punya telinga. Pasti masih ada beberapa kutipan masih tertanam dalam benak meski sudah berlalu.

Memberontak? Bersalah? Entah mengapa tiba-tiba mereka mudah sekali terus-menerus menghakimi sesama manusia. Apakah kamu seorang ahli hukum? Jika memang tidak, mengapa mereka seolah-olah pandai untuk bermain hakim sendiri sesama manusia?

"Haha.."

Meja ini jadi kotor, seperti kehidupan nyata yang sangat kejam ini. Biarkan aku membersihkan meja ini, agar aku nyaman untuk kembali menulis. Bukan seperti mengurusi kehidupan orang lain.

"Tunggu.."

Perjalanan menceritakan aku menerima diri? Aku saja belum bisa mencintai sepenuh hati tentang diri sendiri. Ah, lupakan aku harus melanjutkan cerita tentang pengalaman hidupku ini.

Aku yang sedang mendengarkan musik dengan asyik. Aku kembali menulis semua tentang catatan manusia. Aku tidak suka bermain hakim sendiri, aku bukan seorang ahli hukum. Saat di waktu ini, sempat aku berpikir mengenai anarkisme.

Mungkin catatan dari cerita ini bisa menjadi pembelajaran? Tapi siapa yang peduli. Lebih baik aku terus menulis semua hal yang memang aku harus selesaikan, ini belum selesai. Mengapa aku sudah ingin berhenti?

"Fyuhhh...."

Ketika sedang menulis, mama yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga memanggil-manggil untuk segera membantu pekerjaan rumahnya.

"De..."

"Iya, ma.."

Akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan penulisan untuk sementara waktu. Aku pun pergi meninggalkan meja belajar dan membuka pintu kamar untuk membantu beberapa pekerjaan rumah.

***

2009, kelas 3 SD.

Tidak terasa ternyata sudah beranjak semakin bertambah usia. Mengingat aku adalah seorang pecundang yang pandai melihat peluang, sebagai contoh aku yang penuh kewaspadaan setiap harinya.

Tepatnya di pagi ini, aku sedang ada di sekolah dasar. Aku yang dulunya sulit berbicara dengan orang-orang karena selalu melihat keburukan dalam orang-orang yang ada di sekitar. Suatu kebanggaan tersendiri jika aku bisa untuk beradaptasi walaupun membutuhkan waktu yang lama.

Setelah terbiasa dengan warna suara, alarm yang terus-menerus mengingatkan ada bahaya, apa pun itu kemampuan di alam bawah sadar aku sudah bisa memulai dengan terpaksa namun terbiasa. Analogi seperti kamu membenci dia tapi kamu juga mencintai atau menyayangi dia kurang lebih begitu.

Merasa pernah ada di puncak kuasa tertinggi saat itu. Nilai mata pelajaran meningkat dari sebelumnya, ranking terbawah menjadi lima besar, mulai memahami bisnis atau berniaga sesama murid di waktu kecil. Meskipun hasil memang terbaik tapi bukan berarti proses begitu mudah seperti yang di bayangkan.

Pagi ini, tepatnya jam istirahat, seperti biasa aku selalu pergi menghampiri mama untuk meminta uang jajan. Kira-kira aku diberikan Rp. 5.000 untuk membeli jajanan di kantin.

"Ma, aku mau jajan dong.. boleh kan!"

"Yaudah, sini.. tapi jangan jajan sembarangan ya!"

Setelah aku mengambil uang jajan, aku pergi ke kantin. Lagi dan lagi, aku sampai bosan dengan kakak kelas yang sering sekali mengganggu diriku ini, baik itu perempuan maupun laki-laki, semuanya sama saja.

"Hei, lihat, ada anak mami di sana!"

"Haha, mayat hidup! Mau beli borax ya?"

"Sini-sini, kakak beliin formalin biar kamu nggak busuk!"

Aku telah mengalami hal ini bertahun-tahun di sekolah ini, dan seakan-akan pecahan diriku sendiri semakin lama semakin banyak serpihan yang berantakan. Meladeni mereka cukup melelahkan. Lebih baik aku tinggal untuk sementara waktu agar aku bisa segera kembali ke dalam kelas dan aman dari para pengganggu itu. Sering kali aku juga mempertanyakan mengapa, apa, bagaimana, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebagai contoh:

Sebenarnya apa kesalahan diriku ini? Sampai-sampai aku, Cen kecil, terlalu sering terobsesi dengan rasa insecure. Pernah aku memikirkan hal itu, baik saat masih SD atau sekarang.

