webnovel

XV

Sasa mulai membaik. Badannya sudah tidak demam.

Siang tadi Adi sempat pulang sebentar untuk melihat kondisi Sasa. Tidak lama, hanya mengobrol sebentar. Ia harus segera pergi lagi ke lapangan proyek, katanya. Ada sedikit masalah dengan bahan baku yang tersedia.

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Satya masih menemani Sasa yang baru terbangun setelah tertidur kembali sejak kepergian ayahnya. Ia menjadi putri tidur seharian ini. Setidaknya kondisi badannya membaik, menyisakkan lemas saja.

"Ponselku mana?" tanya Sasa melihat sekeliling kamar. Ia lupa menyimpan ponselnya sendiri. Sejak sakit ia sama sekali tidak menyentuhnya.

Satya membuka laci, meraih benda pipih itu di dalamnya.

"Jangan lama-lama main ponselnya. Kamu baru saja sembuh, mata kamu enggak baik langsung terpapar cahaya dari ponsel."

"Kak Satya tidak akan pulang? Apa bunda tidak akan marah karena terlalu lama diluar?"

"Justru bunda akan marah kalau aku pulang. Membiarkanmu sendirian disini padahal masih sakit."

"Bukan itu. Daripada hanya mengomel, mending pulang saja."

Satya menjitak pelan ubun-ubunnya.

"Aku akan pulang setelah ayahmu datang. Tenang saja."

Sasa tersenyum, mengangguk. Mereka tahu itu hanya candaan.

Ada banyak pesan masuk setelah ia menghidupkan ikon Wi-Fi di ponselnya. Tanpa menghiraukan yang lain ia langsung membuka grup sastra. Ratusan pesan yang belum dibacanya. Seperti biasa, ia anggota yang lebih sering membaca tanpa membalasnya.

Baru semenit ia membuka isi percakapan grup, ada pesan baru masuk.

Kak Fatih.

'Aku dengar dari Tara kamu sedang sakit.

Semoga lekas pulih.

Bagaimana keadaanmu sekarang?

Aku dan Tara menuju rumahmu sekarang.'

Sasa menoleh kearah Satya. Rupanya ia sedang memerhatikan sejak tadi.

"Ada apa?" tanya Satya.

"Sepertinya Tara mau jenguk sore ini. Ada Kak Fatih juga."

Satya mencoba tetap bersikap tenang demi mendengar nama itu.

Tak lama, bel berbunyi.

"Biar aku yang buka. Kamu belum pulih seutuhnya." Satya langsung menuju pintu, sebelum menutup pintunya ia bertanya, "dari siapa dia tahu kalau kamu lagi sakit?"

Sasa menggeleng. Mungkin Tara?

Satya menghembuskan napas kesal. Setidaknya, bukan Sasa yang memberitahunya. Fatih bukan nama yang menyenangkan untuk disebut. Sejak kejadian Sasa ditinggal sendirian di jalanan gelap dekat kampus itu, Satya masih merasa kesal. Walau alasan Fatih masih bisa diterima olehnya.

Fatih sudah masuk bersama Tara. Mereka baru saja dipersilahkan duduk oleh Bi Enti.

"Lo masih disini?" celetuk Tara saat melihat Satya turun dari tangga, "Sasa mana?"

"Di kamarnya. Dia masih perlu istirahat."

Terdengar suara pintu terbuka dari kamar Sasa. Tara langsung berlari kearah tangga.

"Sasa! Lo gimana keadaannya sekarang? Gue khawatir banget lo enggak ngasih kabar. Ditelpon enggak diangkat, pesan gue enggak ada satu pun yang dibaca!"

Tara menuntun Sasa untuk turun tangga. Sahabatnya itu memperlakukan Sasa seperti pesakitan kronis. Padahal ia sudah bisa berjalan sendiri.

"Oiya.. Gue ajak dia kesini, sekalian katanya dia juga ada perlu," cerocos Tara sambil menunjuk ke arah Fatih.

Sasa tersenyum mendengar suara cempreng temannya itu. Satya mengikuti mereka dari belakang.

Mereka duduk di sopa berbentuk huruf L ruang tamu.

"Maaf kalo kedatangan kami mengganggu istirahat kamu, Sa." Kepentingan Fatih sederhana, memberitahu hasil rapat klub sastra. Sasa mungkin sudah tahu perkembangannya dari obrolan grup.

"Aku sudah agak mendingan, kok. Sebentar, aku panggil bi Enti dulu. Kalian mau minum apa?" tanya Sasa hendak beranjak namun Satya terlebih dahulu melarangnya.

"Biar aku saja," tatap Satya memberi kode.

"Dia ngapain disini?" selidik Tara. Ia bertanya setelah Satya pergi memanggil bi Enti ke dapur.

"Jenguk." Sasa menjawab pendek. Suaranya masih sedikit serak. "Oiya, gimana soal rapat kemarin, Kak?"

Fatih tertegun. Ia sejak tadi memerhatikan Satya, sepertinya bukan hanya sekedar menjenguk. Rumah mereka berdekatan. Ia tahu dari Tara tentang hal ini.

"Kamu mungkin sudah baca secara garis besarnya di grup. Sekarang aku tidak menjabat lagi sebagai ketua, tetapi aku masih bisa berkegiatan di klub sastra sampai kegiatan perkuliahanku dimulai. Hanya mengisi beberapa sesi untuk para pemula. Bu Nia sudah memberi ijin."

Sasa mengangguk membenarkan. Apa jadinya klub sastra ditinggal sesepuhnya? Kehadiran Fatih cukup berpengaruh bagi keberlangsungan Klub Sastra. Pembicaraan di grup lebih fokus hal ini.

