Mungkinkah aku yang sekarang bisa menerima beberapa hal menakutkan untuk diriku sendiri? Sebenarnya, aku masih merasakan ketakutan terhadap beberapa hal, meskipun mungkin bagi kalian dan beberapa orang lain menganggapku sebagai pemilik mental yang kuat.
Kemarin, aku menulis tentang kebrutalanku untuk pertama kalinya. Aku pikir penderitaan di dalam diriku akan berakhir di situ. Aku berharap tidak ada lagi yang menggangguku. Tidak ada lagi yang berani mengusikku. Namun, ternyata aku salah. Iya, saat itu aku hanya memikirkan jangka waktu yang terbilang pendek.
Saat aku masih kelas 1 SD, saat kejadian itu terjadi, pikiranku terus memutar dan memikirkan. Aku merasa bahwa segala dorongan dan tekanan dari dalam dan luar sangat menyakitkan. Mungkin beberapa dari mereka hanya ingin aku memiliki pikiran "anarkis", tapi hal itu justru berbalik menjadi keadaan yang lucu. Ketika orang-orang terdekat mengatakan, "Jika kamu yakin dan punya pemikiran sendiri, lawanlah!" Namun, ketika aku mengkritisi pola pemikiran dan pilihan hidup sendiri, aku dianggap sebagai pembangkang.
Ironisnya, manusia terlalu sering menghakimi sesamanya, bahkan anak-anaknya sendiri. Meskipun mereka memiliki pengalaman yang lebih banyak, mengapa tidak kita bisa berdiskusi dengan pikiran terbuka? Mengapa tidak bisa berbicara berdasarkan fakta dan bukan sekadar omong kosong? Inilah yang membuatku merasa, "Ah, lebih baik aku tidak menceritakan hal ini kepada mereka. Lebih baik aku berbicara dengan orang-orang yang mau menerima apa adanya, daripada menyimpan penderitaan dalam hati." Pikiran dan hati ini selaras dengan apa yang aku pikirkan.
Orang-orang di sekitarku lebih mendukung apa yang aku jalani daripada faktor internal yang menyebabkan penderitaan dalam diriku. Menurutku, hal tersebut sangat menekan dan menyakitkan. Namun, mungkin perspektif mereka bertujuan agar aku menjadi anak yang biasa, yang bisa membuat mereka bangga. Mereka ingin aku menjadi anak yang baik dan patuh.
Namun, apakah mereka tidak sadar bahwa hidup itu bukan hanya tentang itu? Masalahku tidak hanya sebatas itu. Aku hanya ingin memiliki ruang di mana aku bisa mengekspresikan diri sendiri, bukan karena tuntutan atau tekanan dari dalam. Aku tahu dan mengerti bahwa tujuan mereka baik. Tapi, ijinkanlah aku bernafas dan tolong berhenti menyebutku sebagai seorang pembangkang! Aku hanya ingin memiliki ruang untuk berdiskusi tanpa harus dihakimi atau diserang secara personal.
Bisakah itu terjadi?
Aku berbicara dengan serius.
Aku tidak ingin dihakimi.
Aku tidak ingin ditekan.
Aku hanya ingin... ingin sembuh.
Itulah penggalan tulisan pribadiku dan ini adalah pandangan hidupku sendiri. Ini bukan pandangan mereka. Mereka hanya ingin didengar tanpa mau mendengarkan, mereka ingin meminta tapi tanpa menyadari luka yang mereka tinggalkan. Ini adalah pernyataan, pernyataan pandanganku tentang manusia. Aku mencoretnya, aku menuliskannya.
Jujur, sebuah luka disebabkan oleh beberapa trauma ringan maupun berat dari beberapa faktor dapat membuatku terus terdiam. Aku merasa belum sepenuhnya mampu menerima masa-masa yang telah berlalu. Mungkin masih ada ketidaksempurnaan dalam diriku dalam menerima diri sendiri.
Beberapa hal kecil dalam prilaku manusia, sekecil apapun itu, bisa meninggalkan bekas yang begitu dalam. Seperti analogi kertas yang diambil dan diremas sebagian kecilnya, kertas tersebut tidak dapat kembali ke keadaan semula. Begitu juga dengan luka batin yang berasal dari trauma yang dialami.
