webnovel

34. Kamu Hamil!

Habsah mengalungkan stetoskopnya di leher usai memeriksa kondisi Rino, Kemudian berkata, "Dek, Apa yang kamu rasakan sekarang?" Tak lupa senyum ramah ia sunggingkan kepada pasiennya.

Rino, "Sediki sakit kepala dan rasa mual Dok... Juga sama sering buang air kecil" Jawabnya sekenanya sebab memang itulah yang dirasakannya saat ini.

Pria berusia 39 tahun mengerutkan alisnya mendengar jawaban pasien, "Mual, sering kencing? Sejak kapan?"

Rino, "Seingat saya sekitar 8 hari yang lalu Dok"

Habsah linglung sebentar, Kian bingung dengan penjelasan pasiennya, Lalu menoleh pada Rani, "Sejak kapan demamnya berhenti?"

Mengingat-ingat sebentar, Rani menjawab, "2 hari yang lalu, Tapi muntah-muntahnya sampai sekarang Dok"

Pria itu mengangguk-angguk mengerti, "Begitu... Bolehkah saya bicara empat mata dengan pasien?" Pintanya.

Lintang curiga, "Ada apa Dok? Kenapa kami tidak boleh mendengar?"

Randa menimpali, "Iya Dok, Apalagi Kami keluarganya sendiri"

Habsah, "Ini tentang masalah pribadinya" Ia menjawab singkat.

Rani, "Baik Dokter, Nak Lintang, Randa sama Riko ayo kita keluar, Tenang saja percaya kepada Dokter" Ujarnya yakin. Terpaksa Lintang mengangguk dan mereka segera meninggalkan ruangan.

Diam-diam Si Dokter melirik pasiennya yang sedang gelisah. Padahal tadi Rino berusaha menahan agar tidak terlihat gemetar. Tetapi sebagai Dokter, Habsah jelas tidak bisa dibohongi. Dari gerak-gerik serta ciri-ciri saja, Habsah yakin ada yang remaja ini sembunyikan dari keluarganya.

Lantas dia berbalik menghadap ke Rino, kali ini wajahnya lebih serius, "Saya tidak akan memaksamu untuk bercerita, Tapi melihat dari ciri-cirimu kamu sepertinya trauma akan sesuatu" Tebaknya.

Sejenak dia menatap Dokter, Kemudian meremat tanganya, "Sa-saya takut..." Cicitnya.

Habsah menepuk bahu Rino, "Jangan takut, Di sini hanya ada kita berdua... Oh tidak, maksud saya kita ada berlima yaitu kamu, saya, setan, malaikat serta yang terakhir dan pertama pasti Allah SWT, Dia lebih tau apa yang kamu lakukan daripada kamu sendiri"

Teringat sang pencipta, Rino seketika terisak membayangkan betapa berdoa perbuatannya. Lebih-lebih dari kejadian itu hingga sekarang Rino sama sekali belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai umat muslim, Sholat.

Rino menunduk, "Saya hiks... sudah kotor Dokter..." Lirihnya, cairan bening terus keluar dari maniknya.

Habsah, "Apa yang kamu lakukan sampai menganggap dirimu sendiri kotor?" Ditariknya kursi yang terletak sedikit jauh dari tempatnya lalu mendudukinya sambil tersenyum kecil pada Pasiennya.

Rino, "Saya...saya, saya di perkosa Dok... Sama laki-laki" Ungkapnya tersedu-sedu. Habsah hanya bereaksi dengan sedikit membuka kelopak matanya sebelum kembali tenang lagi.

Habsah, "Seperti itu... Lalu penyebab kamu muntah-muntah apa?"

Pemuda itu menggeleng lesu, "Saya tidak tahu dokter, Apakah saya terserang penyakit berbahaya?" Tanya Rino takut.

"Jelas tidak, Kondisi tubuhmu normal dan itu yang membuat saya merasa aneh... Hanya ada satu cara untuk membuktikannya" Reflek Rino menoleh padanya dengan penuh harap.

Habsah, "Apa kamu mau menggunakan tes pack? Saya pribadi tidak yakin apakah ini akan berhasil atau tidak namun tak ada salahnya kita mencoba" Sambung Habsah. Dia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan alat yang diyakini Rino sebagai tes pack. Meski tidak pernah melihat bentuknya langsung, Setidaknya Rino pernah mempelajarinya di sekolah.

Rino, "Yang di tangan Dokter itu tes pack bukan? Setahu saya sebagai pelajar SMA, Benda itu hanya digunakan oleh wanita untuk mengetahui apakah dia hamil atau tidak, Lalu apa gunanya saya memakainya?" Tanyanya.

Habsah berdecak kagum, "Ck, ck kamu anak pintar, Karena kamu sudah tau jawabannya saya akan menjelaskannya detailnya, Sekarang pergilah ke kamar mandi lalu pakai gelas kaca yang sudah tersedia di sana untuk menampung air kencingmu dan masukkan benda ini. Ingat, Jangan mengambilnya sebelum 2 menit" Jelasnya panjang lebar.

Walau tidak mengerti Rino tetap mengiyakan, Dia menerima benda yang diberikan oleh Dokter Habsah kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Usai menampung air kencingnya Rino mencelupkan tes pack ke dalamnya. Dia bertanya-tanya dalam hati apa maksud Dokter menyuruhnya menggunakan ini untuk menebak penyakitnya?