"Apa sebenarnya yang membuatku insecure? Wajah? Tubuh? Kecerdasan? Uang? Keluarga? Bukankah semua sudah diatur oleh Tuhan?"

"Wajah dan tubuh ini, sebenarnya Tuhan sudah menciptakan manusia semaksimal mungkin dalam kecantikan dan kegantengan. Kecerdasan? Mengapa aku harus merasa insecure? Kecerdasan bisa dilatih melalui pembelajaran yang terus-menerus, karena Tuhan memberikan bakat unik pada setiap individu saat dilahirkan. Uang? Kalian bisa mencari uang sendiri, belajar berdagang, dan mengembangkan usaha sendiri. Keluarga? Jika keluargaku jauh dari kata 'sempurna', itu tandanya Tuhan ingin kita belajar menjadi lebih dewasa. Jadi, jangan jadikan kata 'insecure' sebagai alasan untuk menyerah."

Ya, sebenarnya banyak orang yang merasa insecure dengan diri mereka sendiri. Bahkan aku pun demikian, terkadang merasa seperti mayat hidup.

"Fyuhhh..."

Mama dan papa selalu mengatakan bahwa laki-laki seperti aku seharusnya bersyukur dan tidak peduli dengan lingkungan yang memengaruhi diriku secara negatif.

"De, gimana hari ini? Kenapa kamu terluka?"

Entah mengapa aku merasa enggan berbicara ketika ditanya tentang pengalaman pribadi yang sering kali menjadi korban bullying. Terpaksa aku harus memberikan jawaban yang berbohong agar tidak ada masalah lagi.

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Seperti biasa, aku meletakkan tas di perpustakaan karena aku terbiasa masuk ke perpustakaan terlebih dahulu untuk membaca beberapa buku cerita atau buku lainnya.

Mungkin perbedaan saat pertama kali masuk dan sekarang sangatlah besar. Sekarang, bukan hanya keroco yang mengganggu, tapi juga kakak kelas yang memiliki tubuh dua kali lebih besar dari tubuh mungilku.

Mengingat saat itu, seringkali aku ditarik ke belakang sekolah untuk berkelahi. Jika aku menolak, mereka akan memaksa aku untuk ikut serta.

Hari demi hari, sepertinya aku semakin terpecah. Ya, kesadaranku mulai memudar seolah bukan "Cen kecil" yang berada dalam tubuh ini. Semua gejalanya telah aku alami dengan banyak trauma ringan dan berat.

Entah mengapa setiap minggunya di sekolah ini, selalu ada pertengkaran atau perkelahian. Banyak anak yang bermasalah dan tertarik untuk menggangguku. Aku selalu diminta untuk mengabaikan mereka, dan aku selalu melakukannya. Aku menuliskan segala perasaanku pada selembar kertas. Aku juga merasa muak, tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya menjalani saja. Keluarga juga memaksa aku untuk tetap berada di lingkungan itu.

"Haha, ironis."

Jika aku mengingat semua kejadian saat aku masih di bangku sekolah dasar, pemutaran film tragedi atau kenangan itu terjadi kembali. Sama seperti ketika aku menulis beberapa cerita bersifat sarkastik kemarin.

Apakah orang-orang ingin mengetahuinya? Bagaimana perubahan diriku menciptakan pribadi yang baru? Bahkan bisa mengubah kehidupan.

Pasti pembaca akan teringat bahwa kepala ini selalu sakit, berisik, dan dapat melihat beberapa anomali atau keanehan dalam kepala ini. Ada satu sosok pertama dalam diriku yang dingin dan jarang berbicara. Dia juga memiliki sisi gelap dari diriku sendiri.

Dulu, teman-teman terdekatku, termasuk temanku bernama Eza, sering mengingat diriku sebagai "psikopat" karena kadang aku bisa berubah seperti orang lain dan memukul orang seperti sedang bermain-main. Jika kalian bertanya-tanya apakah aku mengingat kejadian itu, sebenarnya aku tidak mengingatnya. Menurutku, fase tiga dimana kesadaran mulai beralih, membuatku tidak bisa mengingatnya. Inilah penjelasan tentang fase kepribadian yang aneh itu.