Aku benci, aku benci diriku sendiri. Terlebih lagi, kata-kata itu terus-menerus terbayang dalam pikiranku, seperti suasana, suara, dan detail-detail lain dari ingatan yang selalu berputar seperti film ketika aku melakukan kegiatan sehari-hari.
Mungkin aku bisa memberikan gambaran dan kata-kata yang selalu teringat dalam memori jangka panjang. Orang-orang terdekat menyebutku, "Masalahmu selalu sama. Mulai dari SD hingga perguruan tinggi, kamu selalu mudah terjatuh." Aku terkadang membenci mereka, tapi juga menyayangi mereka.
Maksudku adalah, bukankah kita semua memiliki kapabilitas masing-masing? Memang benar, mereka mengatakan, "Itu masa lalu, biarkanlah berlalu. Apa yang ingin kamu lakukan? Berhenti lagi? Bukti bahwa kamu kuat sampai sekarang? Bukti bahwa mereka yang mengganggu setelah kamu lulus tidak lagi mengganggumu? Bukti bahwa kamu masih berdiri tegak?" Aku mengakui ada kebenaran dalam kata-kata tersebut, tapi mengapa orang-orang tidak mengerti apa yang aku rasakan? Menurutku, ini bukanlah masalah sepele. Aku merasa bahwa mereka tidak tahu betapa aku benar-benar merasakannya. Bahkan beberapa masalah yang mengganggu dalam diriku ini mungkin dianggap sepele oleh orang-orang.
Masalah ini bukanlah tentang kesehatan fisik yang terlihat dengan mata telanjang atau mudah disembuhkan. Ini adalah masalah kesehatan mental yang tidak terlihat, yang setiap tahun terus menurun dan bahkan dapat mengubah gaya hidupku. Jujur saja, aku harus terus kuat karena permintaan dari orang-orang di sekitarku. Mungkin aku bisa menahannya, tapi setidaknya mereka harus tahu. Setiap tahun, aku tidak mendapatkan hal-hal yang baik secara menyeluruh. Malah, aku melukai diriku sendiri karena beberapa faktor. Aku mulai membenci diriku sendiri dan bahkan pernah mencoba mengakhiri hidupku.
Ah, mungkin mereka tidak menyadarinya. Tetapi mereka selalu bertanya-tanya apa yang terjadi dalam pikiranku ini. Aku ingin menjelaskannya, tapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya. Mungkin ada beberapa orang, tapi hanya sahabat dan teman-temanku yang menyarankan aku untuk memeriksa kesehatan jiwaku.
Bagi diriku, kehidupan nyata terbagi menjadi beberapa kubu. Pertama, kubu yang mendukungku, tetapi juga merusakku dari dalam. Kedua, kubu yang keras, yang membuatku menjadi keras. Ketiga, kubu yang menghancurkanku, seseorang yang membuatku hancur. Keempat, kubu yang membenci diriku sendiri dan melukai batin ini, serta menimbulkan banyak trauma dalam hidupku. Kelima, kubu yang membuatku sakit kepala, berpikir berlebihan, dan bahkan membenci hal-hal yang tidak dapat diterima dalam pikiranku, yaitu diriku sendiri.
Selain beberapa kubu tersebut, yang mungkin hanya sebagian kecil dari banyak tulisan dan memori dalam pikiranku, aku ingin mengatakan kepada beberapa orang terdekatku bahwa aku bukanlah seorang pembual atau pembangkang. Jujur saja, aku juga pernah menulis tentang hal ini, termasuk puisiku yang berjudul "Pembangkang" di channel telegram pribadiku. Puisi itu berbunyi:
Si bebal,
Bertahan pada pendiriannya.
Berdiri tanpa memedulikan masukan.
Begitu saja.
Kamu,
Hanya ingin mendengarkan.
Bukanlah pembual.
Bukan pembangkang.
Karena,
Kamu berdiri dengan pemikiranmu sendiri, kan?