2 menit setelahnya dia terkejut bukan main kala menemukan garis 2 tertera di tes pack tersebut. Entahlah perasaan Rino mulai tidak enak. Secepatnya ia mengambil tes pack kemudian menuang sisa air seninya kedalam closed dan menyiramnya hingga benar-benar bersih, Barulah ia keluar dari sana.

Di seberang sana Habsah bertanya, "Apa hasilnya? Garis satu atau dua?" Rino tidak menjawab apapun selain mengangkat tangannya yang berisi tes pack dengan garis 2.

Bola mata Habsah melebar sempurna, Dia Bergegas mendatangi Rino yang berdiri di ambang pintu kamar mandi dan mengambil benda di tangan remaja itu untuk mengeceknya sendiri apakah dia tidak salah lihat.

Habsah seketika bimbang, "Ini benar-benar hasilnya?"

Rino, "Benar dokter" jawabnya polos.

Akan tetapi Habsah masih tidak yakin dengan kenyataannya. Ini benar-benar keajaiban yang baru pertama kali dilihatnya selama 39 tahun hidupnya! "Kamu hamil!!" Pekiknya di detik berikutnya.

"Hamil?" Rino menunjuk dirinya sendiri.

Habsah mengangguk semangat, "Benar! Saya juga tidak tahu mengapa tapi kamu benar-benar hamil!! Serunya.

Terbelalak, Rino membeku di tempat. Tanpa sadar mengelus perutnya sendiri. Bila benar yang dikatakan Dokter maka ayah dari anak ini... Pasti pria itu! Ia memegang kepala yang seakan ingin meledak dengan kedua tangannya lalu berjongkok di lantai.

Rino mengerang, "Tidak...tidak...tidak mungkin! Dokter jangan asal bicara dulu!!" Amuknya frustasi.

Habsah terkesiap menemukan Rino bergumam tidak jelas. Lantas dia turut berjongkok dan menepuk kedua bahu remaja tersebut, "Hey... Tenang, tenang dulu, Jangan panik, Tarik nafas... Buang" Instruksinya.

Usai mengikutinya, Rino bisa bernafas sedikit lega, "Terima kasih Dokter" Tubuhnya menggigil disebabkan oleh rasa takut yang berlebih.

Rino bergumam, "Apa yang harus saya lakukan sekarang Dokter... Hiks..." Dirinya terisak, serupa dengan anak kecil.

Habsah, "Jujurlah pada ibumu, Tadi saja saat saya memberitahu kami mengabarinya tentang kondisimu, Dia hampir pingsan. Jika dia mendengar ini dari saya dan bukan kamu sebagai anaknya, bagaimana menurutmu perasaannya?" Rino diam, tidak tahu harus menjawab apa.

Pria itu mengumbar senyum lagi, "Maka dari itu kamu sendirilah yang harus memberitahu dia, Kamu juga sudah boleh pulang ke rumah. Masalah biayanya gratis dari saya"

Ia menatap Dokter Habsah dengan mata berkaca-kaca, "Gratis?" Ulangnya.

Habsah mengangguk, "Ya gratis, Anggap saja hadiah dari saya, Sungguh saya benar-benar kagum dengan kamu! Umurku sekarang 39 tahun dan baru ini saya mendapat pasien langka sepertimu! Tapi tenang saja, Masalah ini akan saya rahasiakan dari pihak Rumah Sakit" Jawabnya.

BRUK...

Rino menghamburkan diri memeluk Dokter Habsah, Ia menangis sesenggukan. Sudut bibir Habsah terangkat lantas ia membalas pelukan remaja itu sembari berusaha menyemangatinya.

"Ingat pesan saya, Apapun reaksi keluargamu kamu harus terima, Ini sudah konsekuensinya. Satu lagi, Jangan sekalipun berpikir untuk menggugurkannya, Mintalah pertanggung jawaban dari ayah anak itu" Peringatnya. Rino mengangguk-angguk sebagai bentuk jawaban, Untuk saat ini yang dibutuhkan sesungguhnya olehnya adalah kasih sayang ayahnya.

Mereka pun keluar bersamaan. Lima orang yang sedari tadi menunggu di luar langsung menoleh pada keduanya. Nyali Rino seketika ciut, Namun dengan pengertian Habsah menepuk-nepuk pundaknya, "Ingat perkataan saya, Saya pamit dulu"

Dan Habsah mengangguk sopan sebentar kepada Rani sebelum berlalu dari sana. Kini tertinggal Rino sendiri yang berdiri di ambang pintu dibawah tatapan menuntut penjelasan dari kelima orang di seberangnya.

Rani yang tidak sabaran segera berlari menghampirinya, "Sayang, Apa yang kalian bicarakan?"

Randa, "Iya Bang, Cerita sama kita, Kita ini keluarga" Ucapnya dari belakang Bunda mereka.

Sementara Dani, Lintang dan Rino memilih untuk tetap di tempatnya, Tetapi guratan penasaran di wajah mereka tak kalah besarnya bila dibandingkan dengan dua orang yang lebih dulu menghampirinya.

Mata Rino berkaca-kaca, "Nanti Rino cerita di rumah" Ujarnya pelan. Dia belum siap apabila orang selain keluarganya tau tentang ini.