webnovel

X

Pagi ini, pembicaraan antara Satya dan orang tuanya berjalan alot. Mempertaruhkan masa depan yang telah dirancang oleh keduanya untuk Satya.

Bisnis yang dijalankan ayahnya tidak berjalan lancar. Salah satu koleganya menipu dengan membawa uang ratusan juta milik perusahaan. Uang itu seharusnya dibayarkan untuk menutupi hutang pada suplier. Sedangkan, para mitra yang bergabung dengan ayahnya mayoritas telah membayar lunas tunggakan mereka. Ditambah desakan untuk segera memenuhi pesanan barang yang diminta, semakin memojokkan posisi ayahnya yang sedang kesulitan.

"Ayah tidak mau jika harus mengorbankan pendidikan kamu, Nak."

Satya tidak masalah jika harus mengambil gap year tahun ini.

Satya mengutarakan pendapatnya. Keuangan keluarganya belum membaik setelah ayahnya memulai bisnis. Uang tabungan telah terpakai seluruhnya. Hanya tersisa tabungan pendidikan untuk kuliah Satya. Jumlahnya cukup besar untuk membantu usaha yang dirintis ayahnya itu.

"Tidak. Sekali tidak, tetap tidak." Ayahnya tetap bersikukuh. Ada opsi lain yang bisa diambilnya, walau bukan opsi yang lebih baik, ia tidak bisa jika harus merelakan masa depan anaknya.

Satya menghela nafas.

"Lalu, apa Satya harus berdiam diri melihat bisnis ayah terancam tutup?"

Sarah duduk di sebelah suaminya, menatap nanar kedua lelaki yang amat disayanginya. Posisinya serba salah. Sejak awal, suaminya meminta untuk menyembunyikan kabar kerugian bisnisnya dari Satya. Namun, seberapa pun mereka menutupinya, kabar itu sampai di telinga Satya tanpa disengaja.

"Ayah, sebenarnya ada hal lain yang ingin Satya lakukan sebelum memulai kuliah. Jadi, tidak masalah jika Satya menunda pendidikan untuk satu tahun. Itu bukan masalah besar bagi Satya."

"Mendaki gunung?"

Satya mengangguk.

"Ayah tahu, mimpi untuk menaklukkan berbagai puncak di Indonesia itu tidak pernah Satya lupakan. Obrolan sore yang sering kita lakukan dulu, ijinkan Satya untuk mewujudkannya lebih cepat."

"Ayah bukannya tidak mempercayaimu. Tetapi.."

"Ayah, dengarkan Satya terlebih dahulu." Satya menyela, menunggu ayahnya untuk mempersilahkannya kembali berbicara. Ayahnya mengangguk. "Senior Satya di PA menawarkan posisi sebagai pemandu wisatawan dari luar negeri. Sekarang, banyak bule yang suka muncak gunung di Indonesia loh, Yah. Satya bisa mewujudkan cita-cita dengan menghasilkan uang. Peribahasanya, sambil menyelam minum air. Benar, kan?"

"Satya juga ingin belajar bahasa baru atau memperdalam mandarin terlebih dahulu. Itu artinya, walau Satya mengambil jeda kuliah, Satya tidak berhenti belajar."

Satya meyakinkan ayahnya dengan banyak alasan agar tidak membuatnya khawatir.

Pada akhirnya, ayahnya menyerah dengan berbagai serangan yang ditujukan Satya. Menatap Sarah dalam, sejak kapan anaknya mempunyai pemahaman dewasa seperti ini?

Sarah menanggapinya dengan senyuman, terharu.

"Bagaimana kamu akan mengisi waktu luangmu nanti?"

Satya paham, pekerjaan sebagai pemandu tidak akan memakan banyak waktunya. Ia akan memiliki banyak waktu kosong.

"Apalagi dong, yah. Semakin banyak waktu yang bisa ia habiskan bersama Sasa." Sarah menyahut, meledekinya.

Satya tidak membantah perkataan bundanya itu. Tema mengenai Sasa sudah menjadi makanan sehari-harinya di rumah ini.

Pembicaraan itu berakhir dengan kemenangan pihak Satya.

Suatu saat, Satya akan paham, perjuangan kedua orang tuanya tidak berhenti disini.

***

Sasa berdiri di depan gerbang rumah Satya. Ragu untuk melangkahkan kakinya. Ia menengadah kearah kamar Satya. Jendelanya sedikit terbuka seakan membiarkan udara masuk melewati celah. Sepertinya, dia sedang di rumah.

Sasa kembali menatap layar ponselnya. Mengetik pesan kepada Satya tapi belum juga ia tekan kirim.

Kabar yang baru saja ia terima dari Tara cukup mengejutkannya. Bahkan grup whatsapp kelasnya heboh mendengar berita ini. Satya tidak pernah cerita. Apakah ia alasan dibalik semuanya?

