Bibirku bergetar, mulutku berkomat kamit dengan cairan darah segar yang mengalir ke dagu, entah apa yang ingin aku katakan. Sesekali tangannya melayang di pipiku. Aku Ingin berkata namun tiada satupun kata yang terucap karena ketakutan. Tubuhku membungkuk terpuruk menerima hantaman demi hantaman sepotong kayu kurus kecil yang apabila menyentuh tubuhku dengan keras maka aku akan merasa kesakitan. Dan dia lakukan berulang - ulang hingga membuatku terpungkur lemas tak berdaya, bahkan sampai aku hilang kesadaran.
Di hadapannya, aku tidak bisa melawannya, karena walau bagaimanapun dia adalah suamiku. Bagiku dia adalah raja dalam istana kecilku. Menurutku dia adalah suami yang penuh tanggung jawab dalam memberi nafkah untuk istrinya baik dhohir maupun batin. Aku rela terus disakiti seperti ini demi cintaku. Dan aku harus bisa berpikir dengan baik bahwa dia melakukan perbuatan sekeji itu padaku disebabkan dia menduga aku telah berbuat kesalahan.
Tapi apa yang telah ku perbuat, sehingga suamiku benar-benar marah dan tega memukuliku dengan kejam???. Aku berusaha untuk mengingat sesuatu yang telah kulakukan hari ini, sehingga dapat memicu terjadinya kesalahpahaman di antara aku dan suamiku.
Otakku menari-nari mencari setusuk duri yang kecil namun dapat mematikan baginya yang tertusuk. Akhirnya aku dapat mengingat sesuatu, kemarin saat aku membeli beberapa sayuran di supermarket tanpa sengaja aku bertemu dengan teman ku yang sudah lama tak bertemu.
Khaliq, orang yang masih tetap sama selama aku kenal. Ramah dan murah senyum kepada siapapun yang dia jumpai. Dia identik dengan sifatnya yang takut untuk menyentuh wanita manapun, tapi mahir dan penyayang.
Dari dulu sampai sekarang, dia tidak sungkan menyapa seseorang yang dia kenal walaupun kita sudah dua belas tahun tidak pernah bertemu sama sekali. Kali terakhir kita bertatap muka ketika perpisahan di sekolah dulu. Bukankah seharusnya ada kecanggungan diantara kita.
Aku bahagia kegirangan bertemu salah satu temanku yang jenius itu. Tapi aku masih bisa menjaga sikap didepannya karena situasi dan kondisi sekarang jauh beda tidak seperti dulu lagi. Dia juga menghormatiku seakan-akan dia tahu bahwa aku sudah memiliki keluarga yang utuh.
Apa mungkin karena melihat diriku bersama kholiq di seberang jalan terbuka membuat suamiku semarah itu. Iya, aku yakin karena hal ini suamiku berbuat keji padaku. Biarlah! toh meskipun suamiku tahu tentang itu, hanya kesalahpahaman yang menggerogoti dirinya. Lagipula aku tidak melakukan hal-hal aneh degan khaliq.
Suamiku benar dan aku yang salah. Itu yang selalu hatiku katakan setiap dia memberiku pelajaran. Kadang aku juga berfikir mungkin tuhan sedang menguji cintaku tentang seberapa tulusnya cintaku padanya. Mungkin juga tuhan sedang menguji cinta suamiku tentang seberapa pedulinya dia padaku. Dia memberiku hukuman semata-mata karena dia sangat menyayangi diriku. Dia tidak ingin aku melakukan kesalahan sedikitpun. Itu baik bukan?.
Dari awal pernikahan ku sampai sekarang, selalu ada keanehan dalam diriku. Entah mengapa setiap aku tanpa sengaja melihat sepasang kekasih bermesraan di ujung sana yang begitu jauh tapi dengan jelas masih bisa terlihat oleh kedua mataku, aku merasa cemburu dan iri pada mereka walaupun seseorang yang kulihat itu bukan siapa-siapa. Bahkan aku ingin merampas kebahagiaan mereka.
Betapa egoisnya diriku ini...
Mengharap suamiku melakukan hal sebaik itu padaku adalah sesuatu yang wajar untuk ku khayalkan, namun harapan ku tak sesuai dengan kenyataan. Betapa rindunya aku dengan kasih sayang seorang suami terhadap istrinya. Bukannya suamiku menunjukkan sikap yang baik padaku tapi dia malah menyiksaku sebagaimana menyiksa budaknya.
Tidak...!!!
