webnovel

«2» Aura Hantu

Napas Ani masih belum stabil. Wajahnya pucat pasi. Telunjuk mungil itu mengarah ke salah satu rumah. "A–ada hantu!"

"Ah, yang bener aja kamu?" Mata Ellen menyipit tidak percaya.

"Ellen," panggil Bunda. "Ayo, salim dulu sama Nenek."

Nenek menyambut kedatangan mereka di pintu. Ellen segera menghampiri dan mencium tangannya. Masih ketakutan, Ani membuntuti dari belakang.

Di antara derik jangkrik malam hari, keluarga besar itu berkumpul. Nenek, bunda, budhe, dan pakdhenya bercengkraman asyik di ruang tamu. Namun, Ani mengajak Ellen ke kamarnya, mereka asyik sendiri di sana.

Ani bercerita banyak tentang rumor rumah hantu di desa mereka. "Tahu, nggak, rumah itu udah kosong dari setahun yang lalu, lho. Ih, serem banget pokoknya!" Bahunya terangkat, bergidik ngeri ketika mengingat kejadian yang ada.

Masih dengan khas cadalnya, Ellen membantah, "Serem dari mana? Emang bentuk hantunya kayak gimana?"

"Ya, enggak kelihatan, lah! Namanya juga hantu," elak Ani.

Ellen mengerutkan kening. Sesuatu tampak tidak masuk akal. "Lah, kalau nggak kelihatan, ya berarti nggak ada yang perlu ditakuti, dong."

Ani terhenyak. Benar juga apa yang Ellen katakan. Namun, beberapa saat kemudian dia tahu alasan takutnya. "Ya, auranya kan, kerasa. Nih, bulu kudukku masih berdiri." Dia menyodorkan tangan kanannya, memperlihatkan lebih dekat. Sialnya, Ani menyadari sesuatu yang lebih menyeramkan. Matanya langsung membelalak. Ellen yang ditatap seperti itu ikut membelalak penasaran. Segera saja Ani mengungkapkan pikirannya, "Kalau bulu kudukku sekarang masih berdiri, auranya kerasa sampai sini .... Berarti hantunya ada di sini!"

Refleks, Ani langsung berteriak. Ellen yang tidak mengolah informasi Ani, ikut-ikutan berteriak.  Keduanya langsung menarik selimut dan meringkuk ketakutan di dalam sana.

"Hantunya bakal nerkam kita nggak, ya?" Imajinasi Ani kembali berkelana, memperburuk suasana.

Mata Ellen melotot awas di dalam selimut. Dia ikut waspada seketika.

Tidak lama kemudian, selimut seolah ditarik oleh sesuatu. Spontan, mereka saling bertatapan. "Aaa–!" Teriakan semakin kencang, dan mereka semakin erat mempertahankan selimut yang melindungi itu. "Jangan ambil kita, jangan ambil kita!" Permohonan terdengar saling bersahut-sahutan.

"Hush, hush, kalian ini kenapa, sih?" Suara Budhe terdengar nyaring. Dengan tambahan energi, Budhe berhasil menarik selimut itu.

Mendengar suara Budhe, Ellen dan Ani melonggarkan genggaman di kain selimut itu. Keduanya menghela napas. Ternyata bukan hantu. Mereka menjadi tenang sekarang, dan Ellen kembali menjadi bocah skeptis.

"Makanya, jangan suka main ke rumah kosong. Jadi takut gitu, kan. Nanti malem kalau nggak berani ke kamar mandi, emang siapa yang mau nganter? Dah, sebelum tidur, sana ke kamar mandi. Terus, jangan lupa wudu," pesan Budhe sebelum berlalu dari kamar Ani.

Segera saja mereka melaksanakan pesan Budhe dan beranjak tidur. Namun, Ani kembali ngelantur sebelum tidur. "Eh, yang narik selimut kita tadi emangnya beneran Budhe, ya? Jangan-jangan, awalnya hantu yang narik, terus baru Budhe." Ani jadi ragu-ragu untuk menggunakan selimut itu lagi. "Buang jangan, ya?"

Ellen mendesis, menyuruh Ani diam. Dia tidak akan percaya lagi pada hantu khayalannya.

Keesokan paginya, entah setan apa lagi yang merasuki Ani, dia malah mengajak Ellen ke rumah kosong. Ellen yang tidak percaya pada hantu yang diceritakan Ani pun, tertantang untuk membuktikan ketidakbenarannya. Tanpa pamit ke orang dewasa, dua anak perempuan itu pergi, memulai aksinya.