Dengarkanlah, betapa banyak cemoohan.
Dengarkanlah, betapa banyak hal yang tidak membangun.
Sampah,
Buang sampah pada tempatnya.
Mereka membuang sampah dalam pikiranmu.
Sebenarnya,
Kamu tidaklah benar-benar bodoh, kan?
Kamu hanya menerima hal yang berharga.
Bukan sampah yang merasuk ke dalam pikiranmu dan menyakitkan batinmu.
Aku mempersiapkan diri dari tahun ke tahun untuk menulis sebuah novel yang menurutku akan menjadi fenomenal dalam hidupku. Mungkin ini akan menjadi tulisanku yang pertama yang dapat memberikan manfaat bagi orang-orang. Namun, ini hanyalah sebuah tulisan yang tidak bernilai bagi mereka yang tidak menghargainya. Bahkan, di mata mereka yang malas membaca, ini
Aku mempersiapkan diri selama bertahun-tahun untuk menulis sebuah novel yang menurutku akan menjadi fenomenal dalam hidupku. Mungkin, ini akan menjadi tulisanku yang pertama untuk bisa memberikan manfaat kepada orang-orang. Namun, tulisan ini tidak akan berarti bagi mereka yang tidak menghargai tulisan itu sendiri. Bagi mereka yang menerima kisahku, mungkin novel ini akan menjadi kenangan abadi dalam diri mereka.
Tulisan ini mungkin hanya berasal dari sebuah buku harian biasa, tapi aku selalu ingin mengadaptasikan catatan pribadiku ini untuk para pembaca. Di tahun ini, tahun ketika novel ini dibuat, aku ingin membagikan cerita dan memberanikan diri untuk menulis perjalanan menuju penerimaan diri yang sempurna.
***
2008, kelas 2 SD.
Di rumah, seperti anak-anak lainnya, aku dibangunkan oleh ibuku untuk sarapan dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Aku sulit bangun tidur setiap pagi dan sering kali mendapatkan omelan dari ibuku.
"Bangun, Nak!" teriak ibuku.
"Akuhmm..." responku yang masih setengah sadar.
Tidak lama kemudian, ibuku membangunkanku dengan paksa dan membopongku untuk membuatku duduk. Aku kesal karena masih mengantuk, dan tanpa sadar, aku memukul ibuku.
**Plak!**
"Aduh, Nak! Bangunlah, mengapa kamu memukulku?" bentak ibuku.
Setelah beberapa waktu, akhirnya aku bangun dari tidur dan sarapan dengan hidangan pagi yang sudah disiapkan oleh ibuku.
Saat aku makan, aku melihat seorang anak kecil duduk di sebelahku. Aku tidak terkejut karena dia selalu menemaniku saat aku merasa sendirian. Dia mengajakku bermain keluar.
Setelah mandi dan berpakaian, ibuku mengajakku keluar untuk berangkat sekolah dengan segera. Aku seperti anak-anak lainnya yang pergi ke sekolah dengan diantar oleh orangtuaku. Aku merasa kesepian ketika ibuku pergi setelah mengantarkanku, dan butuh waktu lama untuk terbiasa dengan suasana ramai di sekolah.
Pelajaran pertama dimulai, dan aku duduk sebangku dengan seorang teman bernama Ridho. Menurutku, dia adalah orang yang baik kepadaku karena dia bisa menenangkan diriku saat orangtuaku pulang ke rumah.
"Cen, mari kita main, ya?" tanya Ridho kepadaku.
"...," aku tidak merespon.
"Hei, mengapa kamu diam saja? Baiklah, ayo temani aku ke toilet," ajak Ridho.
Ridho menarik tanganku, dan kami mendapatkan izin untuk pergi ke toilet bersama-sama dari guru.
"Bu, boleh izin ke toilet," kata Ridho kepada guru.
"Boleh, tapi jangan lama-lama, ya!" respon guru.
Kami berjalan bersama ke toilet yang cukup jauh dari kelas. Kami harus melewati kantin di belakang kelas untuk menuju toilet. Di tengah perjalanan, ada seorang anak yang usil kepada diriku karena aku berbeda secara fisik (kulitku putih pucat dan tinggiku pendek).
