webnovel

Majikanku Cinta Lamaku

Cinta lama di masa remaja yang masih melekat apik di hati seorang gadis bernama lengkap Wiyana Aqila, membuat dia tak menyangka bisa kembali bertemu dengan pria yang dia cintai. Awalnya dia sangat bahagia kembali bertemu setelah bertahun tahun lamanya mereka berpisah, sayangnya Wiyana tak sempat mengatakan isi hatinya. Sampai di hari mereka bertemu kembali, dia cukup terluka ketika tahu bahwa pria yang dia cintai ternyata telah memiliki anak. "Kamu pria yang sangat buruk, Ken bernasib sial karena mempunyai papa sepertimu!" "Kalau begitu berikan dia perlakuan baik itu," tandas Haidar tiba tiba saja sukses membuat Wiyana gelagapan. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk bekerja di bawah naungan pria yang ia cintai, padahal pria itu sudah melupakan dirinya. Bagaimana kah Wiyana akan menjalani hari harinya? Sanggupkah dia menjalani hari menjadi pengasuh anak dari pria yang cintai? Temukan jawabannya dalam kisah ini.

SinagaKiyowo · Urbano
Classificações insuficientes
392 Chs

Yang Selalu Terjadi di Sekolah

"Dah ... hati hati, ya!" seru Wiyana sembari melambaikan tangannya pada Allard.

Pria tampan itu tak bisa mengantarkan Wiyana sampai ke depan rumahnya, karena dia dipanggil oleh sang atasan. Entah ada kasus baru apa lagi kali ini.

Yang pasti itu adalah masalah besar.

Wiyana berbalik, dilihatnya gang kontrakan yang sudah mulai sunyi. Wiyana beralih pada ponselnya, dia cukup terkejut saat mendapati ratusan panggilan tak terjawab dari Alea dan beberapa juga dari Allard.

Terlepas dari keterkejutan itu, Wiyana lantas tersenyum simpul. Dia senang, dan kini tahu betapa pedulinya mereka pada dirinya.

"Haisss, banyak yang sayang nih," seru Wiyana kegirangan.

Sambil melihat ponsel, dia berjalan tak melihat jalan. Sesekali tawanya pecah, di malam yang sunyi itu tawanya terdengar sangat keras.

Sangking fokusnya pada ponsel Wiyana tak segaja menabrak pundak seseorang, gadis itu yang tak siap dengan tabrakan tersebut hampir saja jatuh.

Syukurnya Wiyana dapat menyeimbangkan tubuhnya dengan baik, diliriknya seorang pria tinggi yang menutup wajah dengan kupluk hoodie hitamnya berukuran oversize.

"Maaf," katanya pelan sembari membungkuk. Setelahnya pria itu kembali berjalan berlawanan arah dengan Wiyana.

Begitu sang pria melewatinya tercium aroma solar dan besi karat dari si pria, dahi gadis itu sontak berkerut.

Wiyana berbalik ingin bertanya, tapi layaknya hantu. Pria misterius tadi sudah langsung hilang entah ke mana.

"Astaga, apa dia punya kekuatan super? Kenapa ilangnya cepet banget?" gerutunya terheran heran.

Mendadak angin malam yang terasa menusuk kulit melintasi tengkuknya, Wiyana sontak meremang. Diusapnya tengkuknya yang dingin, mendadak saja suasana menjadi horor.

"Bodoamat!" katanya merinding, lalu tanpa banyak pikir lagi. Wiyana berlalu dari sana dengan berlari lari kecil.

***

"Dengar, Papa. Ya, Ken! Hari ini kamu harus sekolah, jangan keluyuran ke mana mana lagi. Paham?" tegas Haidar penuh penekanan.

Ken yang kesenangan karena pagi pagi didatangi oleh Haidar, tak melunturkan senyumnya dari bibir mungil itu.

Jarang jarang sekali Haidar punya waktu untuk menyempatkan bertemu Ken di pagi hari, biasanya akan ada saja seribu satu pekerjaan yang akan membuat Haidar pergi tanpa menemui putranya.

Sepertinya hari ini Ken akan sangat bahagia.

"Kamu dengar apa yang Papa katakan, Ken?" tanya Haidar lagi melihat Ken hanya tersenyum senyum tak jelas sementara dia bertanya membuat Haidar tak suka.

Tak ingin membuat sang papa kesal, buru buru Ken mengangguk serta mengacungkan jempolnya.

"Ayo!" ajak Haidar, pagi ini juga ia yang akan mengantarkan putranya itu ke sekolah tempat Ken menuntut ilmu.

Ken berjalan tepat di belakang Haidar, itu juga adalah salah satu peraturan aneh yang kerap Haidar terapkan untuk putranya dan siapa pun itu.

Dia tak suka ada yang berjalan sejajar dengannya, sebab setiap kali ada yang berjalan di sampingnya mendadak kepalanya pusing dan terbayang bayang hal aneh yang mana kilasan itu tidak pernah jelas.

"Pa?"

"Hmmm."

"Kalau Ken pindah sekolah apa boleh?" tanya Ken ragu ragu.

Dahi Haidar berkerut, dia sontak saja berhenti dan secara otomatis hal itu membuat Ken pun ikut berhenti.