Fase 1: Memiliki kesadaran host (kepribadian utama) 100:0

Fase 2: Kesadaran host akan dibagi dengan beberapa alternatif 50:50. Gejala pada fase ini termasuk sulit berbicara, sakit kepala, kebisingan dalam kepala, kehampaan, ingatan yang kabur, dan cara berkomunikasi yang bercampur dengan kepribadian lain.

Fase 3: Host tidak dapat lagi sadar dalam menjalankan sesuatu, biasanya dimulai dari fase 2 dan berlanjut ke fase 3 ketika alter ingin menggantikan host sebagai pemeran utama (0:100).

Efek samping dari fase 3 biasanya meliputi hilangnya ingatan pada host (pribadi primer atau utama), ketidakmampuan untuk mengingat tindakan yang telah dilakukan, dan tidak semua kesadaran dalam host adalah kepribadian yang baik, sehingga mungkin muncul karakter lain seperti psikopat/pembunuh, licik, dll.

Ketika aku berada dalam beberapa fase tersebut, aku selalu berusaha menahan diri. Misalnya, jika aku berada di fase 2, aku akan menjauh dari lingkungan untuk meminimalkan perubahan karakter. Juga, ketika aku berada di fase 3, aku tidak ingin masalah terjadi karena pribadi lain yang membuat masalah tanpa aku sadari. Permasalahan dalam hidupku sangat banyak. Manusia tidak dapat terlepas dari kesalahan atau musibah. Setiap kali aku terlibat dalam perkelahian, sejujurnya, aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Aku seperti boneka kayu yang bergerak mengikuti perintah tuannya.

Bayangkan, aku harus melawan satu anak yang memiliki berat badan 30-45kg, sedangkan berat badanku hanya 25-30kg. Aku terlihat menakutkan ketika kepribadian lain atau pribadi itu mengambil alih tubuh ini. Semua terasa mudah dilalui, tapi menyebabkan efek samping pada tubuh seperti memar dan luka-luka.

Karena aku tidak bisa mengingat semua kejadian itu, aku hanya bisa mendengarkan cerita dari teman-temanku saat masih di sekolah dulu. Mereka juga sering mengingatkan bahwa aku memiliki banyak kepribadian. Bahkan orang-orang terdekatku, baik yang dekat maupun yang jauh, sering mengatakan bahwa aku kerasukan "jin" atau menyinggung hal-hal mistis. Padahal, aku memiliki banyak masalah yang telah aku alami selama sekolah. Setiap kali aku bersekolah, kepala sekolah atau siapapun itu, selalu menghakimi diriku dengan kata-kata seperti "Kamu lagi? Kasihan anak orang kamu dipukul." Ya, kurang lebih itu adalah omelan yang aku terima dari keluarga juga, tapi aku tidak sadar tentang hal itu.

Walaupun mungkin itu hanya imajinasi sendiri, mereka selalu berbicara seolah-olah aku normal dan baik-baik saja.

"Cen, kenapa kamu murung?"

"Iya, ceritakan padaku."

"Kamu normal kok, mereka yang iri padamu. Kamu unik!"

"Ayo, kamu pasti bisa."

...

..

.

"Cukup. Aku muak!"

Semua perkataan itu selalu terdengar jelas di telingaku. Aku hanya bisa menahan rasa sakit dan kesedihan di dalam hati. Apakah kamu pikir hal seperti ini sepele? Tentu tidak.

Ini adalah mimpi buruk yang selalu menghantuiku, terus-menerus terbayang sampai aku bosan melihatnya. Baik itu kekerasan eksternal atau pengaruh internal. Aku menerima semua tekanan itu selama bertahun-tahun dan harus menjalani hal itu. Apakah kamu ingin aku mengingat kembali kejadian traumatis? Huft, aku harus menerimanya. Inilah kisahnya.

Pagi itu, pada waktu yang lain dari kejadian yang aku ceritakan tadi, aku masih punya cerita kecil saat aku pergi ke toilet umum di sekolah. Aku bertemu dengan seorang kakak kelas yang sedang buang air kecil. Tatapannya seperti sedang melihat mangsa menurut persepsiku.

Aku mengabaikannya dan masuk ke dalam toilet untuk buang air kecil. Seperti yang kalian tahu, toilet laki-laki seperti neraka yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak peduli dengan kebersihan. Bau toilet sudah tercium sekitar tiga meter dari pintu. Saat aku berada di toilet, aku berjaga-jaga agar tidak ada yang masuk.