Sejenak ku tersadar dalam lamunanku yang tidak terlalu lama itu. Apa yang sudah aku fikirkan? Lalu aku kembali berfikir bahwa tuhan saat ini sedang menguji diriku. Aku menganggap bahwa semua ini hanyalah sekedar ujian cinta.
Hanya langit-langit kotor yang kulihat ketika kedua mataku mulai terbuka. Padahal aku berharap yang kulihat pertama kali adalah suamiku disaat membuka kedua mataku. Lalu dia mencium keningku dan mengucapkan selamat pagi sayang sambil tersenyum padaku.
Ah... Aku mengkhayal lagi. Lupa bahwa aku bukan bangun dari tidur tapi bangun dari kesadaran. Entah berapa lama aku pingsan di tempat ini? Entah berapa nyamuk yang telah menghisap darahku di saat kedua mataku tertutup?
Aku memaksa tubuhku bangun dari lantai yang aku singgahi lalu tanpa sengaja melihat cermin tua yang baru saja aku lewati. Cermin itu seolah menarik mataku untuk memandangnya.
Aku berdiri mematung di depan cermin itu memandangi tubuhku yang kurus kering tak terawat seperti dulu sebelum aku menikah dengan hiasan rambut yang terurai begitu indah. Namun waktu berubah begitu cepat. Sekarang, rambutku sudah mulai kusut, wajahku sudah kusam, dan kulitku tidak indah lagi untuk dilihat karena sudah banyak bekas luka yang tertoreh.
Mataku membengkak perih sebab terlalu banyak mengalirkan air dari keduanya. Masih begitu sembab saat kupandangi. Di sudut mulutku juga masih ada garis merah yaitu darah yang sudah mengering terlalu lama. Apalagi dengan bau tubuhku yang tidak sedap menyengat hidungku karena belum mandi.
Bila saja aku berdiri di depan banyak lelaki dalam keadaan seperti ini mungkin tidak ada satupun yang gairah dan sudi mendekatiku, bahkan enggan melihatku.
Mataku berpaling dan menjauh dari depan cermin dengan berjalan mundur perlahan hingga punggug ku menabrak sebuah pintu. Tidak salah lagi, pintu ini adalah jalan untuk keluar dari tempat yang sangat kumuh ini.
Begitu aku membukanya seperti ada sesuatu yang tersendat di dalamnya. Ada yang salah dengan pintu ini atau mungkin karena sudah terlalu lama tidak di perbaiki. Tanganku menarik sambil menggerak gerakkan berkali-kali pegangan pintu itu, tapi sepertinya ia tidak mau menurutiku. Mungkin saja tanganku tidak terlalu kuat. Pikirku.
Sekali lagi pasti bisa... Ya pasti bisa!
Mengingat sifatku yang pantang menyerah, aku tetap berusaha dan berusaha untuk mencoba membuka pintu ini sampai terbuka. Kemudian aku mencoba mengulang kembali menarik pegangan pintu kuat-kuat dengan kedua tanganku tapi masih tetap saja ia tidak mau terbuka.
Ada apa ini? Hatiku bertanya-tanya kebingungan, otakku menari-nari memikirkan apa yang terjadi dan berfikir bagaimana cara agar aku bisa keluar, mataku mencari sesuatu yang bisa membuat pintu itu terbuka dan aku bisa bebas dari tempat itu.
Sebuah pisau tajam di atas meja yang sudah agak sedikit berkarat baru terlihat oleh kedua mataku. Akupun tergesa-gesa mengambil dan membawanya ke depan pintu itu. Aku tahu pintu ini sengaja dikunci dan tentunya aku tak begitu heran dengan perlakuan suamiku yang seperti ini karena hal ini sudah sering terjadi. Tapi peristiwa ini bisa di bilang hukuman terparah yang pernah terjadi.
Mungkin baginya aku adalah burung yang harus di kurung agar tidak lepas dari sangkarnya atau mungkin juga dia menganggap aku sebagai orang gila yang tak berdaya dan harus di pasung supaya tidak pergi kemana-mana. Seperti tawanan yang tak mampu melakukan apa-apa kecuali atas izin tuannya.
Aku berusaha membobol pintu itu hingga akhirnya berhasil terbuka. Perlahan aku melangkahkan kakiku supaya tidak sedikitpun terdengar oleh suamiku. Jika sampai dia tahu aku lolos dari jeratannya bisa-bisa dia akan meghukumku lagi.
Langkah demi langkah, akhirnya aku sampai di depan pintu kamar ku. Meskipun jarak kamarku agak jauh dari gudang tadi. Sedikit merasa kelelahan karena harus menaiki tangga tidak berpengaruh padaku karena ketakutanku terhadap suamiku lebih kuat daripadanya.