Anak itu mendekatiku dan menarik dasiku sampai dasi itu putus. Ridho yang sedang di toilet kembali dan bertanya kepadaku.
"Cen, mengapa kamu menangis? Mengapa dasimu putus?" tanya Ridho.
Aku yang jarang berbicara, hanya bisa menangis dan menjadi sorotan orang-orang di kantin. Aku ditenangkan oleh bibi di kantin, yang selalu menjadi saksi ketika aku diusili oleh anak-anak nakal di sana.
Kami berdua kembali ke kelas, dan kebetulan guru sedang pergi sebentar ke kantor untuk mengambil buku yang tertinggal. Beberapa orang di kelas, yang dari awal aku masuk, tidak menyukai kehadiranku.
"Hei, lihat mayat hidup itu berjalan dengan manusia hidup!"
"Haha, mayat hidup. Mamakmu memberi makan formalin ya! Hahaha."
Mereka terus mengolok-olokku, dan aku hanya bisa terdiam. Tanpa sadar, aku menyerang seseorang dan memukulinya dengan brutal.
Namun, karena mereka berkelompok, aku tidak bisa melawan dengan sadar. Mereka menahan tanganku, sehingga aku tidak bisa bergerak.
Saat itu, aku dijatuhkan dan pena yang dipegang orang itu mengenai mataku.
**TERIAKAN**
"AAARGHHHHHHHH!!!!"
"SAKITTT!!! MAMA!!!"
Aku menjerit kesakitan karena mataku tertusuk oleh pena tersebut. Aku langsung dibawa ke ruang kesehatan sekolah (UKS) untuk diperiksa. Guru-guru yang berada di sana melihat aku yang sedang meronta-ronta kesakitan sambil memegang mata kananku. Omongan-omongan pun berkeliaran di sekitar.
Suara-suara itu membuatku pusing, dan aku merasa muak.
Setelah melewati serangkaian pertanyaan dan omongan yang ramai, akhirnya aku tertidur karena kelelahan. Aku terbangun dan menyadari bahwa aku ada di rumah.
Dalam mimpiku, aku melihat sosok diriku sendiri berdiri dalam diam. Sosok itu mematung dan bersikap dingin kepadaku, dan senyumannya membuatku merinding. Sosok itu mirip denganku, hanya ada beberapa perbedaan di antara kami. Kepala kami terlihat berbeda. Aku mencoba berbicara kepada sosok diriku yang lain.
"K... Ka... Kamu siapa?"
"..."
"Aku sedang bermimpi?"
"Tidak."
"Lalu, di mana aku?"
...
..
.
**BANGUN**
sfx: Hosh.. Hosh.. Hosh..
Lalu aku terbangun dengan perban di mataku, dan untungnya mataku tidak sepenuhnya buta. Karena tusukan tidak mengenai kornea mata, jika aku sedikit lebih malang, aku bisa kehilangan penglihatan sepenuhnya. Aku bersyukur karena mataku tidak benar-benar kehilangan penglihatan karena kejadian itu.
"Oh Nak, kamu sudah bangun?"
"Oh iya, agh!"
"Mata kamu masih sakit?"
Mataku terluka akibat tusukan tersebut, dan menyebabkan sakit. Setiap kali aku melihat pena atau pulpen, tubuhku merasakan rasa takut yang dalam. Tapi aku bersyukur bahwa yang mengisi formulir di sekolah adalah orangtuaku sendiri.
Meskipun aku masih belum terlalu pandai membaca dan menulis, setidaknya kemampuanku telah meningkat sejak tahun lalu, khususnya setelah masuk tahun pertama. Keesokan harinya, aku ingin pergi membaca di perpustakaan sekolah, karena aku senang membaca buku dan sering mampir ke perpustakaan di sebelah kiri dekat kantin. Mengingat mataku yang belum pulih sepenuhnya, aku diminta untuk tetap masuk sekolah meskipun mataku terlihat menyeramkan ketika aku melihat diriku di cermin.