**BUGHHHH!!!!**

**BUGHHHH!!!**

Mereka menendang pintu kamar mandi, dan aku terjatuh ke dalam WC yang kotor itu. Mereka mengencingi kakiku dan ember yang biasanya digunakan untuk menyiram kotoran. Sosok itu, iya. Seperti yang aku rasakan selama beberapa tahun atau beberapa hari yang lalu. Dia mengambil alih tubuhku sepenuhnya tanpa aku sadari, dan aku memukul tiga orang di depan toilet dengan kejam. Mereka bilang aku tert

awa sambil menangis karena bahagia bisa mengambil alih tubuh ini.

Mungkin saat itu adalah puncak ketika aku mulai terbelah menjadi beberapa pribadi. Entah itu secara sadar atau tidak. Mereka ada di sini sampai sekarang.

***

Aku kembali menulis, kali ini saat aku sedang membantu pekerjaan rumah. Aku memikirkan cerita itu, tentang saat pertama kali diriku memiliki serpihan kepribadian.

Baru-baru ini aku pergi ke psikiater untuk pertama kalinya. Meskipun belum ada diagnosa resmi tentang kepribadianku, namun telah dikonfirmasi bahwa aku menderita "Gangguan kecemasan lainnya". Dibutuhkan waktu lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosis yang lebih terperinci.

Dokter itu menyarankan agar aku mengenal diriku lebih dalam. Menjelajahi sisi yang lebih dalam dari diriku saat ini. Dokter bertanya apakah kepribadian lain tersebut memiliki nama atau cara lain untuk mengidentifikasinya.

"Halo Shen/Cen, apa kabarmu?" sapa dokter.

"Halo dokter, kabar buruk, bisa dibilang begitu."

"Loh?! Kenapa? Silakan duduk, mari kita bicara di sini."

Sambutan hangat dari dokter spesialis jiwa menyapa diriku. Tidak ada ancaman atau penghakiman seperti yang aku alami dari orang lain. Aku menceritakan sebagian kecil hingga masalah terbesar dalam hidupku.

Dalam waktu yang cukup singkat, sekitar 30-120 menit, kami berbicara panjang lebar tentang kesehatan psikologis. Ini adalah pertama kalinya bagiku. Dokter memberikan pengobatan selama 30 hari untuk melihat apakah obat tersebut berpengaruh atau tidak. Baik atau buruk, itu tergantung pada diriku sendiri.

Aku merasa mendapatkan layanan yang baik saat pertama kali mengunjungi psikiater. Hal ini membuka peluang bagiku untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Sekarang, saat aku duduk di sini, aku memikirkan beberapa masalah kecil yang telah aku hadapi. Aku hanya bisa terdiam ketika ditanya tentang kabar terakhirku.

Merasa nyaman untuk sementara waktu seperti ini, bukan? Bahkan keluargaku sendiri atau beberapa orang yang memberikan nasehat seperti angin berlalu. Jujur, aku juga sudah tahu. Itulah sebabnya aku telah mencari cara selama bertahun-tahun untuk mengatasi masalah psikologis dalam diriku.

Aku dianggap aneh? Mungkin iya. Beberapa orang menghubungkanku dengan autisme, kerasukan, dan menyebut hal-hal lain yang membuatku enggan membuka diskusi dengan keluarga atau orang-orang terdekat.

Semua perkataan orang hanya membuatku semakin sadar bahwa dunia ini tidak sepenuhnya adil. Aku mungkin hanya sebagian kecil yang mendapatkan keberuntungan, contohnya. Meskipun orang-orang di sekitarku, terutama yang dekat dengan diriku, menganggapku normal dan memberikan motivasi untuk terus bangkit. Meskipun kata-kata mereka terkadang melampaui batas, itulah mereka.

Apakah aku harus menyalahkan hukuman yang pernah aku alami? Sepertinya tidak mungkin. Pernyataan bahwa aku memiliki serpihan kepribadian ini tidak dapat diterima oleh banyak orang.

Contohnya, ketika serpihan diriku muncul dan aku berada di fase 3 (0:100), aku kehilangan kesadaran atas apa yang telah kulakukan. Aku menjadi seperti boneka kayu yang dikendalikan oleh seseorang.

"De, tadi kamu mengambil gunting kuku di sini. Kemana perginya?"

Terkadang aku lupa, tetapi pertanyaan sepele seperti itu juga bisa menunjukkan bahwa aku tidak dalam keadaan yang baik. Jujur, pertanyaan sepele sering kali menjadi bahan pembicaraan di antara mereka dan diriku sendiri.