Segala kemungkinan berotasi di kepalanya. Jika alasan itu mengarah padanya, tentu ia akan mencegah keputusan Satya. Jika semua hipotesisnya benar, mimpi seseorang sedang dipertaruhkan karenanya. Ia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja.

Pada akhirnya, Sasa menekan bel tiga kali. Seseorang tampak membuka pintu.

"Sasa?" seru Satya saat melihat gadis itu berdiri di depan gerbang. Ia bergegas membuka dan mempersilahkan Sasa masuk.

Mereka kini duduk di halaman belakang rumah Satya. Sejak tadi, Satya memang sedang santai sendirian. Orang tuanya semakin disibukkan untuk mengurusi bisnis.

Satya meminta ijin untuk membawakan minum. Selang beberapa menit, ia kembali dengan membawa soda dingin kesukaan Sasa.

"Tumben main ke rumah tanpa memberitahu. Ada apa?" tanya Satya memecah keheningan.

"Bosan di rumah," jawab Sasa singkat. "Bunda mana?"

"Sejak siang pergi dengan ayah, tidak tahu kemana," jawab Satya.

"Pasti Kak Satya masih tidur waktu mereka pergi," sindir Sasa. Satya nyengir lebar.

Mereka kembali terdiam.

Sasa bergumul dengan hipotesisnya tentang kabar Satya. Entah benar atau tidak, ia tetap harus menanyakan alasannya.

"Ada hal yang ingin aku tanyakan pada Kakak." Sasa melirik kearah Satya yang menatap kosong taman kecil di depannya.

Satya membalas dengan anggukan. Seperti tahu apa yang hendak dibicarakan Sasa.

"Perihal, Kak Satya yang memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah," ucap Sasa masih menatap pria di sampingnya. "Kenapa?"

Satya beralih menatap Sasa.

"Kabar itu cepat tersebar juga. Kamu tahu dari siapa?" Satya balik bertanya.

"Grup chat kelasku penuh dengan kabar ini."

Sasa menatapnya kian serius.

"Tidak usah melotot seperti itu. Seram!" canda Satya. Sasa tetap tak bergeming. Bukan saatnya untuk bercanda. "Baiklah. Aku akan jawab. Lama-kelamaan matamu bisa keluar kalau dibiarkan terus."

Satya menghela napas panjang. Sasa menunggu jawabannya.

"Pertama, aku bukan memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Tapi menundanya, bukan berhenti. Itu dua hal yang sangat berbeda. Kedua, aku punya alasan tersendiri kenapa memutuskan untuk menunda sekolahku. Aku berniat untuk mengikuti kursus bahasa asing terutama bahasa di Asia Timur. Kamu tahu kan, jika ada kesempatan, aku ingin melakukan backpacker ke wilayah sana. Dan ketiga, aku ditawarkan posisi sebagai tour guide wisatawan luar negeri. Itu akan menambah pengalaman dan koneksi. Dua hal penting yang akan sangat bermanfaat untuk dunia kerja nanti, Sa.

"Terakhir, aku juga berniat untuk memulai bisnis kecil-kecilan bersama kawanku sesama hobi muncak. Dengan menyewakan alat mendaki atau bahkan menjual peralatan mendaki. Walau sekarang sistemnya masih online, semoga saja kedepannya aku bisa buka toko sendiri."

Penjelasan Satya sudah cukup padat dan jelas. Ia tidak berbohong. Semua yang dikatakannya itu adalah benar. Soal kesulitan yang sedang dihadapi keluarganya, biarlah hanya ia yang tahu. Satya tidak ingin memperbesar masalah ini. Suatu saat nanti, ia ingin mengenang keputusan yang diambilnya dengan perasaan senang.

Namun, Sasa terlihat tidak puas dengan alasan yang diutarakan Satya. Seperti masih ada yang mengganjal.

"Kenapa harus dengan menunda kuliah? Bukankah bisa melanjutkan kuliah sambil mengikuti kursus juga berbisnis? Tidak menunda pendidikan juga bekal penting di masa depan!"

"Tidak bolehkah aku mengambil napas sejenak untuk istirahat dari penatnya belajar?"

Sasa menghela napas. Mengalihkan pandangannya ke kaleng soda di meja. Ayolah, aku bukan anak kecil lagi sekarang.

Sasa tahu, betapa Satya menantikan bangku kuliah. Kabar tentang hal ini menjadi topik utama di sekolah selama beberapa hari. Siswa dengan prestasi bagus memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang kuliah. Judul yang akan banyak menarik perhatian jika dipajang di mading sekolah. Entah berapa banyak chat yang masuk ke nomornya hanya untuk menanyakan kebenaran kabar tersebut.

"Aku hanya takut, jika alasan Kakak menunda kuliah adalah karena aku."

"Siapa yang bilang seperti itu?"

Sasa menggeleng. Prasangkanya sendiri.