Entah mengapa, mamaku selalu memintaku untuk tetap masuk sekolah, meskipun sebenarnya aku seringkali tidak ingin pergi ke sana. Alasan utamaku pergi ke sekolah hanyalah karena aku suka membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Banyak buku cerita bergambar yang memudahkan aku memahami ceritanya. Biasanya, sekitar 10 menit sebelum pelajaran dimulai, guru atau wali kelas memintaku untuk segera masuk ke dalam kelas.
Sejak hari itu, rasa sakit itu selalu terbayang dalam pikiranku hingga saat ini. Aku masih bisa merasakan rasa sakit di mataku meskipun hanya berupa kilatan memori yang muncul beberapa kali dalam seminggu. Aku masih ingat setiap detiknya.
***
Sampai sekarang, trauma masih menjadi bagian kecil dari pengalaman buruk yang pernah aku alami, terutama sejak naik kelas di sekolah dasar (SD).
Aku menulis untuk menuangkan isi pikiranku, karena tidak ada yang bisa memahami selain tulisan itu sendiri. Hanya aku yang bisa mengenali diriku sendiri, lebih baik daripada siapa pun.
Aku menulis setiap harinya, mendengarkan orang-orang, dan memperhatikan beberapa pengalaman traumatik yang mereka alami. Aku sadar bahwa sejak awal aku sebenarnya sudah kuat.
Aku juga ingat salah satu forum online di mana kami dapat berbicara secara anonim atau dengan identitas asli. Kami membahas topik-topik seperti kesehatan mental, pikiran digital, dan lain-lain dengan narasumber profesional. Kami saling bertanya dan berdiskusi bersama.
"Permisi, namaku Cen. Bolehkah aku berbicara? Aku punya pertanyaan."
"Tentu, Cen. Silakan, apa yang ingin kamu diskusikan?" jawab narasumber.
"Kita sedang membahas tentang trauma. Bagaimana pendapatmu jika seseorang menggunakan istilah 'baperan' untuk melindungi diri?"
"Pertanyaan yang menarik."
"Menurutku, orang-orang yang menggunakan kata 'baperan' sebenarnya lebih lemah daripada orang yang mereka cemooh."
"Apakah kata-kata tersebut bisa menyakiti seseorang?"
"Tentu saja bisa. Setiap orang memiliki kapabilitas yang berbeda. Kita perlu menganalisis karakter orang tersebut. Tidak bisa menghakimi tanpa landasan yang tepat."
"Ah, begitu ya."
"Satu lagi, kita tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati seseorang. Kita tidak tahu sepenuhnya apa yang mereka rasakan."
Saat itu, aku mulai memahami. Meskipun aku memiliki kesulitan berbicara dan kesulitan dalam percakapan kecil, setidaknya aku bisa mencari tahu dan menganalisis sebelum berbicara dengan tulus.
Ketika aku berbicara dengan para profesional atau menghadiri acara tentang kesehatan mental, psikologi manusia, dan sejenisnya, itu membuka kesempatan bagiku untuk berpikir secara lebih kritis daripada sebelumnya.
Aku dulu mungkin terlalu mudah terbawa perasaan, sensitif terhadap banyak hal. Namun, aku mulai belajar bagaimana menghindari kambuhnya emosi pada waktu yang tidak diinginkan.
Dengan belajar dan membaca banyak buku, melanjutkan menulis, serta mendengarkan audio podcast atau video podcast yang memberikan inspirasi, pikiranku menjadi lebih luas.
Aku mulai mengubah kebiasaanku melalui apa yang aku baca, lihat, dan dengar. Aku berusaha merubah diriku yang awalnya seperti kayu mati yang tidak bergerak.
Aku memulai membiasakan diri menerima pengalaman traumatik yang tampak dramatis bagi beberapa orang. Aku melatih diriku untuk menggunakan pena lagi. Setelah kejadian di kelas 2 SD, aku sangat takut dan tidak terbiasa menggunakan bolpoin atau pena.