Aku juga pernah kesal dengan diriku sendiri. Apakah aku yang lupa atau bagaimana? Bagaimana bisa setelah bangun tidur, aku tiba-tiba sudah berpindah tempat. Ada banyak kejanggalan dalam tubuh ini.

Setelah melewati banyak hal, akhirnya aku berani pergi ke rumah sakit poliklinik jiwa. Syukurlah sekarang aku sudah berani mencari pertolongan pertama.

Bantuan dari dokter dan obat-obatan yang diresepkan membantu membuatku lebih tenang dan bisa tidur nyenyak. Setelah beberapa hari mengonsumsi obat sesuai saran dokter, aku merasakan perbedaan dalam kehidupanku sehari-hari.

Menurutku, tidak ada salahnya memeriksa apakah dirimu benar-benar sehat atau tidak. Terutama dalam kesehatan mental. Banyak orang memiliki pandangan bahwa pergi ke rumah sakit poliklinik jiwa berarti kita gila.

Namun menurut pengalamanku, itu tidak seburuk yang dibayangkan. Bahkan, itu bisa membantu kita menyelesaikan teka-teki yang tersebar di dalam diri kita. Kita hanya perlu merangkai dan memecahkan misteri yang ada dalam tubuh ini.

Setelah aku memberitahu teman-temanku, aku mengingatkan mereka bahwa jika merasa kurang baik terutama dari segi psikologis, segeralah periksa ke ahlinya. Jangan mendiagnosis sendiri.

Aku sendiri juga masih penasaran dengan hasil diagnosa. Aku hanya mengumpulkan data dan mencocokkannya dengan apa yang telah aku alami. Mengenai keberadaan banyak kepribadian. Karena kasus yang telah aku alami beragam, ada yang buruk dan ada yang baik. Bagiku, pergi ke psikiater pada tahun 2023 adalah keputusan yang tepat.

Berusaha mengenal diri sendiri memang tidak mudah, ter

utama ketika lingkungan sekitarmu menganggap bahwa kamu sebenarnya sehat dan baik-baik saja. Menurutku, tidak baik terus-menerus berpura-pura bahwa kamu baik-baik saja.

Sesekali, kita perlu jujur pada diri sendiri. Terkadang aku juga sering membicarakan tentang kebaikan diriku, tetapi ada kalanya aku juga mengatakan kepada orang-orang terpercaya bahwa aku tidak baik-baik saja.

Meskipun hari ini dan esok adalah milikku, aku harus tetap menghadapi hidup dengan lapang dada dan menerima apa yang ada. Jika aku merasa marah pada Tuhan, sebenarnya aku tidak berhak marah. Aku hanya manusia dengan banyak dosa yang berani memarahi Tuhan yang menciptakan diriku.

Entah Tuhan mungkin menginginkan aku untuk terus berjuang menjaga diriku, atau mungkin Tuhan telah mengetahui apa yang akan aku alami. Mungkin Tuhan memiliki alasan untuk membuatku hidup seperti ini, atau mungkin juga tidak. Ada banyak variabel yang mempengaruhi.

Membebaskan diri dari masalah dan masa lalu yang kelam adalah tujuanku. Aku mulai bisa menerima diri ini secara perlahan. Dengan banyak pertanyaan yang muncul, seperti mengapa, bagaimana, dan apa.

Semua pertanyaan itu berasal dari pertanyaan-pertanyaan sepele yang membuatku lebih terbuka dalam berpikir. Meskipun aku yakin aku tidak akan sembuh sepenuhnya, aku berharap bisa menemukan kedamaian dalam diriku. Aku harus menikmati secangkir madu beracun.

Madu yang akan perlahan-lahan membunuhku, tetapi itu adalah pilihan terbaik. Aku hanya bisa menulis dan membaca tentang diriku sendiri. Tidak semua orang mungkin akan percaya apa yang telah aku lakukan.

Aku menunggu hasil pengobatan selanjutnya. Aku yakin aku bisa mencapai stabilitas dan pemulihan setidaknya sebagian. Aku akan menyelesaikan semua trauma ringan dan berat yang telah aku alami dengan cara menerima diri sendiri. Semoga aku bisa melewati hari-hari yang sulit ini, karena serpihan-serpihan itu juga merupakan bagian dari diriku.