Hampir saja dia menabrak punggung papanya jika lambat sedetik saja.

"Kenapa kamu mau pindah? Apa ada masalah di sekolahmu?" tanya Haidar, dia enggan untuk sekedar berbalik guna melihat bagaimana gugupnya Ken.

Dia padahal hanya sedang bicara dengan papanya, tapi malah terlihat seperti sedang bicara dengan monster yang paling kejam. Benar benar menakutkan bagi Ken.

"Ah, enggak Pa," kilahnya cepat sebelum Haidar marah sebab nada bicara pria itu saja sudah berubah.

"Dengar, Ken! Tidak akan pernah muncul masalah, jika kita bisa menyesuaikan diri di lingkungan. Kalau kamu yang tidak bisa menyesuaikan diri di lingkungan sekolahmu dan kini merengek ingin pindah, masalahnya bukan pada sekolah tapi pada dirimu," tandas Haidar lugas setelah akhirnya dia pergi duluan menuju mobil.

Hati Ken sedikit teriris mendengarnya, kapan Haidar bisa lembut padanya.

Jujur saja setiap kali Haidar ketus padanya, rasanya Ken ingin menangis detik itu juga. Tapi, sayang dia tak punya nyali hanya untuk melakukan hal wajar itu sebab takut Haidar semakin mengamuk.

"Aku, putra papa Haidar. Aku nggak boleh lemah."

Ken bertekad, walau berat ingat akan masalah yang akan ia jumpai di sekolahnya nanti. Ken kian memengang tali tasnya, menarik napas panjang lalu ia hembuskan.

Setelah yakin, Ken baru melangkah mengikuti Haidar.

Di dalam perjalanan papa dan anak itu hanya diam tanpa suara, hanya Ken yang sejak tadi berusaha mencuri curi pandang pada sang papa.

Sementara yang dilirik begitu fokus pada jalanan. Ada beban yang amat besar dalam dada Ken, tapi rasanya keluh untuk menyampaikan pada Haidar.

Alhasil Ken menunduk dalam, memainkan kuku kukunya dan menyakinkan diri kalau hari ini ia akan baik baik saja.

Tak butuh waktu lama, Ken sudah sampai di depan gerbang sekolahnya yang menjulang tinggi.

Sekolah swasta bertingkat itu memiliki fasilitas lengkap dan amat elit, di sana adalah sekolah kumpulan para anak sultan.

Tak heran jika Ken juga salah satu siswa di sana, tapi sekolah elit tak membuat Ken bangga sekolah di sana. Sebab setelah dia masuk ke kelas maka yang dia dapati adalah.

"Eh, eh. Nggak segaja," seru murid laki laki bertubuh gempal yang berseragam sama dengan Ken.

Wajahnya sangat gemoy tapi perlakuannya pada Ken sangat tak pantas untuk ditiru. Dengan segaja dia menyandung teman sekelasnya itu.

Untungnya Ken sudah terbiasa dan bisa memperhitungkan apa yang akan terjadi, sehingga Ken tak sampai tersungkur. Dia hanya hampir jatuh saja.

"Aku nggak mau cari masalah," kata Ken pelan.

Dia memegang erat tali tasnya, pelan pelan bocah yang tak memiliki teman itu menuju mejanya yang di paling ujung.

Belum lagi sampai Ken di mejanya, tiba tiba ada yang menghadang dirinya.

"Kenapa? Kamu takut? Dasar lemah!" ejak bocah laki laki yang ukurannya lebih tinggi dari Ken.

Ia adalah teman sekelas yang kerap mengucilkan Ken.

"Aku ke sekolah untuk menuntut ilmu, bukan meladeni anak nakal seperti kalian."

Setelah Ken mengatakan itu, sebuah kertas menimpuk wajahnya dengan keras. Sontak saja Ken menutup matanya karena terkejut.

"Kami memang nakal, mangkanya kami melakukan ini kepadamu! Lemah!"

Tak hanya satu, kini puluhan  gumpalan kertas turut menimpuk Ken di segala bagian tubuhnya.

Ken berusaha melindungi dirinya dengan menutup wajah menggunakan ke dua tangan, hanya itu yang bisa Ken lakukan. Dia tak akan pernah bisa membalas.

Ia sadar jika dia membalas, pasti masalah itu akan semakin besar dan guru turut tahu. Ketika itu pasti mereka akan meminta papanya untuk datang ke sekolah.

"Papa tenang aja, Ken nggak akan balas. Ken nggak mau papa marah," gumam sang bocah malang.

Begitulah yang sering ia dapati ketika di sekolah. Oleh sebab itu, Ken ingin pindah jika bisa. Tapi, sayang Haidar tak pernah memihak dirinya.

Yang bisa Ken lakukan hanya diam menerima semuanya, sampai dia selesai dari jenjang pendidikan tingkat dasarnya.

Terdengar ringisan pilu dari bibir Ken, ketika salah satu gumpalan kertas mengenai telapaknya yang masih luka.

Perih? Tentu saja, Ken ingin berteriak keras pada semua temannya. Tapi, tenggorokannya seakan tercekat oleh sesuatu hingga ia tak bisa melakukannya.

***