Jujur, aku sering ditegur oleh guru-guru di sekolah karena lebih sering menggunakan pensil daripada pena. Aku mulai membiasakan diri menggunakan pena ketika aku dewasa.
Menurutku, tulisanku jauh lebih baik saat dibaca daripada saat aku menggunakan pena. Meskipun aku dipaksa untuk menggunakan pena, aku membenci itu, tapi aku mencintai tulisanku sendiri.
Terkadang, sampai sekarang, ketika aku memegang pena, tubuhku merasakan sakit. Mataku terasa ngilu dan berdenyut.
Saat hal itu terjadi, aku hanya bisa menahan rasa sakit dan perasaan tidak enak dalam kepala. Semuanya terasa ingin pecah, semuanya terasa berantakan.
Mereka muncul dalam pikiranku, lagi dan lagi. Mereka menggantikan tubuhku ketika aku tidak sadar. Aku tidak ingin melakukan diagnosa sendiri, tapi ada beberapa kasus yang pernah terjadi.
Trauma, menurut orang-orang, mungkin terlihat dibuat-buat, tapi bagiku, itu bukanlah omong kosong. Ini adalah masalah dalam diriku, dan bisa menjadi bom waktu bagiku sendiri.
Baru-baru ini, aku menjalani beberapa pemeriksaan diagnostik dari dokter tentang kejiwaanku. Aku menceritakan sebagian kecil dari trauma yang aku alami, dan aku diminta untuk pergi ke dokter ahli kejiwaan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Menurut kalian, apakah trauma itu hal yang sepele? Menurutku tidak. Apalagi jika orang lain menganggap kamu sebagai orang yang lebay atau berlebihan, itu benar-benar menyebalkan. Tapi dengan teguran seperti itu, aku belajar bagaimana menjaga sikapku dengan lebih baik daripada sebelumnya.
Hal ini juga membuatku menyadari bahwa aku perlu memperbaiki diriku sendiri. Bukan hanya memikirkan apa yang aku kejar, atau kebahagiaan orang lain di atas segalanya.
Aku juga perlu bahagia. Aku juga ingin sembuh. Aku juga ingin stabil. Aku harus pulih dan memperbaiki diriku.
Apapun caranya, aku harus berusaha sekeras mungkin sampai titik darah penghabisan. Meskipun badai melanda, di depan sana masih ada bencana yang lebih berat dari ini.
Sebelum aku siap, aku harus mempersiapkan diriku. Aku harus menerima diriku dengan lebih baik dari sebelumnya. Karena ini adalah perjalananku, perjalanan menuju kesempurnaan menerima diri.
Itulah bagaimana trauma yang terlihat seperti berlebihan sebenarnya adalah masalah di dalam diriku sendiri. Bukan orang lain, hanya diriku sendiri. Hanya aku dan karya-karya ku yang menjadi saksi perjuanganku menuju kesempurnaan menerima diri.
Mungkin itu hanya beberapa contoh kecil dari cerita di sini. Ketika aku masih kecil, ada banyak cerita lain yang bisa kuceritakan. Namun, perlahan tapi pasti, aku akan menulis semua kisah perjalanan menuju kesempurnaan menerima diri.
PTSD
Gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan.
Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens.
Trauma adalah respons tubuh terhadap kejadian buruk, seperti kecelakaan atau kekerasan fisik. Kejadian buruk yang dapat menimbulkan trauma disebut kejadian traumatik. Trauma dapat berupa cedera fisik, seperti luka, patah tulang, atau kerusakan organ dalam. Trauma juga dapat berupa gangguan fungsi otak, seperti cedera otak traumatik (COT). COT dapat terjadi akibat benturan, pukulan, atau luka tembus di kepala. COT dapat dibagi menjadi dua jenis, terbuka dan tertutup. Pada COT tertutup, tengkorak tidak tertembus, tetapi sering disertai retak. Pada COT terbuka, tengkorak tertembus hingga mencederai otak. Trauma dapat menyebabkan komplikasi yang bersifat sementara atau menetap dalam jangka panjang. Orang yang mengalami trauma fisik juga dapat mengalami kesulitan psikologis karena syok akibat cedera yang tidak terduga.