Aku berjalan-jalan di sekitar yayasan bersama Mahesa. Aku menemui beberapa orang kemudian berkenalan dan mengobrol sedikit dengan mereka.
Ternyata, orang-orang di sini sangat ramah dan mudah sekali bergaul dengan orang yang asing sepertiku.
Kalau boleh jujur. Aku lebih nyaman berada pada lingkungan orang-orang yang (maaf), memiliki kekurangan seperti ini daripada orang-orang yang sempurna namun sikapnya sangat arogan dan merasa dirinya paling istimewa.
Anak-anak di sini memiliki sifat saling bahu-membahu dalam membantu sesama tanpa melihat keterbelakangan yang dimiliki.
Tak pernah kulihat ada seseorang yang bertengkar karena masalah sepele. Menurut Bu Anita, anak-anak di sini memang sudah terbiasa dari kecil untuk memiliki sifat yang rendah hati terhadap siapapun. Di samping kekurangan yang mereka punya.
Bu Anita juga sempat bercerita kepadaku, perihal kebimbangannya karena Mahes masuk ke sekolah negeri yang terbilang pergaulannya lebih ketat daripada sekolah di yayasan Bunda Kasih.
Aku juga mengerti. Seorang ibu pasti tak mau melihat anaknya dihina oleh teman-teman sekelasnya hanya karena kekurangan fisik.
Sebenarnya bibirku gatal ingin sekali mengadukan perihal sikap Dito yang tak bersahabat kepada Mahes. Tapi saat aku melihat wajahnya tadi yang seakan memohon, aku lantas mengurungkan niat itu.
Mungkin nanti saja kalau sudah waktunya, aku pasti akan menceritakan semuanya pada Bu Anita.
"Ini tempat Mahesa sama kawan-kawannya kalau sedang mengobrol." seru Bu Anita sambil menunjukkannya padaku. Ternyata, aku baru tahu bahwa belakang bangunan yayasan Bunda Kasih adalah sebuah kebun yang ditumbuhi banyak sekali tanaman-tanaman cantik dan wangi.
Di belakang ini juga, aku melihat ada sebuah rumah pohon yang tadi bu Anita tunjukkan kepadaku.
Aku mengerti. Ternyata, mereka sangat bersahabat sekali dengan alam. Semua tanaman bunga dan pohon-pohon yang kini sudah tinggi adalah hasil dari tangan anak-anak yang memiliki jiwa kuat dan ketabahan yang luar biasa.
"Bu, Mahes di sini suka main apa saja?"
"Dia jarang main. Hanya saja kalau misal setiap siang Ibu tidak melihatnya di rumah, Ibu tahu dia pasti sedang duduk di rumah pohon."
"Kalau di rumah pohon itu, dia suka melakukan apa?"
"Hanya diam dan duduk saja. Tapi terkadang..., Ibu juga suka melihat Mahes sampai tertidur di sana."
"Oh begitu...." aku mengangguk.
"Mahes?" Bu Anita memanggilnya dan dia mendekat. "Daripada penasaran, coba kamu ajak Balqis ke rumah pohon ya."
Aku tersenyum girang. "Wah terima kasih banyak, Bu."
"Sama-sama."
...
"Oh, jadi ini rumah pohonnya? Cukup luas juga ya."
Aku melihat ada tikar dan dua bantal yang disimpan di sini. Mungkin kalau ada yang mengantuk, mereka bisa langsung menidurkannya di rumah pohon.
Dari sini, aku bisa melihat pemandangan indah nan asri sekali. Gedung-gedung yang tinggi di ujung pandangan pun bisa aku lihat.
Rumah pohon ini terasa nyaman bagiku. Entah kenapa aku juga baru merasakan sebuah kenyamanan ketika duduk di sini.
"Mahes, apa aku boleh berjalan-jalan melihat ruangannya?"
"Silakan, tak usah meminta izin." tulisnya.
Aku lantas keluar dan berdiri di balkon kemudian menghirup udara yang bagiku sudah terasa asing lagi karena posisiku dari kecil sudah tinggal di Jakarta.
Letak yayasan Bunda Kasih ini yang terbilang strategis dan tidak terlalu menjorok ke jalan raya.
Bahkan tadi, ketika aku tanyakan kepada Bu Anita siapa orang yang pertama kali ingin menempatkan yayasan ini di sini, ternyata jawaban Bu Anita itu adalah Mahes.
Dia pecinta alam dan lingkungan. Lima tahun yang lalu, secara tidak sengaja Bu Anita mengajak Mahes untuk sekadar jalan-jalan ke Jakarta sambil mencari bangunan yang yang tak layak karena nanti akan mereka renovasi lagi.