Begitu tanganku hendak membuka pintu, terdengar suara seruan wanita didalamnya. Aku mengurungkan niatku untuk membuka pintu. Aku tidak tuli, maka tidak mungkin telingaku salah dengar. Suara siapa itu? Siapa yang sudah membawanya kemari? Bahkan dengan lancang masuk ke kamarku. Aku kaget bukan kepalang. Aku menerka-nerka yang terjadi dalam kamar.
Aku terus memandangi pintu di hadapanku dan terus mendengarkan suara aneh wanita yang berasal dari kamarku. Tak lama kemudian terdengar juga suara laki-laki yang membalas suara wanita itu. Bahkan, suara laki-laki itu aku begitu mengenalnya. Suamiku ???.
Ah, tidak mungkin!!!.
Apa yang aku fikirkan. Aku memukuli kepalaku berulang-ulang dengan keras. Tidak seharusnya aku berpikiran kotor seperti ini. Suara-suara menjijikkkan itu bising sekali, mengganggu fikiranku. Aku bermimpi ataukah aku sedang berhalusinasi?. Tidak mungkin juga!!.
"Aww ... Sakiit sekali!".
Aku mencoba menampar pipiku sendiri agar aku menjadi lebih yakin bahwa sebenarnya ini mimpi atau bukan?. Ternyata ini bukan mimpi.
Karena dipenuhi dengan rasa penasaran, lebih baik aku membuktikannya secara langsung dengan melihat jelas apa yang terjadi. Aku menarik pegangan pintu. Secara perlahan aku membukanya sedikit agar wanita itu tidak melihat kehadiranku.
Mataku terbelalak kaget, hatiku terhentak keras melihat suamiku bermesraan dengan wanita lain. Bahkan dengan sangat tega melakukan perbuatan layaknya suami istri dikamarku. Dia telah melukai hatiku, menodai cinta suci yang telah lama aku perjuangkan demi dirinya. Wanita kotor itu yang juga telah menjadi duri dalam mahligai pernikahanku, dia begitu tidak memiliki hati nurani sedikitpun dengan kejamnya merampas hak dan apa yang menjadi milikku. Seakan-akan telah menuangkan darah dalam rumah tanggaku.
Aku menutup pintu dengan cepat dan keras karena tak sanggup melihat apa yang telah terjadi di dalam, aku tak perduli mereka mendengarnya atau tidak. Sesekali aku mengerjapkan kedua mataku karena sedikit merasa tidak percaya.
Tanganku menggenggam erat ingin sekali memukuli wanita itu walaupun aku terlihat lemah. Kedua kakiku seperti beku tak dapat berlari bahkan untuk berjalan dua langkah pun terasa berat sekali. Namun tubuhku tak sesakit hatiku saat ini. Pedih, perih melebihi rasa sakit pada luka di tubuhku yang dia ciptakan semalam. Mengapa semua ini terjadi padaku? Ini ujian ataukah hukuman untukku tuhan! Jika ini hukuman apa kesalahanku?.
Hatiku menjerit penuh tanya. Sesak begitu mendera saat ini. Ternyata seorang suami yang selalu aku sanjung dan ku puja-puja, tak kusangka layaknya harimau yang sangat ganas. Mencabik-cabik dan mencakar tubuhku tanpa perduli rasa sakit yang ku alami. Selama ini aku merasa yakin bahwa suatu saat dia juga akan berubah dan akan mencintai serta menyayangiku dengan sepenuh hati. Maka aku berusaha untuk selalu sabar menanti waktu bahagia itu, walaupun dengan siksaan demi siksaan yang ku lalui. Tapi sekarang aku benar-benar hancur karenanya. Tapi walau bagaimanapun dia tetap suamiku.
Aku tahu suamiku membenciku dan tidak pernah mencintaiku tapi tidak seharusnya dia melakukan perbuatan sekeji itu di dalam istana kami. Rumah yang setiap hari aku bersihkan sampai ke sudut-sudutnya kini ia kotori dengan lumpur hitam yang pekat dan berbau. Ingin sekali aku mendobrak pintu itu tapi disisi lain aku tidak sanggup menerima kenyatan karena melihat mereka sedang bermesraan. Apa yang harus ku lakukan.
Aku memandangi tubuhku yang tak berdaya. Begitu banyakkah kekurangan dalam diriku yang tak bisa aku berikan padanya sehingga dia melakukan semua ini.