"Mereka merekomendasikan kamu untuk menjadi ketua. Namun, aku tahu kamu pasti akan menolaknya."

Sasa menggigit bibir. Ia sudah membicarakan tentang hal ini pada Fatih. Kedepannya, Sasa ingin fokus belajar dan mempersiapkan mental menghadapi tahun terakhirnya di sekolah.

Satya kembali dengan membawa nampan sendirian. Dua es jeruk tersaji bersama satu toples kue dari Bunda.

"Wah! Kue kesukaan gue ini. Gue bekel lagi, yah kerumah, Sa? Banyak enggak kuenya?"

Tara antusias. Tak menghiraukan tatapan sebal dari Satya. Ia langsung mencomot kue dan memasukkan girang ke dalam mulutnya.

"Jangan malu-maluin, kita kan niatnya jenguk Sasa yang lagi sakit!" bisik Fatih mengeraskan sedikit suaranya. Saudaranya satu ini memang tidak tahu malu.

"Yang punya rumah juga tidak masalah."

Tara membalasnya dengan tatapan sebal. Merasa menyesal mengajak anak rumahan seperti Fatih. Biasanya, susah sekali baginya untuk sepupunya ini keluar rumah. Tapi tadi pagi saat ia mengatakan bahwa ia hendak menjenguk Sasa, dia bersemangat untuk ikut menemani.

"Sudah biasa, kak. Biarin aja," balas Sasa menahan tawa.

"Harus diingatkan biar enggak lewat batas dia."

Sasa tertawa.

Tara lebih mendominasi percakapan antara mereka. Juga Satya. Mereka membicarakan banyak hal. Cerita Tara yang paling membuat perut sakit karena banyak candaan yang dilontarkan.

"Gila! Masa kemarin gue dikasih tahu buat remedial matematika coba, padahal teman sebangku gue nilainya paling tinggi di kelas. Salah pak Dino yang sengaja jauhin bangku gue sama lo, Sa. Jadi gue enggak bisa nyontek!"

"Nilai matematika Sasa paling tinggi di kelas? Serius?" tanya Satya tidak percaya. Mana bisa bocah ini mendapat nilai bagus di pelajaran yang tidak disukainya?

"Hampir sempurna, dong! Sembilan puluh koma berapa gitu gue lupa. Padahal nilai teman yang lain hampir jeblok semua."

Satya menatap Sasa tidak percaya.

"Kak Satya, kan mengajariku pelajaran matematika di IPA, makanya aku sedikit lebih cepat memahami penjelasan guru matematika. Tidak perlu menganggapku serendah itu!" sergah Sasa balik memelototi Satya.

"Benar juga. Aku kan gurumu. Pantas saja kamu bisa mendapat nilai bagus."

"Kalau dipuji saja menerima."

"Tapi, kalau dilihat dari pemahamanmu terhadap penjelasanku, kenapa aku masih ragu ya?"

Sasa kembali menatap tajam. Jika ingin menjatuhkannya, tidak usah di depan orang lain juga!

"Aku paham. Umpamanya kamu adalah Tara jika masuk kelas IPA. Mungkin setiap ujian akan ada remedial khusus?"

Satu pukulan telak mengenai pundak Satya. Ia meringis kesakitan. Tenaga orang yang baru pulih dari sakit bisa sekuat ini?

"Sialan lu!" hardik Tara melemparkan bantal yang ada di pangkuannya.

"Jangan macam-macam sama anak sosial! Solidaritas mereka lebih tinggi dari Burj Khalifa! Lo mampus kalo berhadapan sama kita, kelas kita legenda tau enggak!"

Satya mengangkat bahu, tidak peduli.

Di sisi lain, Fatih tersenyum melihat kedekatan Sasa dan Satya. Mungkin sampai akhir, ada rasa yang tak pernah bisa diungkapkannya.

___

"Ayah terpaksa menerima tawarannya, Sayang."

Sasa menunduk. Entah harus bereaksi seperti apa mendengar penjelasan dari ayahnya itu.

Banyak pertimbangan yang membuatnya berat menerima keputusan yang sepertinya memang tidak ada jalan lain selain menyetujui rencana ayahnya.

Semakin hari hidupnya semakin membaik. Tidak lagi memendam rasa takut akan banyak hal. Sasa merasa jauh lebih nyaman akhir-akhir ini. Setiap pertemuan dengan seseorang yang berarti baginya, ia menjadi amat menghargai.

Sapaan pagi dari teman sekelasnya yang terkadang riang menyambutnya, tentu ia rindu. Kelas sosial, penuh penghargaan terhadap setiap hal kecil. Tidak ada canggung. Sudah lama ia tidak merasakan nyaman dalam lingkungan sekolahnya.

Perubahan drastis dari sang ayah. Saat awal ia kembali ke rumah ini, suasana tidak lagi semenyenangkan dulu. Tanpa kehadiran ibu, sampai kepergian Bima. Sepi. Sesak.

Juga sebab seseorang yang banyak menghabiskan waktu bersamanya. Setiap detik yang mereka lewati, ia menyukainya lebih dari apa pun. Jiwanya jauh lebih tenang saat bersamanya. Sering ia berpikir untuk memiliki sepenuhnya. Entah bagaimana caranya. Rasanya menyenangkan saja jika ada seseorang yang selalu ada di sisinya setiap saat.

Sasa tidak bisa terus menyangkal untuk mengakui, bahwa ia menyukai pria itu.

Tentu dia adalah seseorang yang menempati tempat istimewa di hatinya.

Untuk melepas semua itu, apakah ia sanggup?

_____

Scientory (ツ)