"Sungguh, keputusanku untuk menunda kuliah bukan karenamu. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti ini."

Satya terpaku. Entah bagaimana Sasa bisa menyimpulkan seperti itu.

"Aku sekarang baik-baik saja. Kak Satya tidak perlu mengkhawatirkanku lagi."

"Tidak. Bahkan jika kamu mengatakan setahun, lima tahun dari sekarang bahwa kamu baik-baik saja, aku akan tetap seperti ini. Menjagamu sampai akhir," tegas Satya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Gadisnya kali ini bersikap keras kepala.

"Aku hanya tidak ingin menjadi egois saja." Air bening jatuh dari pelupuk mata Sasa.

"Kita sama-sama egois, Sa!"

Hening. Kalimat yang keluar dari mulut Satya barusan membuat gadisnya terdiam.

"Aku seperti ini untuk mengejar mimpiku. Bukan membuangnya."

Keduanya masih bertatap. Mencoba untuk saling memahami satu sama lain.

"Kamu selalu menjadi alasan dari keputusan-keputusan yang aku ambil. Ya, aku tidak ingin jauh darimu. Aku tidak bisa menyangkalnya, kamu juga tidak bisa melarangku. Itu keputusan akhirku. Tidak bisa diubah.

"Aku menganggapmu lebih dari sekedar adikku. Sejak dulu kita dekat, sampai Bima meninggalkan kita bahkan aku sudah menganggapmu sebagai adik. Saat seseorang yang amat dekat denganmu pergi, aku sudah memutuskan untuk tetap di sampingmu. Selalu menjagamu dan tidak pernah meninggalkanmu terkurung luka masa lalu itu lagi.

"Kamu mungkin tidak sadar. Dulu, kamu pernah mengatakan terima kasih padaku karena tetap hidup. Kamu tahu? Ucapan itu yang membantuku bangkit dalam keterpurukanku, karena perasaan bersalah. Setiap hari sejak kejadian itu, aku menyalahkan diri sendiri karena telah membuat sahabat terbaikku meninggalkan kita untuk selamanya.

"Sejak hari itu, saat kamu datang padaku dan mengatakan kalimat itu. Aku mengatakan pada diriku untuk selalu ada untukmu. Menjagamu apa pun yang terjadi. Melindungimu layaknya aset paling berharga yang kupunya. Mengawasimu dari hal buruk di sekitarmu.

"Itu adalah janjiku pada Bima, Sa. Itu adalah janji yang tidak bisa kuingkari seumur hidupku. Jika aku mengingkarinya, maka hidupku akan hancur dan kembali menyalahkan diriku atas apa yang telah terjadi. Janji ini adalah alasan aku bisa bertahan sampai sekarang. Itu adalah kamu."

Satya mencengkram tangannya kuat. Ia telah menumpahkan perasaannya.

Sasa tertunduk. Air matanya sejak tadi keluar tanpa bisa ia cegah. Ia tidak tahu, jika Satya menyimpan beban berat karenanya. Satya yang lebih membutuhkan perlindungan daripada dirinya sendiri. Perasaan bersalah itu menyiksa Satya lebih dari apa yang ia bayangkan. Sikapnya yang terlihat kuat dari luar ternyata hanyalah topeng untuk menutupi luka akibat kehilangan itu.

"Maafkan aku."

"Berhenti mengatakan maaf padaku. Pastikan saja, aku tidak gagal menjadi bagian penting dari hidupmu."

Dalam diamnya, Sasa mengusap air mata.

"Baiklah," ucap Sasa sambil mendongak menatap Satya. "Tapi berjanjilah, untuk selalu berada di sampingku sampai kapan pun. Jangan pernah berani pergi tanpa sepengetahuanku. Karena Kakak yang telah memutuskan untuk berada di sampingku. Jangan pernah menghilang dariku."

Sasa mengatakan itu dengan raut serius. Rasanya, ini adalah bentuk keegoisan yang dikemas dengan percaya diri.

Satya mengangguk. Tersenyum.

"Berhenti menangis. Kamu tahu, sering orang bilang kalau perempuan terlihat anggun ketika menangis. Tapi kamu berbeda. Kamu malah semakin jelek saat menangis."

Sebuah pukulan mendarat di bahu Satya. Ia meringis kesakitan. Mengusapnya sambil tertawa.

Jalinan antara mereka semakin erat. Entah sampai kapan mereka akan terus saling menyimpan setiap perasaan khawatir, rindu dan cinta tanpa ungkapan. Hubungan seperti ini mungkin lebih berharga daripada status pasti.

"Ngomong-ngomong, kamu masih belum mengakui bahwa aku populer di sekolah? Lihat saja, padahal aku hanya bilang pada teman sekelas tentang kuliahku. Tapi, yang geger satu sekolah."

Sasa melengos sebal. Sepenting itukah sebuah pembenaran darinya untuk Satya?

_____

Scientory (ツ)