Saat di jalan, Mahes tiba-tiba mencolek tangan Ibu dan menunjuk ke arah bangunan ini.
Dan atas keinginannya, akhirnya yayasan Bunda Kasih berdiri di tempat yang asri dan sejuk yang bisa aku lihat sekarang.
Aku baru menyadari ternyata di dinding rumah pohon itu, terdapat banyak sekali coretan-coretan dari anak yang pastinya sudah sering berkunjung ke sini.
Aku memicingkan mata untuk melihat dengan jelas apa yang sebenarnya mereka tulis.
'Aku ingin seperti mereka.'
'Semoga cita-citaku tercapai.'
'Jangan hina aku karena kekurangan.'
'Di mata Tuhan, semua manusia itu sama. Tapi kenapa manusia sendiri yang justru ingin membeda-bedakannya?'
'Aku juga manusia yang sama-sama ingin hidup dengan tenang seperti mereka. Ya Allah..., bantu aku untuk tegar dalam menghadapi semua hinaan itu.'
'Aku benci manusia jahat yang hanya memandang orang dari status!'
'Aku ingin hidup dengan tenang.'
'Kumohon jangan sakiti aku.'
Ya Allah..., begitu tertamparnya aku tatkala mendengar curhatan curhatan kecil dari anak-anak yang tinggal di yayasan ini.
Ternyata dalam hati kecil mereka, mereka juga merasa tertekan karena hinaan dari orang-orang luar.
Begitu miris sekali saat aku membaca tulisan-tulisannya yang dengan jelas bisa aku baca.
Ujian mereka dalam menjalani kehidupan ternyata lebih berat daripada orang-orang pada umumnya. Namun rasa semangat, gigih dan kesabaran mereka itulah yang membuat mereka kuat dan tak mudah mengeluh dibanding orang lain.
"Kak Mahes?" Sebuah suara memanggilnya dari dekat tangga.
Tak hanya Mahes, aku pun turut ikut keluar untuk melihatnya.
"Eh, ada kakak cantik." gadis kecil ini menghampiriku kemudian mencium tangan. "Kok Tiara baru lihat kakak? Kakak anak baru juga di sini?"
Aku tersenyum kemudian berjongkok untuk menyejajarkan dengan anak ini. "Perkenalkan, nama kakak Balqis. Kakak teman sekolahnya Kak Mahes."
"Oh...." dia manggut-manggut. "Kakak cantik banget. Kenapa kakak mau main ke sini?"
Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa? Tak boleh?"
"Bukannya tak boleh. Tapi jarang sekali ada orang yang ingin berkunjung apalagi melihat anak-anak yayasan."
"Lho kenapa jarang? Justru kakak suka sekali datang ke tempat-tempat seperti ini. Apalagi, saat kakak melihat anak-anaknya yang begitu kuat dan hebat, kakak jadi lebih bersemangat untuk menjalani hidup."
"Oh, jadi kakak suka melihat kami?"
Aku mengangguk kemudian baru mengingat bahwa di tas ada makanan yang belum aku makan. "Tunggu sebentar." ujarku kemudian memberikan dua coklat batang padanya.
"Aduh, ini apa Kak?"
"Coklat."
"Tapi Tiara gak punya uang buat bayarnya. Lagi pula..., coklat ini pasti harganya mahal."
"Itu tak masalah. Kakak beri buat kamu."
Gadis kecil di depanku ini seketika terbelalak dengan mata yang berbinar. "Apa? Kakak beri coklat ini untukku?"
Aku mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Kak."
"Sama-sama."
"Ya sudah. Kalau begitu Tiara ke bawah dulu ya, kak. Tiara mau bagi-bagi coklatnya sama teman-teman." ujar dia kemudian menuruni tangga.
Aku berdiri kemudian melihat Mahes sedang memperhatikanku.
"Ini." setelah menghampirinya, kuberi dia satu coklat batang.
Mahes menggelengkan kepala.
"Tak apa. Ambil saja ya. Aku juga punya kok." ucapku sambil menunjukkan coklat ini kepadanya. "Kita makan bersama-sama, bagaimana?"
Awalnya, aku melihat Mahes ragu untuk mengambil coklat pemberianku. Tapi aku orangnya keras kepala sehingga terus saja memaksa dia untuk membawanya.
Dan akhirnya..., Mahes pun mengambil coklatku kemudian menganggukkan kepala tanda terima kasih.
...
Terima kasih jika ada yang telah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Semoga, kita bisa mengerti lebih luas lagi tentang betapa pentingnya menghargai manusia. Terlepas dari kekurangan. Karena pada hakikatnya semua manusia diciptakan di muka bumi ini sama. Yang membedakan dari masing-masing, adalah ketakwaannya itu sendiri.